Nikah dadakan karna di jodohkan ❌ Nikah dadakan gara gara prank ✅ Nikah dadakan karna di jodohkan mungkin bagi sebagian orang memang sudah biasa, tapi pernah gak sih kalian mendadak nikah gara gara prank yang kalian perbuat ? Emang prank macam apa sampe harus nikah segala ? Gw farel dan ini kisah gw, gara gara prank yang gw bikin gw harus bertanggung jawab dan nikahin si korban saat itu juga, penasaran gimana ceritanya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shusan SYD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 29
Keesokan paginya, saat aku berjalan di lorong menuju ruang kelas, langkahku terhenti ketika aku melihat Salsa berdiri di ujung lorong. Wajahnya tampak berbeda ada sesuatu di matanya yang sulit kuartikan, seperti menyimpan beban yang ingin dia lepaskan.
“Farel, tunggu,” panggilnya seraya menghampiriku.
Aku berhenti, meskipun dalam hati ada keraguan. Bagaimanapun, Salsa masih bagian dari hidupku. Sebuah bab yang pernah penting, meski kini terasa lebih seperti tanggung jawab yang sulit untuk diabaikan.
“Kenapa ?” tanyaku datar, menjaga jarak dalam nada suaraku.
“Gue mau ngomong serius,” ucapnya pelan, dengan suara yang terdengar memohon.
Aku menyilangkan tangan di depan dada, menunggu. Dia menatapku, dan untuk pertama kalinya aku melihat matanya berkaca-kaca. Pemandangan itu membuat dadaku terasa sesak, tapi aku berusaha tetap tenang.
“Farel, gue mohon... Lo pulang, ya ? Mamih gue mulai curiga,” ucapnya, nyaris berbisik.
Aku menarik napas panjang, mencoba meredam berbagai perasaan yang saling bertabrakan di dalam diriku.
“Pulang ?” tanyaku, setengah tertawa sinis.
“Mau ngapain aku pulang ?”
“Please, Farel. Lo boleh marah sama gue, tapi kali ini gue benar-benar mohon sama lu.” ucap Salsa dengan suara bergetar.
“Gue tahu gue salah,” dia melanjutkan, menundukkan kepala.
“Gue cuma mau kita kelihatan baik-baik aja di depan Mamih dan orang-orang. Kayak dulu.”
Aku menggeleng perlahan, kali ini dengan senyum pahit.
“Salsa, kamu masih sering ketemu Fasya kan ? Bahkan sekarang mungkin lebih sering. Kamu berharap apa dari aku ? Pulang dan pura-pura semuanya baik-baik aja ?”
“Itu nggak ada hubungannya sama dia,” jawabnya cepat, hampir membela diri.
Aku mendongak sedikit, memiringkan bibir.
“Oh ya? Nggak ada hubungannya ? Terserah kamu, Sal. Mau deket sama siapa pun, itu urusan kamu. Tapi jangan harap aku akan pulang kalau kamu masih kayak gini.”
“Farel, kali ini aja gue mohon,” ucapnya lagi, suaranya hampir pecah. Dia terlihat seperti seseorang yang terpojok, tapi aku tidak bisa lagi membiarkan diriku terjebak oleh kelembutan yang sama.
Aku menggeleng sekali lagi.
“Gak sal. Aku nggak bisa. Sorry ya Aku masih ada urusan lain.”
Aku berbalik, siap melangkah pergi. Tapi Salsa menarik tanganku, memaksaku untuk menoleh.
“Gimana nasib rumah tangga kita kedepannya ?” tanyanya dengan nada penuh keputusasaan.
“Kenapa nanya sama aku ?” balasku dingin.
“Yang harusnya nanya itu aku. Gimana nasib rumah tangga kita, Sal ?” ucapku, nada suaraku mulai meninggi.
Dia terdiam, wajahnya semakin kacau. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
“Selama ini aku udah nyoba sabarin kamu, tapi kamu malah kayak gitu. Kamu injak injak harga diriku karna tahu aku gak bakal bisa marah sama kamu ?"
"Untuk itu gw minta maaf." ucapnya.
"Sekarang terserahlah. Aku capek,” lanjutku, menatapnya tajam.
“Farel please. Lu nggak kasihan sama gue ? Gue nggak tahu lagi harus gimana abis ini.” ucapnya, suaranya mulai bergetar dengan isakan kecil yang dia coba tahan.
"Buka blokiran no gw." ucapnya.
Aku tetap diam, menatapnya tanpa emosi. Menunggunya melanjutkan apa yang ingin dia katakan.
“Lu tinggal di mana sekarang ?” tanyanya akhirnya, suaranya berubah menjadi lebih pelan, hampir putus asa.
Aku menghela napas panjang sebelum menjawab,
“Aku tinggal di mana selama ini, kamu nggak perlu tahu.”
Dia terdiam, dan aku melanjutkan dengan nada tegas,
"Farel ?" ucap salsa.
“Lanjutkan aja semuanya. Dan jangan pernah harap aku bakal pulang kalau kamu sendiri masih belum bisa berubah. Kalau kamu nggak bisa merubah sikap, aku nggak akan pernah balik ke rumahmu. Inget itu."
Aku melepaskan tangannya dengan lembut dan melangkah pergi, meninggalkannya berdiri sendirian di lorong itu. Meskipun ada sedikit rasa bersalah, aku tahu ini keputusan yang benar.
Ternyata sedari tadi Alesha memperhatikanku dari kejauhan saat aku berbicara dengan Salsa. Namun aku tak menyadari hal itu.
Kini alesha berjalan menghampiriku. Tatapannya tenang, namun aku bisa merasakan pasti ada sesuatu yang ingin dia tanyakan.
“Farel,” panggilnya pelan begitu dia mendekat.
“Kalian tadi ngomongin apa ?” tanyanya.
Aku terkejut, tapi berusaha sekuat tenaga agar tidak terlihat gugup di depannya. Aku takut alesha sudah mendengar percakapan kita berdua tadi.
Aku mencoba menahan napas sesaat lalu memasang ekspresi santai dan memberikan jawaban sekenanya.
“Gak apa-apa, Sha. Salsa cuma nanyain tugas aja kok,” jawabku berbohong, mencoba terlihat meyakinkan.
Alesha mengangguk kecil, wajahnya masih sulit ditebak.
“Oh, kirain lagi ngomongin hal penting,” ucapnya datar, tetapi ada sedikit nada menggoda di sana.
Aku tersenyum tipis, mencoba mengalihkan suasana.
“Enggak kok.” ucapku.
Dia menatapku sebentar, seolah mencari sesuatu di wajahku, sebelum akhirnya dia tersenyum tipis dan mengubah topik pembicaraan.
"Yaudah, yuk ke kelas." ajaknya, aku mengangguk dan berjalan di belakang alesha seraya mengelap keringatku yang menggenang.
Sepanjang perjalanan menuju kelas, aku tak henti memikirkan apa yang sudah terjadi barusan. Salsa dengan permohonannya yang membuatku semakin ragu dan Alesha, dengan tatapan yang seakan tahu lebih banyak daripada yang ku perkirakan. Entah bagaimana aku harus melanjutkan semua ini tanpa membuat semuanya semakin rumit.
Ketika kami sampai di depan kelas, Alesha berhenti sejenak, menoleh ke arahku.
“Farel,” ucapnya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
“Kamu baik-baik aja, kan ?”
Aku mengangguk, mencoba menenangkan diri.
“Ya, aku baik-baik aja. Kenapa nanya gitu ?”
Dia mengangkat bahu sedikit, senyumnya tipis namun penuh makna.
"Kenapa kalo kamu abis ketemu si salsa atau perhatiin dia pasti jadi sering bengong gini, kenapa sih ?" tanya alesha.
Perhatiin salsa ? Jangan jangan alesha tahu bahwa aku sering memperhatikan salsa selama berada di kampus ? Duh jangan sampai dia mengetahui semuanya.
“Siapa yang perhatiin dia ?” tanyaku.
"Kamu suka sama dia ya ?" tanyanya.
"Enggak." ucapku.
"Ehmm.. ?" tanya alesha seraya tersenyum menggoda dan hampir membuatku tersenyum juga.
"Enggak." ucapku meyakinkan.
"Udah ah, yuk masuk." ucapku seraya mendahului langkahnya masuk ke dalam kelas.
Aku berharap itu cukup untuk meredakan rasa ingin tahunya. Kami masuk ke dalam kelas bersama dan seiring berjalannya pelajaran, aku malah semakin gelisah.
Jam kuliah pun selesai, kita pulang bersama dan bersikap biasa seolah ketegangan tadi tak pernah terjadi. Dan aku yakin alesha memang tak mendengarkan apapun yang ku bicarakan dengan salsa tadi.
Malam ini, aku dan alesha sudah berada di atas ranjang dan akan beristirahat. Namun aku heran, seperti ada yang aneh dengan sikap alesha kali ini.
Dia terus ndusel nduselkan kepalanya di dadaku. Rambutnya yang wangi jadi menyapu wajahku, seperti kucing yang sedang menunggu jatah makan. Begitu lengket dan manja. Setiap kali aku bergerak dia selalu menempel padaku. Aku jadi merasa, ini bukan alesha yang biasanya .
"Kamu kenapa sha ?" tanyaku pelan.
Tanganku reflek menyelipkan helaian rambutnya yang jatuh menutupi wajah.
Dia mendongak dan menatapku dengan mata yang berbinar, seperti anak kecil.
"Kamu kok ganteng banget sih malem ini." ucapnya dengan nada genit dan jarang aku dengar. Pertanyaannya apa di jawab nya apa, sungguh tak nyambung seperti orang mabok.
Aku jadi mengernyit, karna itu juga bukan jawaban yang aku harapkan.
"Eh serius, kamu kenapa ? Apa lagi sakit ya ?" tanyaku.
Alesha tak menjawab sebaliknya dia malah semakin mendekatiku. Begitu dekat hingga aku dapat merasakan hembusan nafasnya di leherku.
Tiba tiba bibirnya mendarat di pipiku. Turun ke dagu hingga akhirnya di leher, tak henti henti dan silih berganti. Aku jadi menelan ludah.
Ciumannya terasa hangat hingga meninggalkan bekas merah lipsik di mana mana, sepertinya dia memang sengaja.
"Alesha," ucapku seraya menarik wajahnya dengan lembut. Tapi dia hanya tersenyum.
"Apa ?" tanyanya dengan senyuman yang semakin melebar.
"Kamu gak suka ya ? Aku ciumin terus ?" tanyanya.
Aku terdiam sejenak. Tidak tahu harus meresponnya dengan cara apa.
Dari gerak geriknya, cara bicaranya, semua terasa aneh.
"Sha, kamu sadar kakan ?" tanyaku lagi memastikan.
"Sadar." jawab alesha dengan kesadaran penuh.
"Kamu gak mabok kan ?" tanyaku lagi.
Alesha jadi terkekeh.
"Enggak lah. Kapan minumnya ?" tanyanya seraya kembali mendusel ke dadaku dan memelukku seperti anak kecil.
Sebenarnya aku juga tahu alesha tak mabuk, namun apa yang ada di balik sikap manjanya malam ini ? Aku pun tak tahu.
Aku menghela nafas panjang.
Tangangku mengusap punggunya perlahan
Sebenarnya aku sangat ingin mengimbangi perlakuannya, tapi untuk saat ini aku tak bisa. Aku tahu dia masih datang bulan jadi percuma aku takan bisa melakukan apa apa, tapi perlakuannya tadi juga cukup membuat bulu kudukku merinding semua.
Tangannya semakin berani, membuatku jadi sedikit terkejut, dia sudah menggenggam resleatingku. Aku menggelng seolah memohon agar alesha tak bergerak semakin jauh. Karna kalau sudah mulai harus di akhiri tak bisa di biarkan begitu saja.
Namun alesha tak peduli dengan laranganku, dia malah ... Dan mulai memakannya.
Aww.. Tak bisa di bayangkan rasanya seperti apa yang pasti aku menikmatinya saat ini.
Saat sedang enak enaknya, alesha malah memasukannya kembali dan menutup celanaku. Aku jelas saja merasa kecewa rasanya tak jelas, seperti mengambang.
"Tuhkan.." ucapku dengan nada kecewa. Alesha hanya tersenyum.
"Tanggung jawab." ucapku.
"Gak mau." ucapnya.
Aku bangkit secepat kilat, tanganku sigap meraih tubuh Alesha. Dia berusaha meronta, tapi cengkeramanku terlalu kuat. Tak ada tempat baginya untuk lari.
"Hayo, mending tanggung jawab atau aku kelitikin sampe ngompol ?" tanyaku.
"Ampun, yaudah aku tanggung jawab." ucapnya.
"Lepasin dulu tanganku." ucapnya, aku pun menurut.
Tangannya langsung meraih ... Seperti tadi dan mulai memas.. Sampai aku pun mengeluarkan di dalam mulutnya.
Adegan seperti ini sudah sering kita lakukan selama tinggal bersama, namun untuk menyentuh tubuh alesha aku masih takut dan ragu. Takut dia menolak dan malah membenciku setelah aku berani memegang tanpa seizinnya.
"Makasih sha," ucapku. Alesha hanya mengangguk.
Dia masih sibuk mengelap bibirnya dengan tisu.