Setelah sembilan belas kehidupan yang penuh penderitaan, Reixa terbangun kembali di usianya yang kesembilan tahun. Kali ini dengan gilanya, Reixa mengangkat seorang pria sebagai ayahnya, meninggalkan keluarganya setelah berhasil membawa kabur banyak uang.
Namun, siapa sangka Reixa membangkitkan kemampuannya dan malah berurusan hal di luar nalar bersama ayah angkatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Setelah kejadian itu, Reixa berubah. Suara celotehannya yang biasanya memenuhi rumah dengan keriangan kini jarang terdengar. Tawanya yang hangat menghilang, tergantikan oleh keheningan yang menyesakkan. Wajah imut yang dulu selalu menampilkan ekspresi penuh semangat kini lebih sering terlihat dingin, dengan sorot mata yang tampak kosong.
Saverio menghela napas panjang setiap kali melihat perubahan itu. Tak ada lagi suara kecil yang memanggilnya dengan antusias di pagi hari, tak ada lagi sosok mungil yang dengan ceria menyelinap di balik selimutnya di tengah malam, menyampaikan alasan-alasan konyol seperti takut monster di bawah tempat tidur.
Dia merindukan Reixa yang dulu—gadis kecil yang memenuhi hari-harinya dengan canda dan tawa. Meski awalnya merasa keberatan mengadopsi seorang anak karena luka masa lalunya belum sepenuhnya sembuh, kehadiran Reixa perlahan memberi warna baru dalam hidupnya yang kelam. Kini, warna itu memudar, meninggalkan ruang kosong yang tidak tahu harus diisi dengan apa.
"Rei," panggil Saverio lembut suatu sore, berharap bisa memecahkan tembok yang mulai dibangun gadis kecil itu.
Reixa menoleh perlahan, mata hijaunya menatap kosong sebelum akhirnya berubah cerah. Sebuah senyum lebar terukir di wajahnya, tapi Saverio tahu senyum itu palsu. “Aku tidak apa-apa, Ayah. Jangan khawatir,” ucapnya dengan ceria yang dipaksakan.
Saverio menatapnya penuh rasa prihatin. Sudah seminggu sejak kejadian di pantai itu, dan selama itu pula Reixa lebih banyak mengurung diri di kamar. Bahkan ketika dia keluar, langkahnya terasa berat, seperti membawa beban yang terlalu besar untuk tubuh kecilnya.
Saverio berjalan mendekat, menarik Reixa ke dalam dekapannya. Pelukan itu erat, seolah ingin memberikan rasa aman yang mungkin hilang dari hati gadis kecil itu. “Aku ada di sini, Rei,” bisiknya, suaranya lembut namun penuh ketegasan.
Reixa memejamkan mata di pelukan itu, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang ditawarkan Saverio. Tapi kemudian, suaranya yang kecil terdengar, sarat dengan kebencian yang belum pernah Saverio dengar sebelumnya.
“Ayah, aku tidak suka pantai… Tidak lagi setelah bertemu bajingan itu.”
Saverio menggenggam tubuh mungil itu lebih erat, matanya terpejam sesaat, menyadari bahwa luka yang diterima Reixa jauh lebih dalam dari yang dia bayangkan. Dia tahu, ada banyak hal yang ingin diucapkan gadis kecil itu, tapi mungkin masih terlalu berat baginya untuk diungkapkan.
“Ayah paham, Rei. Kau tak perlu memaksakan dirimu,” ucap Saverio dengan lembut, tangannya mengusap puncak kepala gadis itu dengan penuh kasih sayang. “Tapi ingat, apapun yang terjadi, ayah akan selalu ada untukmu.”
Reixa hanya diam, membiarkan dirinya terlindung dalam pelukan Saverio. Meski tanpa kata, hatinya yang lelah sedikit merasa lega, seolah beban itu perlahan mulai terasa lebih ringan.
✨
Selama seminggu ini, Reixa mengurung diri di dalam kamarnya, berjuang melawan rasa sakit yang menyelimutinya. Setiap kali dia mencoba berpikir, rasa hancur itu kembali menguasai hatinya. Mengetahui bahwa ayah kandungnya—pria yang seharusnya menjadi cinta pertama sekaligus pelindungnya—ternyata adalah dalang dari penderitaannya di sembilan belas kehidupan membuatnya tak bisa tidur. Setiap kehidupan yang dia jalani, seolah berakhir tragis di tangan orang yang seharusnya mengasihinya.
Kecewa, terluka, dan merasa dikhianati, Reixa tak tahu lagi bagaimana cara mengeluarkan rasa sakit itu dari dirinya. Bahkan menangis pun tidak bisa menyembuhkan luka yang begitu dalam. Dia merasa hancur, seolah semua yang dia percayai selama ini ternyata sebuah kebohongan besar.
Namun, Reixa tak ingin terpuruk lebih lama. Dia bertekad untuk melangkah lebih jauh, untuk tidak membiarkan masa lalu menjeratnya lagi. Dengan uang yang berhasil dia ambil dari keluarga Mareha, dia mulai menyusun rencana. Semua kejadian dari masa lampau dia catat, menganalisis setiap detail, bertekad untuk menjadi lebih maju daripada orang-orang yang telah menghancurkannya.
“Ayah Saverio pasti cemas karena aku,” pikirnya, menatap kosong ke luar jendela, di mana langit biru cerah terbentang tanpa awan. Sebuah ketenangan yang tak bisa dirasakannya. “Aku harus menyelesaikan rencana dan mencatat beberapa hal sebelum menemuinya.”
Tiba-tiba, sosok pria bersurai putih muncul di hadapannya, membuat Reixa sedikit terkejut, meskipun kehadirannya sudah tidak asing lagi baginya.
"Apa kau akan mendiaminya begitu saja? Dia tidak tahu apapun, loh," kata sosok itu dengan sebelah alis terangkat. "Sebaiknya kau temui Saverio dan berbicara padanya. Kasihan, dia selalu murung di luar sana."
Sosok itu pergi begitu saja, tepat sebelum pintu kamarnya diketuk. Pintu terbuka, dan Saverio muncul di ambang pintu, membawa nampan yang berisi makan siangnya.
Reixa melihat ekspresi cemas dan khawatir di wajah Saverio—ekspresi yang tidak dibuat-buat. Melihatnya, hati Reixa terasa sakit. Selama seminggu ini, dia jarang sekali berbicara dengan pria itu, dan merasa bersalah telah mengabaikannya. . Kini, dengan melihat betapa perhatian dan pedulinya pria itu, Reixa merasa tak seharusnya dia bersikap seperti itu.
"Rei," panggil Saverio lembut, suaranya penuh dengan kehangatan yang selalu ada, baik sekarang maupun di kehidupan-kehidupan sebelumnya.
Manik hijau Reixa berbinar, merasakan hangatnya perhatian yang diberikan Saverio. Itu adalah rasa yang tak pernah pudar, meskipun dia berusaha keras untuk mengabaikannya.
Reixa tersenyum, meskipun senyum itu terkesan dipaksakan, mencoba meredakan kecemasan di wajah Saverio. "Aku tidak apa-apa, Ayah. Jangan khawatir," ucapnya, berusaha menenangkan pria itu, meskipun hatinya sendiri merasa terluka lebih dalam.
✨
Sore itu, Saverio dan Reixa sedang berjalan melewati beberapa penghuni apartemen hunter yang tampak kebingungan mencari tempat tinggal. Keduanya, dengan senyum ramah, menawarkan unit kosong dengan biaya sewa yang terjangkau. Reixa juga tidak lupa menawarkan pekerjaan untuk mereka sebagai buruh tani, mengingat gadis kecil itu memiliki lahan pertanian yang cukup luas, hasil dari tanah yang dibeli oleh Saverio beberapa waktu lalu di sekitar sana.
Setelahnya, mereka kembali ke rumah. Reixa duduk manis di ruang tamu, mengerjakan PR dengan tenang. Sesekali, ia melirik ke arah Saverio yang duduk di dekatnya, tampak sibuk dengan apa yang sedang ia tulis di buku.
"Ayah," panggil Reixa dengan lembut, namun tidak mendapatkan jawaban.
Gadis kecil itu mendongak, melihat Saverio yang terlihat begitu fokus menulis sesuatu. Penasaran, Reixa mengintip dan melihat Saverio tengah menghitung pengeluaran bulanan mereka.
"Ayah, sedang apa?" tanya Reixa dengan penuh rasa ingin tahu, namun Saverio tetap tenggelam dalam pikirannya, tak memberikan respon.
"Ayah! Ayah!" Reixa berteriak lebih keras, namun lagi-lagi tidak ada jawaban.
Keputusasaan mulai merayapi hati Reixa, dan dengan cepat ia menepuk pundak pria itu. Saverio yang terkejut, langsung menatapnya dengan sebelah alis terangkat. Ia buru-buru mengambil earphones kecil dan memasangkannya di telinganya, baru kemudian menatap Reixa dengan perhatian.
"Ada apa, Rei?"
Reixa tampak sedikit kesal. "Aku sejak tadi memanggil Ayah, loh."
Saverio menghela napas, merasa sedikit bersalah. "Ah, begitu. Maaf, ya. Ayah tidak dengar."
"Aku tadi sampai teriak, loh. Masa Ayah nggak dengar?" Reixa mulai merajuk, merasa lucu sekaligus sedikit kesal dengan keadaan ini.
"Maaf, sebenarnya..." jawab Saverio pelan, sambil tersenyum sedikit. "Aku tidak bisa mendengar."
Reixa mengerjapkan matanya polos, terkejut dengan jawabannya. Apakah kematian tragis pria itu di beberapa kehidupan yang lalu berhubungan dengan ketidakmampuannya mendengar? Pikirannya sejenak melayang pada pertanyaan itu, namun segera kembali fokus pada wajah Saverio yang tampak begitu lembut.
"Kenapa tidak pernah bilang, Ayah?" tanya Reixa dengan nada penasaran, meski masih ada rasa kecewa kecil di hatinya.
Saverio tersenyum tipis, mata ungunya menatap Reixa dengan lembut. "Aku tidak ingin membuatmu cemas."
"Tapi Ayah bisa beli alat bantu dengar. Yang lebih modern dan canggih. Ya, Ayahku yang tampan? Sebaiknya kita beli alat bantu dengar baru, ya?" Bujuk Reixa dengan senyum nakal, sedikit menyentuh sisi manis dari keprihatinannya.
Saverio tertawa pelan, matanya menyiratkan kehangatan yang dalam. "Kamu memang cerdas, Rei," jawabnya, meskipun ada sedikit penolakan di balik kata-katanya. "Tapi aku merasa nyaman seperti ini. Aku bisa mendengarkan dunia dengan cara yang berbeda."
Reixa meliriknya dengan tatapan tak sabar, seolah menantang. "Tapi Ayah juga harus mendengarkan aku, kan?"
"Baiklah, mungkin aku akan mempertimbangkannya," jawab Saverio dengan senyum lebar, merasa tak bisa menolak bujukannya.
Reixa menyeringai puas, merasa sudah memenangkan percakapan ini. Namun di dalam hatinya, ia merasa sedikit lega mengetahui bahwa meski ada banyak hal yang belum ia ketahui, Saverio selalu berusaha untuk memberi yang terbaik untuknya.