Sejak kehilangan ayahnya, Aqila Safira Wijaya hidup dalam penderitaan di bawah tekanan ibu dan saudara tirinya. Luka hatinya semakin dalam saat kekasihnya, Daniel Ricardo Vano, mengkhianatinya.
Hingga suatu hari, Alvano Raffael Mahendra hadir membawa harapan baru. Atas permintaan ayahnya, Dimas Rasyid Mahendra, yang ingin menepati janji sahabatnya, Hendra Wijaya, Alvano menikahi Aqila. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan yang penuh cobaan—dari bayang-bayang masa lalu Aqila hingga ancaman orang ketiga.
Namun, di tengah badai, Alvano menjadi pelindung yang membalut luka Aqila dengan cinta. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ujian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 kesepakatan mama dan papa
Malam itu, keluarga Alvano berkumpul di ruang makan. Cahaya lampu gantung menerangi meja besar yang dipenuhi hidangan hangat. Aqila duduk di samping Ratna, sementara Alvano duduk berhadapan dengannya. Dimas duduk di ujung meja dengan senyum ramah.
Suasana makan malam terasa begitu hangat, berbeda dari apa yang pernah Aqila rasakan selama ini. Ia benar-benar merasa dihargai dan diperlakukan dengan baik di rumah ini.
Di sela-sela suara sendok yang beradu dengan piring, Dimas mulai membuka percakapan.
"Aqila, bagaimana rasanya tinggal di sini? Kamu merasa nyaman?" tanya Dimas lembut sambil melirik Aqila.
Aqila, yang baru saja menyuapkan nasi ke mulutnya, sedikit terkejut. Ia buru-buru meletakkan sendok dan tersenyum.
"Alhamdulillah, Pak. aku merasa nyaman sekali. Terima kasih banyak sudah menerima aku di rumah ini," jawabnya dengan tulus.
Mendengar panggilan itu, Dimas tertawa kecil sambil menggeleng. "Aqila, jangan panggil saya Pak. Kamu panggil saja Om, ya. Biar lebih akrab."
Aqila mengangguk dengan pipi memerah. "I-iya, Om. Terima kasih banyak…" ucapnya canggung.
"Nah, begitu lebih baik," sahut Dimas sambil tersenyum puas.
Mama Ratna menimpali dengan nada lembut, "Iya, Qila. Kamu anggap saja ini rumahmu sendiri. Kalau ada apa-apa, bilang saja ke Tante, om atau Alvano."
Aqila menunduk dengan senyum kecil. Rasanya nyaman mendengar kata-kata itu. Untuk pertama kalinya sejak kepergian ayahnya, ia merasa seperti bagian dari sebuah keluarga yang hangat. Sementara itu, Alvano sesekali melirik Aqila diam-diam, senyum tipis terukir di bibirnya.
Tak lama, Dimas kembali membuka suara, kali ini menatap Alvano yang tampak fokus dengan makanannya.
“Lalu, bagaimana tadi di kampus, Van? Lancar semuanya?" tanya Dimas sambil menyuapkan makanannya.
Alvano mengangkat wajahnya dan menjawab santai. "Alhamdulillah, Pa. Semua berjalan lancar. Mahasiswanya cukup aktif, jadi nggak terlalu sulit ngajar mereka. Tapi ya… ada beberapa yang terlalu heboh, mungkin karena aku dosen baru,” ucapnya dengan sedikit senyum.
Aqila yang semula tenang, mendadak terkejut mendengar percakapan itu. "Kampus? Ngajar?" batinnya. Ia menatap Alvano dengan kening berkerut, mencoba memahami apa yang sedang dibicarakan.
Papa Dimas tersenyum bangga. "Iya, kampus Luminary Mahendra University itu berkembang pesat sekarang. Siapa sangka kita bisa menjadikannya sebesar itu. Tapi tentu saja, tanpa bantuan kamu Vano,, mungkin nggak akan berkembang secepat ini," ujar Dimas sambil memandang putranya.
Mendengar itu, Aqila mendadak tertegun. “Luminary Mahendra University?” gumamnya pelan sambil berpikir.
Ratna, yang duduk di sebelahnya, menoleh. “Ada apa, Nak?” tanyanya lembut.
Aqila menggeleng cepat. “Ah, nggak ada, Tante. aku cuma… tiba-tiba teringat sesuatu,” ucapnya sambil memaksakan senyum. Namun pikirannya masih berputar.
"Tunggu, bukankah itu kampus tempat Kak Areta kuliah? Aku kan pernah kesana untuk menemui Daniel. Dan kk vano? Mata Aqila mulai melirik ke arah Alvano secara diam-diam. Tiba-tiba, ia teringat kejadian beberapa hari lalu, sebelum ia diusir dari rumah.
Pria yang aku tabrak waktu itu… Nafasnya tercekat. Ya Allah, batinnya. Itu benar-benar kk vano! Kak Vano yang sekarang ada di hadapannya ternyata adalah dosen di kampus itu, dan lebih mengejutkannya lagi, keluarganya adalah pemilik kampus tersebut.
Alvano yang merasa diperhatikan tiba-tiba menoleh. “Kamu kenapa, Aqila?” tanyanya bingung karena gadis itu terlihat bengong.
Aqila terkesiap. “Eh, nggak… nggak apa-apa, Kak,” jawabnya cepat sambil menunduk. Pipi gadis itu mulai memerah karena malu ketahuan melamun.
saat ditengah percakapan itu, tatapan Ratna tak sengaja melihat alvano yang memakan sayuran dengan lahap.Matanya membulat heran dan bibirnya membentuk senyuman kecil.
"Tumben banget kamu makan sayurnya lahap, Nak," ucap Ratna sambil meletakkan sendoknya di atas piring. "Biasanya disuruh makan sayur sedikit aja udah ngeluh. Ini malah nambah dua kali. Ada angin apa, hmm?" tanyanya menggoda.
Alvano yang tengah menyendok sayur untuk ketiga kalinya mendongak kaget. “Hah? Eh…” Ia menatap piringnya dan tertawa kecil, “nggak tahu kenapa, Ma, sayurnya enak banget. Rasanya beda aja, bikin nagih, lagi pula mama masaknya enak banget"
Ratna terkekeh. “Kamu kira sayur ini mama yang masak?” tanyanya penuh teka-teki.
Alvano mengernyit bingung. “Emangnya bukan Mama?”
Ratna menggeleng sambil tersenyum lebar. “Itu Aqila yang masak, Nak.”
Mendengar namanya disebut, Aqila yang dari tadi makan dengan tenang langsung mendongak kaget. Wajahnya memerah dan ia buru-buru menunduk, berusaha menahan canggung. “Tante, rasanya biasa aja kok” ucapnya lirih.
“rasanya enak qila" jawab Ratna santai, "tante bangga sama kamu Qila. kamu jago masak. Lihat aja tuh Vano, makannya sampai nambah berkali-kali. Kalau gini terus, tante yakin Vano bakalan tambah gemuk.”
Dimas tertawa kecil mendengar candaan istrinya. Sementara itu, Alvano terdiam sejenak dengan sendok masih di tangannya. Perlahan, senyum kecil tersungging di bibirnya. Matanya melirik sekilas ke arah Aqila, yang tampak sibuk memandang piringnya.
“Oh… jadi Aqila yang masak?” gumam Alvano pelan, seakan berbicara pada dirinya sendiri. Ada sesuatu dalam suaranya yang terdengar canggung, tapi juga penuh kekaguman.
Ratna langsung menyambung, kali ini dengan nada menggoda. “Tadi mama sama Aqila ke warung sayur, lho. Kamu tahu nggak, Nak, ibu-ibu di sana langsung kepo begitu lihat Aqila. Mereka malah bilang Aqila ini calon mantu mama!”
Perkataan Ratna seketika membuat aqila tersedak ringan. Cepat-cepat ia meraih air putih dan meneguknya sambil berusaha menahan rasa malunya. Alvano, yang juga terkejut, hanya bisa diam mematung. Wajahnya memerah samar, tapi senyum tipis tetap terlihat di bibirnya.
“M-mantu?” Alvano berusaha memastikan apa yang baru saja ia dengar, suaranya sedikit serak. Tatapannya beralih ke mamanya, lalu ke Aqila yang tampak salah tingkah.
"Iya, katanya kalian cocok," jawab Ratna dengan nada menggoda. "Mama cuma senyum-senyum aja denger mereka ngomong gitu."
Alvano memutar bola matanya, berusaha tetap tenang. "Mama ini ada-ada aja." Tapi jujur saja, hatinya entah kenapa sedikit senang mendengar ucapan tersebut.
Dimas yang sedari tadi memperhatikan interaksi mereka hanya tersenyum penuh arti. Tatapannya bergantian antara Aqila dan Alvano. "Ya, kalau dipikir-pikir memang cocok sih," ucap Dimas pelan namun penuh makna, sengaja memancing reaksi dari keduanya.
Aqila semakin salah tingkah. Ia buru-buru menundukkan kepala dan fokus pada piringnya, sementara Alvano hanya menghela napas panjang. "Sudah lah pa, ma, kita fokus makan aja ya," ujarnya berusaha mengalihkan pembicaraan.
Namun, Ratna tak mau kalah. "Aqila, lain kali masakin sayur yang lebih banyak lagi ya buat Vano. Biar tiap hari makannya lahap begini," godanya dengan senyum lebar.
Aqila mengangguk kecil, "I-iya, Tante," jawabnya lirih, masih dengan wajah memerah.
🌸🌸🌸🌸🌸
Tepat pukul satu dini hari, Aqila terbangun dengan nafas tersengal-sengal. Mimpi buruk tentang perlakuan ibu tiri dan kakak tirinya kembali menghantuinya. Nafasnya terasa sesak, peluh dingin membasahi wajahnya. Ia memandang sekitar dengan mata nanar, berusaha memastikan bahwa semuanya hanya mimpi.
“Untung cuma mimpi…” gumamnya lirih. Namun rasa takut dan kenangan masa lalunya belum juga pergi. Ia duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya, berusaha menenangkan diri.
Setelah beberapa menit berlalu, Aqila bangkit. Ia merasa haus dan butuh ketenangan. Dengan langkah hati-hati, ia berjalan menuju dapur dalam remang-remang cahaya lampu malam. Begitu sampai, ia menuangkan air ke gelas dan meminumnya perlahan. “Ah, lebih baik…” bisiknya.
Namun, ketika ia hendak berbalik menuju kamarnya, seekor kecoa tiba-tiba melintas di kakinya. Mata Aqila membelalak. Ia berteriak kencang, “KYAAAA!!!” dan seketika berlari terbirit-birit ke arah ruang tengah, wajah panik tak karuan.
Di lantai atas, Alvano yang belum tidur tengah fokus menyelesaikan pekerjaan kantornya. Suara teriakan Aqila membuatnya terkejut. Alvano langsung melepas kacamata dan berdiri cepat.
“Siapa teriak tengah malam begini?” gumamnya, berjalan turun menuju sumber suara.
Langkahnya cepat, tetapi belum sempat ia mencapai lantai bawah, Aqila yang panik berlari dalam kegelapan malah menabraknya.
“BRUK!”
Keduanya terjatuh bersamaan. Alvano jatuh terduduk di lantai dengan punggung bersandar pada dinding, sementara Aqila mendarat di atas tubuhnya. Mata mereka bertemu dalam jarak yang begitu dekat.
Aqila membeku. Dadanya berdegup begitu kencang. Sementara Alvano menatap Aqila dengan ekspresi terkejut dan canggung. Sekian detik berlalu dalam keheningan.
“A-Aqila…” suara Alvano memecah kebekuan. “Kamu… apa kamu baik-baik saja?”
Aqila tersadar dari posisinya. Wajahnya memerah seketika. “A-aku… maaf, Kak! Aku nggak sengaja…” buru-burunya bangkit dari posisi itu, tapi justru membuatnya semakin canggung.
Alvano ikut berdiri, sedikit mengusap bagian belakang kepalanya yang sempat terbentur ringan. “Nggak apa-apa. Tapi… kamu kenapa lari-lari tengah malam begini?” tanyanya, nada suaranya terdengar khawatir.
Aqila menunduk malu. “A-anu… ada kecoa di dapur, Kak. Aku kaget…”
Alvano menatap Aqila sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil. “Kecoak? kamu takut kecoa?”
Aqila memandangnya dengan wajah cemberut. “Eh, jangan ketawain aku. Itu kecoa besar banget. Kalau Kak Vano lihat juga pasti lari!”
Alvano tersenyum kecil sambil menahan tawanya. “Aku sih nggak pernah sampai lari kencang begitu.”
Aqila menggerutu pelan, pipinya masih bersemu merah. “Huh… kakak aja nggak tahu rasanya.”
Suasana itu tak berlangsung lama karena lampu rumah tiba-tiba menyala, menampilkan sosok Dimas dan Ratna yang berjalan menghampiri mereka.
“Ada apa ini? Kenapa berisik tengah malam?” tanya Dimas, suaranya berat dan serius.
Ratna ikut menatap kedua anak muda itu dengan dahi berkerut. “Vano? Aqila? Kalian kenapa?”
Alvano, yang masih sedikit canggung, menjelaskan dengan singkat. “Ini Aqila, Ma, Pa. Tadi dia lihat kecoa di dapur terus kaget… dia lari sampai nabrak aku.”
Dimas mengangguk paham, lalu memandang Aqila. “Kamu baik-baik saja, nak? kalau ada apa apa kamu langsung panggil kami”
Aqila tersenyum malu. " aku baik baik saja, maaf Om, Tante…sudah bikin ribut. Aku kaget banget tadi.”
Ratna tersenyum kecil. “Ya ampun, cuma gara-gara kecoa. Kamu nggak apa-apa, kan, Van?”
Alvano mengangguk. “Aku baik-baik aja, Ma.”
Dimas kemudian menghela nafas, menatap keduanya dengan pandangan lembut. “Sudah, sekarang kalian istirahat. Ini sudah malam, besok lanjut lagi aktivitasnya.”
Mereka pun kembali ke kamar masing-masing.
Di kamar, Aqila duduk termenung di tepi ranjang. Pikirannya masih berputar tentang kejadian tadi. “Kenapa jantungku berdebar seperti ini? Kak Vano…, lagi lagi aku menabraknya” bisiknya sambil menggigit bibir bawahnya. ia merasa malu. namun saat melihat tatapan Vano tadi ia jadi senyum senyum sendiri dan salah tingkah.
"dia tampan..., ah.. Qila... kenapa kamu memikirkannya? "
Sementara di kamarnya, Alvano merebahkan diri di kasur, senyum kecil bermain di bibirnya. Bayangan Aqila yang berteriak panik dan wajahnya yang malu-malu tadi membuatnya menghela nafas panjang.
“Aqila…kamu lucu” gumamnya, tanpa sadar memikirkan gadis itu.
Setelah suasana rumah kembali hening, Dimas dan Ratna masuk ke kamar mereka. Ratna berjalan ke arah tempat tidur, sementara Dimas duduk di tepi kasur dengan wajah serius. Suasana tenang malam itu menyiratkan ada sesuatu yang tengah dipikirkan Dimas.
Ratna yang baru saja selesai mengatur selimut menatap suaminya heran. “Kenapa, Mas? Kok kelihatan serius gitu?” tanyanya lembut, duduk di sebelah Dimas.
Dimas menatap istrinya sejenak sebelum akhirnya membuka suara. “Ma, melihat kejadian tadi… aku jadi ingin berbicara serius dengan kamu.”
Ratna mengerutkan kening. “Bicara apa, Pa? Ada apa?”
Dimas menghela napas panjang, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Semenjak kehadiran Aqila di rumah ini, aku mulai memperhatikan sesuatu.”
“Sesuatu apa?” Ratna penasaran.
Dimas melanjutkan, suaranya lebih dalam. “Sikap Alvano, Ma. Anak itu biasanya pendiam, serius, dan jarang sekali terlihat benar-benar bahagia. Tapi sejak Aqila ada di sini, aku melihat perubahan kecil yang signifikan.”
Ratna memandang suaminya lebih dalam, mulai memahami arah pembicaraan ini. “Perubahan apa maksudnya?”
Dimas tersenyum tipis, pandangannya menerawang. “Saat kita makan malam tadi, saat kita ngobrol dengan Aqila, kamu lihat kan? Alvano itu senyum. Bahkan bukan cuma senyum biasa, dia terlihat lebih hidup.”
Ratna terdiam sejenak, kemudian tersenyum kecil. “Iya, sih. Tumben juga dia makan sayur dengan lahap tadi. Bahkan minta nambah sayur… itu hal yang hampir nggak pernah terjadi.”
Dimas mengangguk, seakan menguatkan perkataan istrinya. “Itulah yang membuat aku berpikir. Aku jadi ingin memenuhi janji lamaku pada sahabatku.”
Ratna menatap suaminya dengan penuh tanda tanya. “Janji? Janji apa, Pa?”
Dimas menoleh ke arah istrinya, senyumnya lembut. “Janji untuk menjodohkan anak kita dengan putri sahabatku.”
Ratna membelalak kecil, terkejut. “Maksud Papa… Aqila?”
Dimas mengangguk mantap. “Iya, Ma. Dulu aku dan hendra pernah sepakat kalau anak kita dan dia berbeda jenis kelamin, kami akan menjodohkan mereka. Waktu itu Aqila masih dalam kandungan, dan kita pindah ke luar negri untuk memulai bisnis,Aku jadi kehilangan kontak dengannya. Tapi sekarang, setelah melihat Aqila di sini… aku yakin. Aqila gadis baik, sopan, dan punya hati yang lembut. Dan lihat saja Alvano, meskipun dia belum menyadari perasaannya, kehadiran Aqila membawa perubahan yang baik untuknya.”
Ratna tersenyum penuh arti, tangannya menggenggam tangan suaminya. “Aku juga berpikiran sama, Mas. Baru tadi siang, lho, aku sempat kepikiran ingin menjodohkan mereka. Mereka kelihatan cocok sekali. Aqila anaknya lembut, jago masak, dan yang terpenting dia punya hati yang tulus. Mama juga suka sama dia.”
Dimas tersenyum lebar, merasa senang mendengar pendapat istrinya. “Kamu sepemikiran sama aku, Ma?”
Ratna terkekeh pelan. “Iya, kita memang sepemikiran. Lucu, ya? Bahkan tadi siang saja aku bercanda tentang ini, tapi ternyata sekarang Papa malah beneran berpikiran untuk menjodohkan mereka.”
Dimas tertawa kecil. “Kadang takdir memang lucu, Ma. Tapi aku pikir ini yang terbaik untuk mereka. Aqila butuh seseorang yang bisa menjaganya, dan aku rasa Alvano bisa jadi pria itu. Lagi pula, Aqila sekarang sendirian. Kasihan dia, Ma.”
Ratna mengangguk penuh persetujuan. “Benar, Pa. Aqila sudah tidak punya siapa-siapa. Kalau Alvano bisa menjaganya, Mama rasa itu akan jadi sesuatu yang baik.”
"Jadi, Ma, kita sepakat menjodohkan mereka?"
Ratna tersenyum kecil "Iya, Pa. Lagian Mama juga udah pengen cepet-cepet punya cucu. biar Rumah ini nggak sepi terus."
Dimas tertawa kecil "Iya bener. Kalau gitu besok Papa ajak Alvano bicara dulu."
Ratna tertawa sambil menggeleng: "Aduh, kalau Alvano denger ini, dia pasti langsung canggung."
Dimas: "Biarin aja. Nggak ada salahnya kita rencanakan masa depan anak kita."
Ratna tertawa kecil sambil menepuk lengan suaminya, keduanya tersenyum puas membayangkan rencana mereka.
**********
jangan lupa dukungannya readersss Vote, like and komennya😉