NovelToon NovelToon
CINTA Di Ujung PISAU

CINTA Di Ujung PISAU

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: Nona Rmaa

Elina Widiastuti, dengan rambut sehitam malam yang terurai lembut membingkai wajahnya yang cantik jelita, bukanlah putri seorang bangsawan. Ia hidup sederhana di sebuah rumah kecil yang catnya mulai terkelupas, bersama adik perempuannya, Sophia, yang masih belia, dan kedua orang tuanya. Kehidupan mereka, yang tadinya dipenuhi tawa riang, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Ketakutan yang berasal dari sosok lelaki yang menyebut dirinya ayah, namun perilakunya jauh dari kata seorang ayah.

Elina pun terjebak di pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, ia pun mendapatkan perlakuan kasar dari orang orang terdekatnya.

bagaimana kelanjutannya?

silahkan membaca dan semoga suka dengan ceritanya.

mohon dukung aku dan beri suportnya karena ini novel pertama aku.
jangan lupa like, komen dan favorit yah 😊
kunjungan kalian sangat berarti buat aku. see you

selamat membaca


see you 😍

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Rmaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10

Di rumah sakit, Elina terbaring lemah. Sophia duduk di sampingnya, sesekali menyeka air mata. Luna berdiri di dekat jendela, sementara Axel dan Ryan berdiri di dekat ranjang Elina. Keheningan mencekam ruangan.

Axel menatap Elina dengan tatapan dingin, tangannya ter kantong. Luna memecah keheningan, suaranya bergetar. "Tuan Axel… kau baik-baik saja?"

Axel menoleh ke Luna, wajahnya masih datar. "Aku baik-baik saja," katanya, suaranya datar, tanpa emosi.

"Beritahu keluarga Elina bahwa semua biaya pengobatan aku yang menanggung nya. Itu saja."

Ryan, yang memahami sikap Axel, mendekat. "Axel," katanya pelan,

"Elina menyelamatkanmu. Kau harus—"

Axel memotongnya, suaranya dingin.

"Kecelakaan. Hanya kecelakaan. Tidak perlu drama." Ia menatap Elina lagi, lalu beralih ke Luna.

Luna tertegun. Sikap dingin Axel membuatnya terluka.

 "Tapi… Elina menyelamatkanmu, Tuan. Setidaknya, kau bisa menunjukkan sedikit rasa—"

Axel memotongnya lagi, suaranya sedikit lebih keras.

"Aku sudah mengatakannya. Kecelakaan. Aku bertanggung jawab atas biaya pengobatannya. Itu sudah cukup." Ia berbalik, hendak meninggalkan ruangan.

Ryan menahannya.

"Axel, tunggu. Kau tidak bisa bersikap seperti ini. Elina—"

Axel berhenti, menoleh ke Ryan dengan tatapan tajam.

"Apa yang kau harapkan dariku, Ryan? Aku harus menangis tersedu-sedu di samping ranjangnya? Aku harus menyatakan cintaku padanya? Itu bukan aku." Suaranya sedikit lebih tinggi, menunjukkan emosi yang terpendam.

"Aku hanya akan merasa bersalah jika aku menunjukkan kelemahanku. Aku bertanggung jawab atas keselamatannya, itu saja."

Ryan terdiam, menyadari bahwa sikap dingin Axel adalah sebuah pertahanan diri. Ia memahami beban yang dipikul Axel.

"Aku mengerti," katanya pelan.

"Tapi setidaknya, tunjukkan sedikit rasa terima kasihmu. Elina pantas mendapatkannya."

Axel terdiam sejenak, menatap Elina yang terbaring lemah. Matanya tampak sedikit melembut, meskipun ia masih berusaha keras untuk menyembunyikannya.

"Aku berhutang budi padanya," katanya, suaranya masih dingin, tetapi ada sedikit getaran yang hampir tak terdengar.

"Itu saja." Ia berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Luna dan Ryan yang terdiam, menyadari bahwa es di hati Axel perlahan mulai mencair, meskipun prosesnya masih sangat lambat dan menyakitkan.

.

.

Mentari senja, seperti darah yang membeku di langit, menorehkan warna jingga menyala di balik jendela-jendela rumah megah itu. Namun, warna jingga itu tak mampu mengusir hawa dingin yang menusuk tulang, hawa dingin yang seakan terpancar dari sosok Axel yang baru saja melangkah masuk. Kemeja putihnya, yang tadinya mungkin seputih salju, kini menjadi kanvas mengerikan bagi noda darah merah tua yang melekat dengan mengerikan.

Bukan sekadar percikan, melainkan bercak-bercak besar yang seolah menceritakan kisah mengerikan yang baru saja terjadi. Rambutnya, biasanya disisir rapi, kini acak-acakan seperti sarang burung yang diterjang badai. Wajahnya, pucat pasi, dihiasi bayangan gelap di bawah mata yang cekung, seakan menyimpan beban berat dunia di baliknya. Langkah kakinya berat, setiap langkahnya seperti menghantam hati yang sudah mulai gentar.

Di ruang tamu, di tengah cahaya redup yang menyorot halaman belakang yang mulai gelap, Mommy Axel duduk tenang, membaca buku kesayangannya. Rambutnya, yang mulai memutih di pelipis, terurai lembut di bahunya.

Namun, ketenangan itu sirna seketika. Bunyi pintu utama, yang biasanya disambut dengan senyum hangat, kali ini hanya disambut oleh jantung yang berdebar kencang. Tatapannya tertuju pada sosok Axel, anaknya, yang berdiri di ambang pintu, seperti hantu yang baru saja muncul dari neraka.

Darah. Itulah yang pertama kali dilihatnya. Darah yang membasahi kemeja putih Axel, darah yang seolah menjerit minta penjelasan. Buku yang dipegangnya terjatuh dengan bunyi gedebuk yang nyaring, namun bunyi itu tak terdengar di tengah gemuruh jantungnya yang berdebar tak karuan.

"Axel!" Seruannya terlontar, suara yang bergetar hebat, dipenuhi kepanikan yang tak tertahankan.

"Ada apa ini? Apa yang terjadi padamu, sayang?"

Axel tetap diam, matanya menatap lantai parket yang mengkilap, seakan ada sesuatu yang lebih menarik daripada mommy nya yang panik setengah mati. Wajahnya, seperti topeng es yang dingin dan tak bernyawa, tak menunjukkan sedikitpun emosi. Mommy Axel mencoba mendekat, tangannya terulur hendak menyentuh lengan Axel, namun pemuda itu mundur selangkah, menjaga jarak yang dingin dan menyakitkan.

"Axel, ceritakan padaku!" Suaranya meninggi, dipenuhi kecemasan yang semakin membuncah.

"Jangan diam saja! mommy sangat khawatir! Katakan, apa yang telah terjadi?"

Keheningan. Keheningan yang mencekam, yang lebih dingin daripada udara malam. Hanya detak jam dinding tua yang berdetak nyaring, seakan mengiringi detak jantung Mommy Axel yang berpacu semakin cepat, diiringi oleh bayangan merah yang semakin jelas di bawah cahaya senja yang memudar.

Aroma darah, samar namun menusuk, memenuhi ruangan, menambah rasa takut yang mulai menguasai Mommy Axel. Apa yang telah terjadi pada anaknya? Pertanyaan itu, seperti belati tajam, terus menusuk-nusuk hatinya.

Desakan Mommy Axel, yang diiringi isakan dan air mata yang membasahi pipinya, akhirnya mampu menembus benteng es yang selama ini dibangun Axel. Namun, bahkan di tengah curahan emosi ibunya, sikap dingin Axel tetap tak tergoyahkan.

Ia menceritakan semuanya dengan suara datar, tanpa sedikitpun emosi yang terlihat, seakan sedang menceritakan sebuah laporan, bukan pengalaman traumatis yang baru saja dialaminya. Setiap kata keluar dari bibirnya seperti butiran es yang jatuh ke tanah, dingin dan tanpa perasaan.

"Sophia, adik Elina.entah siapa mereka aku juga tidak tau" ujarnya, suaranya tanpa intonasi.

"Dijual ayahnya ke tempat hiburan malam." Ia berhenti sejenak, menatap lantai parket yang mengkilap, seolah-olah ada sesuatu yang lebih menarik daripada ibunya yang menangis tersedu-sedu.

Ia melanjutkan ceritanya, mengisahkan tentang misi penyelamatan yang dilakukannya bersama Rian, tentang bagaimana mereka menyusup ke tempat gelap itu, mencari Sophia di antara bayangan dan asap rokok yang menyesakkan. Suaranya tetap datar, tanpa sedikitpun ekspresi yang menunjukkan keprihatinan atau ketegangan.

"Mr. Budi menembak. Elina menghalangi," ujarnya, tanpa jeda.

"Dia kena." Ia menunjuk ke kemeja putihnya yang berlumuran darah, dengan nada yang sama seperti saat ia menyebutkan merek mobil kesukaannya.

"Kemeja ini agak mahal, sebenarnya."

Mommy Axel terisak semakin keras, tubuhnya gemetar hebat. Cerita Axel, yang disampaikan dengan sikap acuh tak acuh yang mengerikan, bagaikan pukulan bertubi-tubi yang menghantam jiwanya. Ia tak mampu membayangkan betapa traumatis nya pengalaman yang dialami anaknya, namun sikap dingin Axel justru membuatnya semakin merasa putus asa.

"Axel..." lirih Mommy Axel, suaranya tersedak isakan.

"Kau… kau tidak peduli?"

Axel mengangkat bahu, gerakannya dingin dan mekanis.

"Dia hanya seorang bawahan," ujarnya, suaranya masih datar.

"Aku sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini."

Kalimat itu, yang dilontarkan dengan begitu enteng, menghantam Mommy Axel lebih keras daripada apapun. Sikap dingin Axel, yang menutupi luka batinnya, justru menjadi luka baru bagi mommy nya. Ia menyadari bahwa anaknya membutuhkan lebih dari sekadar pelukan dan penghiburan. Axel membutuhkan bantuan profesional, bantuan untuk menghadapi trauma yang telah dialaminya. Dan Mommy Axel bertekad untuk memberikannya.

.

.

Lanjut yah

See you😍

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!