Lyra terpaksa cuti dari pekerjaannya untuk menjenguk neneknya yang sakit di kota N, hanya untuk menemukan bahwa neneknya baik-baik saja. Alih-alih beristirahat, Lyra malah terlibat dalam cerita konyol neneknya yang justru lebih mengenalkan Lyra pada Nenek Luna, teman sesama pasien di rumah sakit. Karena kebaikan hati Lyra merawat nenek-nenek itu, Nenek Luna pun merasa terharu dan menjodohkannya dengan cucunya, seorang pria tampan namun dingin. Setelah nenek-nenek itu sembuh, mereka membawa Lyra bertemu dengan cucu Nenek Luna, yang ternyata adalah pria yang akan menjadi suaminya, meski hanya dalam pernikahan kontrak. Apa yang dimulai sebagai perjanjian semata, akhirnya menjadi permainan penuh teka-teki yang mengungkap rahasia masa lalu dan perasaan tersembunyi di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chu-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 16
Jun duduk di kursi kerja ergonomisnya, matanya fokus memeriksa dokumen-dokumen yang tersusun rapi di meja kaca hitam. Sesekali ia mengambil pena mewah di tangannya, menandatangani beberapa dokumen yang disodorkan oleh Satria, asistennya yang setia.
"Apakah kau sudah mencari tahu tentang wanita itu?" tanya Jun tiba-tiba, nada suaranya tenang namun penuh maksud, sambil membuka lembaran dokumen berikutnya.
"Wanita? Maksud Tuan Nona Lyra?" Satria bertanya memastikan, sedikit mencondongkan tubuhnya.
"Iya. Apa yang dia lakukan di perusahaan ini?" Jun melanjutkan tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen di tangannya.
Satria segera menjawab, nada suaranya profesional. "Nona Lyra bekerja di perusahaan ini, Tuan. Dia berada di divisi pengembangan game sebagai Game Designer. Saat ini, dia yang bertanggung jawab atas desain proyek game Symphonia Chronicles. Ini resume dan CV milik Nona Lyra."
Satria menyerahkan beberapa dokumen ke tangan Jun, yang langsung mengambilnya tanpa berkata apa-apa. Matanya membaca setiap detail dengan saksama, memperhatikan riwayat pendidikan dan pengalaman kerja yang tercatat di sana.
"Berarti dia anak buahku," gumam Jun pelan sambil menopang dagunya dengan satu tangan. Seketika, bibirnya melengkung membentuk senyum licik. Matanya memancarkan kilatan yang sulit ditebak maksudnya.
Satria, yang mengamati perubahan ekspresi bosnya itu, hanya bisa menghela napas dalam hati. "Apa lagi yang dipikirkan oleh Tuan Muda? Haish... Kasihan Nona Lyra, pasti bos akan mengganggunya lagi," batinnya dengan cemas, meskipun wajahnya tetap menjaga profesionalitas.
Di ruang divisi pengembangan game, suasana sibuk melingkupi para staf yang fokus pada proyek masing-masing. Ketukan keyboard terdengar riuh, diselingi diskusi kecil di beberapa sudut ruangan.
“Lyra,” panggil Ibu Zee dengan suara tegas namun hangat.
“Iya, Bu,” sahut Lyra lembut, menoleh ke arah atasannya.
“Kamu diperintahkan untuk ke ruangan Pak Rayyan. Beliau ingin membahas terkait desain yang kamu buat,” jelas Ibu Zee.
“Baik, Bu,” jawab Lyra singkat namun penuh sopan santun.
Tanpa menunda waktu, Lyra segera menuju ruangan Pak Rayyan. Sesampainya di sana, ia melapor terlebih dahulu kepada sekretaris yang duduk di meja depan ruangan. Setelah menyampaikan pesannya, sang sekretaris masuk sebentar ke ruangan Rayyan sebelum kembali dan memberi isyarat pada Lyra untuk masuk.
Dengan langkah ragu namun mantap, Lyra memasuki ruangan. Di dalam, Pak Rayyan tampak duduk di kursinya dengan setumpuk berkas di depan mata. Ia tersenyum ramah begitu melihat Lyra masuk.
“Oh, Lyra, kau sudah datang?” sapa Rayyan, bangkit dari kursinya dengan ekspresi ramah.
“Iya, Pak. Ibu Zee berkata Bapak ingin membicarakan desain game yang saya buat,” tutur Lyra dengan sopan.
“Iya, betul. Tapi sebenarnya bukan aku yang ingin mendiskusikannya,” Rayyan menjelaskan sambil merapikan dokumen di mejanya.
“Aku sendiri sudah menyetujui desainmu, tapi ada orang lain yang ingin memeriksanya lebih detail.”
Rayyan berjalan mendekati Lyra, meletakkan tangan di pundaknya dengan ringan, dan membimbingnya untuk berbalik ke arah sofa di sisi lain ruangan. Di sana, seorang pria duduk santai seperti raja, dengan satu kaki disilangkan di atas yang lain. Tatapannya tajam dan dingin, mengarah langsung pada Lyra. Di samping pria itu, seorang pria lain berdiri dengan senyum ramah.
“Lyra, aku perkenalkan,” Rayyan mulai berkata, suaranya tetap lembut, “ini Jun, atau lebih tepatnya Tuan Arjuna Wisnu Wardhana.”
Mata Lyra membelalak seketika. Ia menatap Rayyan dengan ekspresi kaget bercampur tidak percaya.
“Arjuna Wisnu Wardhana?” ulang Lyra pelan, seperti memastikan ia tidak salah dengar.
“Iya,” sahut Rayyan, sedikit heran melihat reaksi Lyra.
“Arjuna Wisnu Wardhana? CEO Arcadia Interactive?” Lyra bertanya lagi, kali ini dengan nada lebih tidak percaya.
“Iya,” Rayyan mengangguk, alisnya sedikit berkerut. “Bukankah kami pernah berkunjung ke divisi tempatmu bekerja?” tambahnya, mencoba mengingatkan.
Lyra berdiri mematung, pikirannya berputar liar. Jun adalah Arjuna Wisnu Wardhana. Arjuna Wisnu Wardhana adalah CEO perusahaan ini. Aku bekerja di perusahaan ini, yang berarti... Jun adalah bosku?! Oh, astaga! batinnya dengan panik.
Ia kembali melirik Jun, yang masih menatapnya dengan ekspresi dingin.
Aku sudah beberapa kali membuatnya marah! Setiap kali bertemu dia, aku selalu ditimpa kemalangan. Mampus aku! Apa dia akan mencari masalah denganku? Atau, ini alasannya agar aku bisa dipecat dengan mudah? Lyra menggigit bibir bawahnya dengan gugup, ekspresinya kini penuh kecemasan.
“Lyra, apakah kamu baik-baik saja?” suara Rayyan membuyarkan pertarungan batin Lyra. Ia menatap Rayyan dengan kaku, mencoba menyusun ekspresi yang lebih tenang.
Rayyan mempersilakan Lyra untuk duduk di sofa bersama Jun guna membahas desain game. Namun, Lyra tampak gelisah dan enggan duduk di samping Jun. Dengan nada canggung, ia menyarankan agar Rayyan duduk di samping Jun, sementara ia memilih duduk di sisi lainnya.
Rayyan, meski tidak memahami apa yang ada di pikiran Lyra, menuruti saran tersebut sambil tersenyum kecil. Tingkah Lyra yang canggung itu bahkan membuatnya terkekeh ringan.
Diskusi pun dimulai. Ketika tiba giliran Lyra untuk menjelaskan desain gamenya, rasa gugup yang tadi terlihat seolah hilang. Ia tampil percaya diri, memaparkan idenya dengan penuh semangat. Kata-katanya tersusun rapi dan jelas, membuat penjelasannya mudah dipahami oleh semua yang mendengarkan.
Rayyan, Jun, dan Satria memperhatikan penjelasan Lyra dengan seksama. Rayyan bahkan terus tersenyum melihat antusiasme Lyra saat menjelaskan detail desainnya. Ia tampak terkesan dengan kecakapan Lyra dalam menguasai materi yang dibuatnya.
Namun, senyuman Rayyan tampaknya tidak disukai oleh Jun. Sekilas, ekspresi pria itu berubah dingin.
"Aku terlalu meremehkan wanita liar ini," batin Jun sambil memperhatikan Lyra yang terlihat sangat berdedikasi.
Setelah berdiskusi tentang desaun game, serta beberapa masukan yang diberikan Jun. Lyra pun beranjak pamit ingin meninggalkan ruangan Rayyan.
“Lyra, bagaimana kalau makan siang bersama kami.”tawar Rayyan saat lyra hendak keluar.
“Terima kasih atas tawarannya, Pak. Tetapi, saya sudah ada janji dengan teman saya.”ucap lyra sopan.
“Apakah dengan Aira? Tidak masalah ajak juga aira. Kami tidak keberatan dengan itu.”sahut Rayyan.
“Tapi, Pak sebaiknya tidak perlu.”ucap lyra tersenyum canggung.
“bertambah satu atau dua orang tidak akan membuat kami jatuh miskin untuk memberikan makan kalian.”ucap jun dengan nada sombong dan wajah datarnya.
Lyra mendengar itu sangat kesal, rasanya ia ingin memaki jun namun ia harus menahan diri, jun adalah bosnya. Dia hanya tersenyum canggung.
“Dia memang seperti itu bicaranya, jangan masukan ke dalam hati. Aku akan memerintahkan seseorang untuk memanggil Aira temanmu.”tutur rayyan mengalihkan pembicaraan.
Beberapa saat kemudian, setelah Aira bergabung dengan mereka, rombongan segera bergegas pergi menggunakan mobil mewah milik Jun. Satria duduk di kursi pengemudi, sementara Aira berada di kursi penumpang depan. Di kursi belakang, Lyra terjebak dalam posisi canggung, duduk di antara Jun dan Rayyan.
Lyra merasa tidak nyaman dengan posisi itu. Ia sering kali meneguk ludah, sementara keringat mulai menetes di pelipisnya. Meski AC mobil bekerja dengan baik, ia tetap merasa gerah, bukan karena suhu, tetapi karena tekanan situasi.
"Apakah AC di mobil ini tidak mempan untuk tubuhmu, hingga kau berkeringat berlebihan seperti itu?" ujar Jun dengan nada sarkastis. Ia duduk dengan angkuh, pandangannya lurus ke depan, tetapi sudut matanya melirik Lyra dengan tatapan tajam.
"Pria ini, mulutnya kejam sekali," batin Lyra. Meski begitu, ia tetap berusaha memasang senyum canggung.
Tiba-tiba, Rayyan mengeluarkan sapu tangannya. Tanpa pikir panjang, ia menyeka keringat di wajah Lyra dengan lembut.
Semua orang di mobil itu terkejut. Lyra hanya diam, membatu di tempat, sementara matanya membelalak melihat tindakan Rayyan yang spontan.
"Wanita kasar ini, berani-berani bermesraan di hadapanku," batin Jun, raut wajahnya berubah masam.
Dari kursi pengemudi, Satria melirik ke kaca spion, menyadari perubahan ekspresi bosnya.
"Apakah nona ini tidak sadar betapa mengerikannya wajah Tuan Jun saat ini? Seperti ingin memakan orang," pikirnya dengan panik.
"Uhuuuk," Jun tiba-tiba berdeham, memecah suasana canggung di dalam mobil.
Rayyan segera menarik tangannya. "Maaf, refleks," ujarnya, mencoba mengembalikan situasi ke suasana formal.
"Iya, Pak," jawab Lyra pelan, masih canggung. Wajahnya memerah, entah karena rasa malu atau tekanan dari kedua pria yang duduk di sisinya.
Mobil mewah Jun berhenti tepat di depan sebuah restoran megah. Restoran tersebut bukan sembarang tempat makan, melainkan restoran bintang lima yang terkenal di kota. Hanya kalangan elit yang sering mengunjungi restoran ini, menambah kesan eksklusif bagi siapapun yang datang.
Bangunan restoran ini berdiri megah di lokasi strategis, dikelilingi pemandangan kota yang menawan. Fasad kacanya memantulkan cahaya, sementara lampu-lampu temaram menghiasi pintu masuk besar yang dipenuhi ornamen mewah. Dari luar, alunan musik klasik terdengar samar, menyambut tamu dengan nuansa elegan.
Saat memasuki restoran, mereka disambut oleh pelayan berseragam rapi dengan senyum ramah. Lobi restoran dihiasi bunga segar dalam vas kristal, chandelier besar menggantung di langit-langit, dan lantai marmer yang berkilauan. Meja resepsionis terlihat anggun, terbuat dari kayu premium dengan dekorasi minimalis namun memikat.
Lyra merasa canggung saat memasuki ruang makan yang luas dan elegan. Panel kayu berkualitas tinggi menghiasi dinding, dipadu dengan cermin berbingkai emas dan lukisan artistik. Pencahayaan temaram dari lampu gantung kristal menciptakan suasana intim, sementara lantai marmer yang halus membuat langkah terasa ringan. Meja-meja dihiasi linen putih bersih, piring porselen, dan peralatan makan yang berkilau. Lilin kecil di tengah meja menambah sentuhan romantis.
Namun, yang paling mengejutkan Lyra adalah suasana restoran yang kosong, tanpa pengunjung lain.
Ia memandang sekeliling dengan bingung hingga Satria dengan sopan menjelaskan, “Tuan Jun sudah memesan seluruh lantai restoran ini. Tuan tidak suka ada yang mengganggunya saat makan.”
“Berlebihan sekali,” batin Lyra sambil menatap Jun yang duduk dengan tenang.
Mereka segera duduk di meja yang telah disiapkan. Rayyan menyerahkan menu kepada Lyra dan Aira. Begitu membukanya, Lyra terpana melihat harga makanan yang tertera. Matanya membesar, dan ia hampir tersedak ludah sendiri.
“Ya ampun, kalau makan di sini setiap hari, aku bisa miskin dalam seminggu. Ini makanan atau perhiasan?” pikir Lyra sambil menelan ludah.
“Hey, apa yang mau kau pesan?” bisik Aira sambil melirik temannya yang terlihat kaku.
“Makanan di sini terlalu mahal. Ini sudah akhir bulan, aku harus hemat. Apa kita pergi saja?” jawab Lyra pelan.
Aira mendengus pelan, “Tenang saja, aku akan meminjamkan uang kalau kau kehabisan. Jangan pergi, jarang-jarang kita bisa makan bersama pria tampan, apalagi mereka keluarga terkaya di kota ini. Ini keberuntungan.”
“Keberuntungan? Ini malah kerugian bagiku,” gumam Lyra, wajahnya sedikit cemberut.
Rayyan yang memperhatikan percakapan mereka tersenyum kecil. “Tenang saja, hari ini aku yang traktir,” ucapnya dengan nada santai.
Lyra terdiam sejenak sebelum menjawab dengan nada pasrah, “Maaf merepotkanmu, Tuan. Aku akan mengganti uangmu nanti.”
Rayyan hanya tertawa kecil melihat wajah Lyra yang begitu jujur dalam mengungkapkan pikirannya. Suasana canggung pun mencair, dan makan siang mereka dimulai dengan penuh kehangatan walau tetap dibumbui gumaman protes kecil dari Lyra di setiap kesempatan.
Rayyan dan Jun memesan berbagai macam hidangan hingga meja mereka penuh sesak. Hampir semua menu andalan restoran itu tersaji di hadapan mereka, menciptakan pemandangan yang mengundang selera.
Mata Lyra dan Aira berbinar, tak bisa menyembunyikan antusiasme mereka. Namun, mereka masih menahan diri, belum menyentuh makanan yang terhidang. Kedua wanita itu menunggu isyarat dari dua pria kaya di hadapan mereka sebelum mulai makan, menjaga sopan santun di meja.
“Kenapa tidak menyentuh makanannya? Kenapa hanya memandanginya seperti itu? Lihatlah, air liur kalian hampir menetes ke atas meja,” ucap Rayyan sambil menggoda mereka, diiringi senyum nakal.
Lyra melirik ke arah Jun, mencari kepastian. Matanya yang membulat memancarkan ekspresi seperti kucing kecil yang sedang meminta izin untuk makan. Jun, yang sedari tadi diam, memperhatikan Lyra dengan pandangan sekilas. Matanya sempat tertumbuk pada ekspresi polos Lyra, seolah ia sedang menunggu ikan dilemparkan oleh pemiliknya.
“Pfft...” Jun tertawa kecil tanpa sadar, meskipun segera menyembunyikannya di balik wajah datarnya. Dengan nada datar, ia berkata, “Makanlah.”
Mendengar izin dari Jun, Lyra dan Aira langsung bergerak dengan cepat. Mereka menyendok beberapa hidangan favorit mereka dengan semangat, membuat suasana makan siang itu terasa lebih santai.
Tingkah laku kedua wanita itu membuat Jun menggelengkan kepala dengan helaan napas kecil, sementara Rayyan dan Satria hanya tersenyum menahan tawa melihat kekonyolan mereka.
“Apakah kalian sudah memiliki pasangan?” tanya Rayyan santai di sela-sela makan siang mereka.
“Tentu saja belum,” jawab Aira cepat, dengan nada penuh percaya diri.
Jun, yang tampaknya tertarik dengan topik tersebut, memutuskan untuk ikut bergabung dalam percakapan.
“Kalau yang lain mungkin aku percaya, tapi untuk seorang nona muda seperti Aira, apa benar tidak memiliki pasangan?” tanyanya, nada suaranya terdengar menggoda.
“Kalau yang lain? Maksudnya aku?” batin Lyra sambil menatap tajam ke arah Jun. "Kalau dia bukan bosku, mungkin sendok ini sudah melayang ke wajahnya sekarang," pikirnya kesal.
“Hahaha, Pak Arjuna bisa bercanda juga. Tentu saja belum, lebih tepatnya baru putus setahun yang lalu,” jawab Aira tanpa ragu, nada suaranya riang.
“Panggil Jun saja,” titah Jun singkat.
“Dih, sok keren banget. Apa-apaan tuh, ‘panggil Jun saja,’” batin Lyra sambil memutar bola matanya.
Rayyan, yang masih penasaran, mengalihkan perhatian ke Lyra. “Bagaimana dengan Nona Lyra?”
“Oho, Lyra itu gadis yang tertutup. Dia belum punya pasangan, bahkan dari bayi sampai sekarang!” seru Aira bersemangat. Jika sudah membahas Lyra, Aira memang tidak pernah kehilangan antusiasme.
Lyra menatap Aira dengan tajam, merasa terganggu oleh betapa cerewetnya temannya ini.
“Tidak bisakah dia menjaga privasiku sedikit saja?” pikirnya sambil mendesah dalam hati.
“Oh iya? Nona Lyra cukup terkenal di kantor. Beberapa pria sering membicarakan tentang Nona Lyra,” tambah Rayyan sambil tersenyum.
“Seperti wajahnya yang datar dan dingin, hatinya juga sama dinginnya,” Aira menimpali sambil tertawa. “Dia menolak untuk membuka hatinya. Hatinya sudah membeku perlu kekuatan super untuk mencairkannya. Bahkan, saat kuliah dulu, dia sudah menolak banyak pria,” lanjut Aira dengan nada bercanda.
Aira kemudian memperagakan gaya Lyra saat menolak pria. “Maaf, aku menolak,” ucapnya sambil meniru ekspresi datar Lyra. Semua yang melihatnya langsung tertawa, termasuk Rayyan dan Jun, yang tampaknya menikmati lelucon itu.
Namun, Jun tiba-tiba menatap Lyra dengan ekspresi datar dan bertanya dengan nada serius, “Apakah Nona Lyra tidak menyukai pria... melainkan menyukai wanita?”
Seluruh ruangan mendadak sunyi, dan mata Lyra langsung membulat, menatap Jun penuh keterkejutan. “Astaga, pria ini benar-benar mencari masalah!” batinnya.
“Apakah Pak Jun melihat saya seperti itu?” tanya Lyra dengan nada datar, namun jelas terlihat sedikit terganggu.
“Mungkin iya, mungkin tidak. Kalau iya, bagaimana kau akan menikah dan punya anak nanti?” balas Jun santai, tetap dengan ekspresi datarnya.
“Dia tidak ingin menikah dan juga tidak mau punya anak. Begitulah jawabannya setiap kali kami bertanya soal pernikahan,” sahut Aira tiba-tiba, seperti biasa tanpa memikirkan konsekuensi ucapannya.
Sontak, Lyra langsung menutup mulut Aira dengan tangannya. “Astaga, lama-lama semua privasiku akan dia bocorkan!” pikirnya kesal. Namun, Aira tetap saja mengoceh meskipun mulutnya ditutup, membuat Lyra semakin frustasi.
“Pantas saja kau marah menikah dulu,” gumam Jun dengan nada datar, membuat semua orang langsung menghentikan aktivitas mereka.
“Menikah? Apa maksud Pak Jun?” tanya Aira dengan wajah bingung. Bahkan Rayyan, yang biasanya santai, tampak terkejut dengan ucapan itu.
“Bukan apa-apa. Pak Jun mungkin salah bicara,” potong Lyra cepat, berusaha meredakan suasana. Ia menarik napas panjang, lalu melanjutkan dengan nada tenang, “Hufft. Aku bukan tidak ingin menikah, hanya saja kebanyakan orang menikah karena cinta atau alasan lain. Masalahnya, aku tidak tahu apa itu cinta, dan aku juga tidak tertarik dengan alasan lain. Kalau aku tertarik, aku pasti akan mengusahakannya sendiri.”
Semua mata tertuju pada Lyra, menunggu penjelasan lanjutannya. Ia menatap mereka satu per satu sebelum melanjutkan, “Apa artinya seseorang bagiku? Fungsinya? Kegunaannya? Kalau hanya untuk menambah beban, itu tidak ada artinya. Mengenai anak, tentu saja aku ingin punya anak. Tapi menurutku, punya anak harus berdasarkan kesepakatan bersama antara kedua pihak. Keduanya harus sama-sama menginginkan anak, dan lebih penting lagi, harus mau bersama-sama merawat dan mendidik anak itu. Bukan hanya satu pihak saja.”
Lyra melirik Aira sekilas, lalu menambahkan, “Namun, kebanyakan yang terjadi adalah salah satu pihak, biasanya perempuan, yang mengurus anak sendirian, sementara yang lain merasa dirinya sudah cukup hanya dengan menafkahi. Itu hal yang konyol menurutku. Jadi, keputusan untuk punya anak hanya akan kuambil jika kedua belah pihak sepakat untuk berbagi tanggung jawab.”
Semua yang mendengar penjelasan Lyra terdiam sejenak. Bahkan Aira, yang biasanya cerewet, hanya bisa mengangguk kecil sambil memandang Lyra dengan sedikit kagum. Rayyan dan Jun saling bertukar pandang, namun tidak ada yang berkata apa-apa. Suasana berubah tenang, namun terasa sedikit lebih berat dari sebelumnya.
“Sepertinya, pria ideal nona Lyra tidak ada di dunia nyata.” Sahut Rayyan tersenyum mengalihkan pembicaraan yang nampak serius itu.
“Ya, mungkin juga seperti itu.” Jawab Lyra dengan santai.