Ratri Swasti Windrawan, arsitek muda yang tidak ingin terbebani oleh peliknya masalah percintaan. Dia memilih menjalin hubungan tanpa status, dengan para pria yang pernah dekat dengannya.
Namun, ketika kebiasaan itu membawa Ratri pada seorang Sastra Arshaka, semua jadi terasa memusingkan. Pasalnya, Sastra adalah tunangan Eliana, rekan kerja sekaligus sahabat dekat Ratri.
"Hubungan kita bagaikan secangkir kopi. Aku merasakan banyak rasa dalam setiap tegukan. Satu hal yang paling dominan adalah pahit, tetapi aku justru sangat menikmatinya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Sepercik Kekaguman
Ratri menggeleng kencang karena sadar telah berpikir sangat konyol, kemudian mengembuskan napas kasar.
"Kak Sastra baik, ya. Dia juga cerdas dan sangat berpengalaman dalam bisnis. Selain itu, tampan serta ...." Asha tidak melanjutkan kalimatnya karena tatapan aneh yang dilayangkan Ratri terhadap dirinya. Gadis itu memilih duduk di sebelah sang kakak.
"Teman-temanku meributkan Kak Sastra di grup. Bi Lestari juga bilang begitu. Para tetangga membicarakan Kak Sastra. Mereka memuji ketampanan serta ... seharusnya, Kakak jangan memarahi pria sebaik dia."
"Kamu tidak tahu apa-apa. Lagi pula, ini urusan orang dewasa."
"Aku sudah punya KTP, Kak. Jangan lupa. Usiaku sudah 19 tahun."
Ratri terdiam. Dia seakan mendapat teguran keras, setelah mendengar ucapan Asha. Jika sang adik saja mengaku dewasa dengan usia 19 tahun, bagaimana dirinya yang sudah menginjak 25 tahun?
"Aku hanya mau bilang sesuatu, Kak," ucap Asha lagi. "Jangan terbebani olehku. Aku bisa dan pasti akan belajar lebih mandiri dibanding sebelumnya. Kurasa, sudah saatnya Kakak memikirkan diri sendiri."
"Mau jadi apa kamu? Kuliah saja belum lulus." Ratri melipat kedua tangan di dada.
Asha terdiam beberapa saat. Gadis itu seperti tengah merangkai kata-kata, yang akan disampaikan kepada Ratri.
"Kakak tidak akan tenang, bila belum melihatmu benar-benar mandiri. Zaman sekarang, pergaulan, gaya hidup, segala hal terasa sangat menakutkan," ucap Ratri pelan, dengan tatapan menerawang.
"Iya," sahut Asha, lalu terdiam.
Detik berlalu. Dua bersaudara itu terlarut dalam pikiran masing-masing, sampai terdengar suara dering panggilan di telepon genggam Ratri. Nama Eliana muncul sebagai pemanggil. Mau tak mau, Ratri harus menjawabnya, meskipun sedang malas.
"Kamu ke mana saja, Rat? Kenapa menghilang tanpa kabar? Aku khawatir sejak kemarin. Ada apa?" Eliana langsung memberondong pertanyaan, setelah panggilan tersambung.
"Maafkan aku, El. Aku sekarang ada di Bandung," sahut Ratri lesu.
"Apa? Bandung? Kenapa tiba-tiba kamu ada di sana? Kenapa tidak memberitahuku kalau kamu akan ke Bandung? Padahal, aku bisa mengantarmu dan kita sekalian berlibur ____"
"Tidak, El. Aku pulang ke Bandung bukan untuk berlibur," bantah Ratri, menyela ucapan Eliana.
"Lalu?"
"Papaku baru dimakamkan tadi pagi."
"Ya, Tuhan. Kenapa kamu tidak memberitahuku tentang berita sepenting itu? Bukankah kita teman? Kenapa kamu ...." Eliana terdengar sangat kecewa, sampai kehabisan kata-kata.
"Maaf, El. Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya .... Kupikir, masih ada banyak urusan yang jauh lebih penting dari ini," kilah Ratri, diiringi embusan napas pelan bernada keluhan.
"Apa yang lebih penting, Rat?"
Ratri terdiam. Rasa bersalah menyeruak hebat, saat teringat akan perbincangan dengan Sastra beberapa saat yang lalu, juga untuk sepercik kekaguman yang menimbulkan penyesalan karena telah menolak tegas godaan pria itu.
"Terima kasih, El. Aku akan pulang besok."
Setelah berbincang sebentar, Ratri mengakhiri panggilan. Dia mengalihkan perhatian pada Asha, yang entah tengah memikirkan apa.
"Jadi, ada perbincangan apa antara kamu dengan Sastra?" tanya Ratri penasaran.
"Hanya seputar bisnis," jawab Asha singkat. "Kak Sastra mengajariku beberapa trik sederhana, dalam membuka usaha kecil-kecilan."
"Kalian tidak membahas selain itu?" tanya Ratri lagi penuh selidik.
Asha menggeleng malas. "Kakak pikir apa? Aku tidak berani memuji ketampanannya."
"Jangan!" tegas Ratri segera.
"Tenang saja, Kak. Aku tidak berpikir melakukan itu. Aku hanya terkesan padanya. Kak Sastra adalah pria dewasa yang sangat luar biasa. Seharusnya, Kakak bersyukur dan tidak membiarkan dia pergi dengan membawa kekecewaan."
"Yang benar saja. Tampan bukan berarti segalanya." Ratri beranjak dari duduk, kemudian berlalu meninggalkan Asha. Dia tak ingin terus membahas Sastra karena hanya membuat otaknya berpikir dua kali lebih berat.
......................
"Kakak yakin mau pulang hari ini?" tanya Asha, setelah Ratri selesai berkemas.
"Kakak punya banyak pekerjaan," jawab Ratri. "Kamu yakin tidak mau ikut?"
Asha menggeleng, diiringi senyum lembut. "Kasihan Bi Lestari sendirian di sini. Kalau Kakak kan sudah terbiasa begitu," ujarnya, setengah bercanda.
"Ya, sudah. Kalau ada apa-apa, segera hubungi Kakak."
Asha mengangguk, lalu memeluk erat Ratri. Tanpa diduga, gadis itu menangis tersedu-sedu.
"Maafkan Kakak karena terus meninggalkanmu. Kita tidak punya pilihan," ucap Ratri pelan, menahan sedih.
Asha tidak menjawab. Dia hanya mengangguk pelan, tanpa melepas pelukan.
"Kakak ingin kamu bisa jauh lebih baik dalam segala hal. Jangan khawatir. Kakak akan memperjuangkan sebisa mungkin."
Ratri mengurai pelukan. Ditatapnya lekat sang adik, kemudian diseka air mata yang membasahi pipi gadis itu. “Fokuslah pada pendidikanmu. Kalaupun ingin sambil berbisnis, Kakak harap itu tidak mengganggu. Apalagi sampai membuatmu terlena dan melupakan niat awal. Selama bisa, Kakak yang akan menanggung seluruh kebutuhanmu. Jadi, jangan terlalu memikirkan hal itu.”
Asha kembali mengangguk. “Maafkan aku, Kak. Aku janji. Suatu saat nanti, aku akan membalas semua yang sudah Kakak lakukan selama ini.”
“Tidak. Jangan bicara seperti itu. Kakak melakukan kewajiban, bukan karena mengharap timbal balik. Buang jauh pemikiran begitu. Jika kamu bisa menaklukan kerasnya hidup dengan kesuksesan, maka itulah bayaran yang paling setimpal.”
Asha tersenyum lembut, seraya kembali memeluk Ratri. Sesaat kemudian, terdengar suara panggilan telepon. Asha melepaskan pelukan, lalu memeriksa panggilan yang ternyata berasal dari Sastra.
Sementara itu, Ratri bersiap-siap merapikan penampilan di depan cermin.
“Iya, Kak Sastra,” sapa Asha.
Mendengar sang adik menyebut nama Sastra, membuat Ratri langsung menoleh. Dia menatap tak percaya.
“Iya, Kak. Kak Ratri akan berangkat sebentar lagi. Dia sedang bersiap-siap,” ucap Asha, sambil sesekali tersenyum manis. “Kakak mau bicara dengan Kak Ratri?” tawar Asha kemudian. Gadis itu terdiam, mendengarkan jawaban Sastra.
“Oh, begitu. Ya, sudah. Selamat beraktivitas, Kak,” tutup Asha, mengakhiri perbincangan. Setelah itu, dia mengalihkan perhatian kepada Ratri, yang melotot tajam.
“Kalian bertukar nomor telepon?”
“Ya. Memangnya kenapa?”
Ratri mengembuskan napas pelan bernada keluhan, lalu menggeleng tak mengerti. Namun, dia tak punya alasan untuk melarang atau sekadar mengingatkan Asha.
“Tidak apa-apa,” ucap Ratri, seraya kembali menghadap cermin.
Entah apa yang tengah Sastra rencanakan kali ini. Mengapa dia mendekati Asha?
“Tidak boleh dibiarkan,” gumam Ratri, saat dalam perjalanan menuju terminal bus.
Setelah menaiki bus yang akan membawanya kembali ke ibukota, pikiran Ratri terus tertuju kepada Sastra. Walaupun berkali-kali menepiskan bayangan paras tampan sang pemilik cafe ‘Secangkir Kopi’ tersebut, tetapi nyatanya Ratri kesulitan melakukan itu. Satu-satunya yang bisa sedikit mengalihkan adalah pesan dari Eliana.
[Jadi pulang, Rat? Kalau sudah sampai di terminal, kabari aku, ya. Nanti kujemput.]
Ratri memijat kening. Di satu sisi, dia menghormati persahabatan dengan Eliana. Di sisi lain, Sastra membuatnya tergoda.
taukan ela itu pemain drama
apa prama yaa
☹️☹️
betkelas dech pokoknya
" ternyata baru kusadari sirnanya hatimu yg kau simpan untuknya
aku cinta kepadamu,aku rindu dipelukmu
namun ku keliru t'lah membunuh cinta dia dan dirimu... oh...ohh..ohhh"
😅😅😅😘✌
jangan2 emaknya ratri ibu tirinya sastra...