NovelToon NovelToon
SENJA TERAKHIR DI BUMI

SENJA TERAKHIR DI BUMI

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Sci-Fi
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Doni arda

Di tahun 2145, dunia yang pernah subur berubah menjadi neraka yang tandus. Bumi telah menyerah pada keserakahan manusia, hancur oleh perang nuklir, perubahan iklim yang tak terkendali, dan bencana alam yang merajalela. Langit dipenuhi asap pekat, daratan terbelah oleh gempa, dan peradaban runtuh dalam kekacauan.

Di tengah kehancuran ini, seorang ilmuwan bernama Dr. Elara Wu berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa umat manusia. Dia menemukan petunjuk tentang sebuah koloni rahasia di planet lain, yang dibangun oleh kelompok elite sebelum kehancuran. Namun, akses ke koloni tersebut membutuhkan kunci berupa perangkat kuno yang tersembunyi di jantung kota yang sekarang menjadi reruntuhan.

Elara bergabung dengan Orion, seorang mantan tentara yang kehilangan keluarganya dalam perang terakhir. Bersama, mereka harus melawan kelompok anarkis yang memanfaatkan kekacauan, menghadapi cuaca ekstrem, dan menemukan kembali harapan di dunia yang hampir tanpa masa depan.

Apakah Elara dan Orion mampu m

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16: Jejak Darah

Kehancuran inti Eden adalah pukulan besar bagi organisasi itu, tetapi perang masih jauh dari selesai. Elara terbangun di pagi yang suram di bunker bawah tanah, matanya menatap langit-langit beton yang dingin. Kematian Orion masih membayangi pikirannya, setiap kilas kenangan tentangnya membuat dadanya terasa sesak. Namun, tak ada waktu untuk berkabung.

Dunia di luar semakin kacau. Meskipun inti Eden telah dihancurkan, cabang-cabang organisasi itu masih menyebar di seluruh dunia, bekerja untuk memulihkan kendali mereka. Kini, Mata yang Terpejam harus bergerak lebih cepat daripada sebelumnya.

---

Pagi itu, ketika Elara bergabung dengan yang lain di ruang rapat kecil di bunker, Ardan berdiri di depan layar besar dengan ekspresi serius. Di belakangnya, peta holografik dunia memancarkan cahaya samar, menyoroti beberapa lokasi yang berkedip merah.

"Ini data terakhir yang berhasil kami dapatkan sebelum inti Eden dihancurkan," katanya, suaranya rendah tetapi tegas. "Mereka sedang mengalihkan operasi ke salah satu fasilitas terbesar mereka di Timur Tengah. Nama fasilitas itu adalah Jejak Darah."

Elara mengerutkan kening. "Jejak Darah? Apa itu?"

Ardan mengetik sesuatu di konsolnya, dan gambar fasilitas raksasa muncul di layar. Itu adalah kompleks bawah tanah yang terletak di gurun pasir, dijaga oleh lapisan keamanan yang tampak mustahil ditembus.

"Jejak Darah adalah pusat eksperimen bioteknologi mereka," jelas Ardan. "Di sana, mereka mengembangkan senjata biologis dan menciptakan sesuatu yang disebut Projek Prometheus. Kami tidak tahu pasti apa itu, tetapi jika berhasil, mereka bisa menciptakan senjata yang cukup kuat untuk mengendalikan seluruh populasi dunia."

"Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi," gumam Elara, tangannya mengepal.

"Setuju," kata Ardan. "Tetapi Jejak Darah bukan hanya fasilitas biasa. Ini adalah benteng. Keamanan di sana sepuluh kali lipat lebih ketat daripada inti Eden yang baru saja kita hancurkan. Dan mereka sudah tahu kita adalah ancaman."

Salah satu anggota tim, seorang wanita muda bernama Nadia, menyela. "Kita mungkin punya jalan masuk. Seorang pembelot dari Eden baru saja menghubungi kita. Dia mengklaim tahu cara untuk menyusup ke dalam Jejak Darah tanpa terdeteksi."

"Siapa orang ini?" tanya Elara tajam.

"Namanya Kadir," jawab Nadia. "Dia adalah salah satu ilmuwan utama di fasilitas itu. Dia menghubungi kami beberapa jam yang lalu, mengatakan bahwa dia ingin membantu menghancurkan Eden. Tetapi..."

"Tetapi apa?"

Ardan melanjutkan dengan nada waspada, "Tetapi kita tidak tahu apakah dia bisa dipercaya. Eden dikenal sering menggunakan pengkhianat palsu untuk menjebak musuh mereka."

---

Keputusan akhirnya dibuat. Elara dan tim kecil yang terdiri dari Nadia, seorang ahli teknologi bernama Malik, dan seorang pejuang veteran bernama Jarek, berangkat menuju lokasi yang ditentukan Kadir untuk pertemuan. Lokasi itu adalah sebuah kota kecil yang terletak di perbatasan gurun, sebuah tempat yang hampir kosong dan tampak terlupakan oleh waktu.

Malam itu, mereka tiba di sebuah gedung tua yang ditandai sebagai lokasi pertemuan. Elara memimpin timnya masuk dengan hati-hati, pistol di tangannya siap menghadapi kemungkinan jebakan.

Di dalam gedung, mereka menemukan seorang pria berusia sekitar 50-an, dengan rambut kelabu dan wajah yang tampak lelah. Dia duduk di meja kayu tua, tangannya diangkat untuk menunjukkan bahwa dia tidak bersenjata.

"Kadir?" tanya Elara, suaranya tajam.

Pria itu mengangguk. "Aku tahu kalian tidak punya alasan untuk mempercayai aku. Tetapi dengarkan aku, aku tahu apa yang sedang terjadi di Jejak Darah. Dan jika kalian tidak bertindak cepat, kalian tidak akan punya kesempatan untuk menghentikan Eden."

Elara memperhatikan pria itu dengan saksama, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan. "Kenapa kami harus percaya padamu?"

Kadir menarik napas dalam-dalam. "Karena aku telah melihat apa yang mereka lakukan di sana. Aku telah melihat manusia dimutilasi, tubuh mereka diubah menjadi senjata. Aku telah melihat anak-anak dijadikan eksperimen. Aku tidak bisa lagi menjadi bagian dari itu."

Nadia yang berdiri di belakang Elara, mengangguk pelan. "Dia tidak tampak seperti berbohong. Tetapi kita harus tetap berhati-hati."

Kadir melanjutkan, "Ada jalan masuk ke fasilitas itu melalui terowongan yang hanya diketahui oleh beberapa orang di tingkat atas Eden. Aku bisa membawa kalian ke sana. Tetapi kita harus segera pergi. Mereka mungkin sudah tahu aku hilang."

---

Mereka memutuskan untuk mempercayai Kadir, meskipun dengan kewaspadaan tinggi. Keesokan harinya, mereka mengikuti pria itu melalui gurun menuju pintu masuk tersembunyi ke terowongan yang dia sebutkan.

Terowongan itu gelap, sempit, dan berliku-liku, seperti ular yang menjalar di bawah gurun. Dinding-dindingnya dipenuhi dengan kabel-kabel tua, dan udara di dalamnya terasa pengap.

"Terowongan ini awalnya dibangun untuk evakuasi darurat," jelas Kadir sambil berjalan di depan mereka. "Tetapi sekarang hampir tidak ada yang menggunakannya lagi."

Mereka berjalan selama berjam-jam, hanya diterangi oleh lampu senter kecil. Tetapi suasana semakin tegang ketika mereka mulai mendengar suara-suara aneh di kejauhan—suara langkah kaki yang bergema, tetapi tidak terlihat siapa yang melangkah.

"Apa itu?" tanya Malik dengan suara pelan.

Kadir berhenti dan menoleh dengan ekspresi serius. "Penjaga otomatis. Mereka tidak akan berhenti sampai target mereka mati."

"Mengapa kau tidak memberitahu kami sebelumnya?" Jarek mendesis marah.

"Kita tidak punya pilihan lain," jawab Kadir. "Jika kalian ingin mencapai Jejak Darah, kita harus melewati mereka."

Ketika mereka melanjutkan perjalanan, suara langkah kaki itu semakin dekat. Dan akhirnya, mereka melihat apa yang sedang mendekat—robot-robot penjaga dengan tubuh ramping dan mata merah menyala, dilengkapi dengan senjata otomatis.

"Posisi bertahan!" teriak Elara.

Pertempuran pun pecah di dalam terowongan sempit itu. Peluru beterbangan, memantul dari dinding logam. Suara tembakan dan ledakan menggema, membuat telinga mereka berdenging.

Elara menembak satu robot tepat di kepalanya, membuatnya jatuh ke tanah dengan suara dentingan logam. Tetapi lebih banyak robot terus berdatangan, dan amunisi mereka semakin menipis.

"Kita tidak akan bertahan lama di sini!" teriak Nadia.

"Terus bergerak!" perintah Elara. "Kita harus keluar dari terowongan ini sebelum mereka menghabisi kita!"

Mereka berlari sambil terus menembak, mencoba menghindari serangan-serangan dari robot-robot itu. Kadir memimpin mereka melalui jalur yang lebih sempit, yang tampaknya membuat robot-robot itu kesulitan untuk mengikuti.

Akhirnya, mereka berhasil mencapai pintu keluar, tetapi dengan harga yang mahal. Malik terluka parah, dan Jarek hampir tidak bisa berjalan karena luka di kakinya.

Namun, di depan mereka, fasilitas Jejak Darah berdiri megah, seperti monster yang menunggu untuk melahap mereka.

"Ini baru permulaan," kata Kadir dengan suara rendah. "Apa yang ada di dalam sana jauh lebih buruk daripada apa yang baru saja kita hadapi."

Elara menatap fasilitas itu dengan mata penuh kebencian. Dia mengepalkan tinjunya, mempersiapkan dirinya untuk pertempuran berikutnya.

"Kalau begitu, kita harus memastikan ini adalah akhir mereka."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!