Pinky, gadis rusuh dan ceplas-ceplos, tergila-gila pada Dev Jaycolin meski cintanya selalu ditolak. Suatu kejadian menghancurkan hati Pinky, membuatnya menyerah dan menjauh.
Tanpa disadari, Dev diam-diam menyukai Pinky, tapi rahasia kelam yang menghubungkan keluarga mereka menjadi penghalang. Pinky juga harus menghadapi perselingkuhan ayahnya dan anak dari hubungan gelap tersebut, membuat hubungannya dengan keluarga semakin rumit.
Akankah cinta mereka bertahan di tengah konflik keluarga dan rahasia yang belum terungkap? Cinta Gadis Rusuh & Konglomerat adalah kisah penuh emosi, perjuangan, dan cinta yang diuji oleh takdir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
“Pinky, kau berani sekali bersikap kurang ajar pada bibimu,” bentak Mark dengan nada marah. Tatapan matanya tajam menusuk, berusaha menahan emosi yang hampir meledak.
Pinky menatap ayahnya dengan penuh keberanian. "Dia hanya wanita yang menghancurkan rumah tangga mamaku. Tidak pantas aku menghormatinya," jawabnya tanpa ragu, suaranya penuh penekanan.
Mark membuka mulut, tapi kata-kata tersangkut di tenggorokannya. “Kau…” ucapnya, namun terhenti seketika, tak mampu melanjutkan.
Suara langkah cepat mendekat, diiringi nada tajam. "Pinky, apa yang kau lakukan? Cepat minta maaf!" ujar manajer restoran yang sudah berdiri di depan mereka. Wajahnya merah, dan tatapannya penuh kemarahan.
Pinky mendengus kesal. "Aku tidak salah, dan tidak akan meminta maaf. Mereka yang sengaja menindasku," jawabnya dengan nada penuh ketegasan.
Manajer itu menatapnya dengan geram. “Kalau kau tidak mau minta maaf, maka kau aku pecat!” gertaknya sambil menunjuk ke arah pintu keluar.
Wajah Pinky berubah semakin kesal. Tanpa pikir panjang, ia langsung berbalik melangkah pergi. “Pecat ya pecat! Aku sudah lama bersabar dengan botak sepertimu. Selalu saja suka menindas karyawan!” ucapnya tajam sambil melempar pandangan menghina ke arah manajer tersebut.
Manajer itu tidak tinggal diam. “Kau harus bayar ganti rugi makanan ini!” teriaknya, suaranya bergema di seluruh restoran.
Langkah Pinky terhenti. Ia memutar tubuhnya dengan gerakan tajam, lalu mengarahkan tatapan penuh kebencian ke arah meja tempat vas bunga diletakkan. Dengan cepat, ia mengambil vas itu dan tanpa ragu melemparkannya ke arah manajer.
Brak!
"Aahh!" teriak manajer yang ketakutan. Lemparan vas itu jatuh tepat di depan kakinya, nyaris mengenainya. Wajahnya pucat, dan ia mundur selangkah sambil memegang dadanya yang berdegup kencang.
Mark maju selangkah ke arah Pinky dengan kemarahan yang membara. “Pinky, apa kau sudah puas menimbulkan masalah?” bentaknya, suara beratnya menggema.
Pinky menatap ayahnya dengan sorot mata penuh kebencian. “Selagi di mana ada kalian, aku tidak akan puas!” jawabnya dingin, namun penuh emosi yang tertahan.
Ia mengarahkan pandangannya ke manajer yang masih gemetar. “Ingin meminta ganti rugi dariku?” tanyanya, nada sinisnya memekakkan telinga. “Minta saja sama mereka. Dia adalah papaku, dan wanita itu adalah selingkuhannya. Jadi minta saja dengan mereka!” ujarnya dengan nada mengejek, lalu berjalan meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi.
Ucapan terakhir Pinky seperti bom yang meledak. Wajah Mark dan Sania memerah karena malu, sementara para pengunjung restoran berbisik-bisik menyaksikan drama yang baru saja terjadi.
Pinky berdiri di tepi pantai, angin laut menerpa wajahnya yang muram. Kedua tangannya terkepal erat, menggambarkan emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Mata cokelatnya menatap kosong ke arah ombak yang terus menggulung, seolah mencoba menenangkan badai di dalam hatinya.
"Sania, Jenny, kalian hanya wanita murahan yang tidak tahu diri," batinnya, penuh amarah. "Papa, karena kau yang memulai semua ini, kau yang membuatku seperti ini. Maka jangan salahkan aku jika aku mempermalukan kalian di depan umum. Jangan sampai aku melihat kalian bersama di depanku lagi. Aku tidak akan sungkan menjatuhkan harga diri kalian di depan semua orang. Mama disakiti, dan kalian malah bersenang-senang."
Suara deburan ombak tak mampu meredam gejolak di hatinya. Tapi ia tahu, dendam dan amarah saja tak cukup untuk membuat dirinya merasa lega. Ia menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri.
"Lebih baik aku mencari pekerjaan lain daripada terus memikirkan mereka," gumamnya pelan, seolah berjanji pada dirinya sendiri untuk melangkah maju.
Sementara itu, di kantor yang megah dan mewah, suasana mencekam terasa begitu nyata. Dev, sang pemilik perusahaan, duduk di kursinya dengan wajah dingin dan penuh wibawa. Di depannya, para pegawai berdiri dengan kepala tertunduk, tidak berani menatap langsung pria itu.
"Semuanya sampah tidak berguna!" suara Dev menggema di ruangan besar itu, membuat jantung para pegawainya berdegup kencang. "Apakah kalian tidak sadar apa yang kalian kerjakan? Ini bukan tempat bermain, tapi tempat bekerja. Dan kalian bawa setumpuk sampah ini di depan mataku. Keluar!"
Tatapan matanya yang tajam seperti menusuk mereka satu per satu, tak ada yang berani membantah atau melawan.
"Kalian keluarlah!" perintah Jastice, asistennya, dengan nada tegas.
Setelah semua pegawai meninggalkan ruangan dengan wajah penuh ketakutan, Dev menoleh ke arah Jastice yang masih berdiri di dekatnya.
"Jastice, ke depannya kau periksa secara langsung apa yang mereka tulis. Tidak ada satu pun hasil mereka yang memuaskan. Perusahaan kita tidak akan memakai jasa pekerja yang tidak berkualitas!" perintahnya dingin.
"Baik, Tuan," jawab Jastice patuh. "Ada hal lain, Tuan. Perusahaan Merline ingin bertemu dengan Anda."
Dev mengangkat alis, menunjukkan ketidaktertarikan. "Untuk apa? Aku tidak berniat bekerja sama dengan mereka. Perusahaan mereka tidak begitu lancar dan tak meyakinkan."
"Direkturnya sangat berharap bisa mendapatkan kesempatan ini," tambah Jastice.
Dev mendengus sinis. "Isu mengenai wanita itu sudah tersebar. Aku tidak ingin dianggap sebagai pebisnis yang tidak bisa memilih rekan kerja sama."
"Benar, Tuan," Jastice mengangguk mengerti.
Tiba-tiba, suara dari luar ruangan memecah suasana serius di antara mereka.
"Antar makanan!" seru seseorang dengan nada ceria.
"Tuan, makanan yang saya pesan sudah datang," ujar Jastice sambil berjalan ke arah pintu.
Namun, saat pintu terbuka, mata Jastice membelalak tak percaya melihat siapa yang berdiri di depannya.
"Ke-kenapa kamu ada di sini?" tanya Jastice tergagap.
Pinky, gadis pengantar makanan itu, tersenyum santai. "Ternyata kamu. Apakah ini kantor pria tampan itu?" tanyanya sambil melangkah masuk tanpa menunggu izin. Matanya langsung tertuju pada Dev yang duduk dengan wajah tak kalah terkejut.
"Tuan tampan, kita bertemu lagi," ucap Pinky ceria, membuat Dev terdiam dengan ekspresi campuran antara kesal dan bingung.
"Kenapa kau ada di mana-mana? Dan untuk apa kau ke sini?" tanya Dev dingin.
"Aku mengantar makanan. Kalian yang pesan, bukan?" jawab Pinky dengan nada polos, sambil meletakkan tas makanan di atas meja.
"Letakkan di sana dan pergi!" titah Dev dengan nada tegas.
Namun, Pinky tak gentar sedikit pun. Dengan senyum yang tetap merekah, ia menatap Dev penuh keyakinan. "Kenapa bersikap dingin padaku? Apakah kamu masih marah? Kita juga sudah berciuman, bukan?" godanya, membuat wajah Dev memerah menahan malu.
Jastice yang berdiri di dekatnya menahan tawa, berusaha menjaga kesopanan meski situasinya begitu konyol.
"Selesaikan tugasmu dan pergi!" desak Dev, suaranya sedikit bergetar oleh amarah yang tertahan.
Namun Pinky malah mendekat, membuat Dev semakin gugup. "Suasana hatiku yang tadinya buruk sekarang malah jadi senang karena melihatmu," ujar Pinky dengan nada manja. "Kamu adalah pria yang mengambil ciuman pertamaku. Dan aku sudah memutuskan, mulai hari ini aku akan mengejarmu untuk menjadi pacarku!"
Dev mengepal tangannya dengan kuat, mencoba menahan emosinya. Tatapan tajamnya tak mampu mengusir Pinky yang semakin berani mendekatinya.
"Apakah kamu menerimaku atau menolakku?" tantang Pinky dengan jarak yang sangat dekat, membuat Dev tak mampu mengalihkan pandangan.