Ajeng harus pergi dari desa untuk menyembuhkan hatinya yang terluka, sebab calon suaminya harus menikahi sang sepupu karena Elis sudah hamil duluan.
Bibiknya memberi pekerjaan untuk menjadi pengasuh seorang bocah 6 tahun dari keluarga kaya raya di Jakarta.
Ajeng iya iya saja, tidak tahu jika dia adalah pengasuh ke 100 dari bocah licik itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 - Antara Salah Dengar Atau Tidak
Ajeng membuang nafasnya perlahan, sekuat apapun dia coba untuk menghindari kebersamaannya bersama papa Reza, tapi nyatanya takdir selalu membuat mereka bersatu.
Melalui Sean Ajeng merasa dia jadi banyak sial.
"Tangan papa jadi kotor, maafkan aku ya Pa, harusnya aku yang turun ke dalam selokan itu," lirih Ajeng.
Saat ini mereka berdua sudah berada di toilet umum.
Reza tidak masuk ke dalam toilet itu, tapi Ajeng yang mengambil air melalui gayung dan membawanya keluar.
Di luar sana lah mereka mencuci tangan Reza yang kotor.
"Apa kamu selalu seperti itu? selalu tidak sadar jika telah melakukan kesalahan? lalu beberapa jam kemudian kamu baru menyadarinya?" balas papa Reza, membalas dengan pertanyaan yang bertubi. bahkan sampai Ajeng merasa pusing sendiri apa saja pertanyaan tadi.
Ajeng blank, tiba-tiba pikirannya jadi kosong. Satu yang dia yakini bahwa saat ini dia sedang dimarah.
Jadi kalimat yang bisa keluar dari mulutnya hanya satu ...
"Maafkan aku Pa."
Reza diam saja.
Dia juga hanya diam saat Ajeng membasuh tangannya. Menggosok berulang kali hingga tangan itu benar-benar bersih.
Drama berudu akhirnya berakhir.
Nyaris jam 10 pagi mereka baru pulang ke rumah.
Sean langsung berlari ke taman belakang dan membuat rumah baru untuk berudu-berudu itu.
Semua berudu itu dimasukkan ke dalam aquarium kecil, bisa dipindah-pindah.
Ini adalah hari minggu paling indah yang pernah Sean rasakan.
Malam tiba.
Selepas makan malam, Sean melihat burudu-berudunya, jadi gemas sendiri dengan mainan barunya ini.
"Mbak Ajeng," panggil Sean, di sampingnya memang ada sang pengasuh. Mereka duduk berdua di taman belakang ini. Lampu taman yang benderang membuat tak ada sedikit pun sisi gelap.
"Hem, kenapa?"
"Hari ini aku bahagia sekali."
"Mbak Ajeng tahu, pasti karena papa yang ambil berudu-berudu ini kan?"
Sean mengangguk antusias.
"Aku berdoa semoga papa bisa seperti ini terus, punya waktu bermain untukku. Nanti saat ada acara di sekolah semoga papa juga bisa datang."
Ajeng memeluk Sean erat.
"Aamiin," jawab Ajeng singkat, namun syarat akan makna, berharap doa tersebut dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
"Mbak Ajeng."
"Hem, apa lagi?"
"Apa aku boleh meminta satu hal?"
"Apa?" tanya Ajeng.
"Aku ingin memanggil seseorang dengan sebutan mama, apa aku boleh memanggil mbak Ajeng dengan sebutan itu?"
Deg! seketika jantung Ajeng berdenyut. Selalu ada saja yang dilakukan Sean hingga membuatnya jadi jantungan.
Hal ini memang terlihat sederhana, namun tidak sesederhana itu.
Bagaimana bisa seorang pengasuh jadi pengganti ibu untuk anak asuhnya.
Awalnya memang hanya panggilan, namun Ajeng yakin lambat laun hal itu akan jadi kebiasaan. Dan Ajeng tidak ingin seperti itu.
Bisa-bisa dia kembali mendapat kemarahan seluruh orang di keluarga ini.
Ajeng tidak menginginkan hal tersebut, meski dia pun merasa iba dengan keinginan Sean.
Dan untunglah disaat Ajeng sedang bingung seperti itu, tiba-tiba papa Reza datang menghampiri ...
"Sean, ayo masuk, ini sudah waktunya kamu tidur," ucap papa Reza. Dia datang kesini atas permintaan Oma Putri.
Sean tersenyum, menggandeng tangan Ajeng dan berjalan masuk ...
"Ayo Ma," ajak Sean. Dan berhasil membuat Ajeng mendelik, sementara Reza mengerutkan dahi, antara salah dengar atau tidak.
Tiba di kamar Sean, barulah Ajeng berontak.
"Sen!! aku tidak mengizinkan mu memangil ku mama ya, aku tidak mau!"
"Mama ayo kita tidur."
"SEN!!" geram Ajeng.