Elina Widiastuti, dengan rambut sehitam malam yang terurai lembut membingkai wajahnya yang cantik jelita, bukanlah putri seorang bangsawan. Ia hidup sederhana di sebuah rumah kecil yang catnya mulai terkelupas, bersama adik perempuannya, Sophia, yang masih belia, dan kedua orang tuanya. Kehidupan mereka, yang tadinya dipenuhi tawa riang, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Ketakutan yang berasal dari sosok lelaki yang menyebut dirinya ayah, namun perilakunya jauh dari kata seorang ayah.
Elina pun terjebak di pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, ia pun mendapatkan perlakuan kasar dari orang orang terdekatnya.
bagaimana kelanjutannya?
silahkan membaca dan semoga suka dengan ceritanya.
mohon dukung aku dan beri suportnya karena ini novel pertama aku.
jangan lupa like, komen dan favorit yah 😊
kunjungan kalian sangat berarti buat aku. see you
selamat membaca
see you 😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Rmaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Air mata Mommy Axel masih mengalir deras, membasahi pipinya yang memerah. Ia menatap Axel, anaknya, dengan tatapan yang bercampur antara kepedihan dan kekesalan. Sikap dingin Axel, yang begitu kontras dengan tragedi yang baru saja mereka alami, menyakitkan hatinya.
"Axel," ujarnya, suaranya bergetar,
"gadis itu… dia menyelamatkanmu. Dia terluka parah… aku ingin… aku ingin berterima kasih padanya." Ia mengulurkan tangan, ingin menyentuh wajah Axel, namun pemuda itu tetap menjaga jarak.
"Bawalah aku ke rumah sakit, Axel," lanjutnya, suaranya sedikit meninggi.
"Aku harus bertemu dengannya. Aku harus berterima kasih atas pengorbanannya."
Axel menatap mommy nya dengan tatapan datar, tanpa sedikitpun menunjukkan rasa simpati atau empati.
"Tidak perlu," ujarnya, suaranya dingin dan tanpa emosi. "Itu berlebihan."
"Berlebihan?" Mommy Axel tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Dia menyelamatkanmu, Axel! Dia terluka parah demi dirimu! Bagaimana kau bisa mengatakan itu berlebihan?"
Axel mengangkat bahu, gerakannya dingin dan mekanis.
"Dia hanya melakukan pekerjaannya," ujarnya, dengan nada yang sama seperti saat ia memesan kopi di kafe favoritnya.
"Dan aku sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini."
Kemarahan Mommy Axel mulai membuncah. Ia tak mampu lagi menahan emosinya.
"Kau tidak punya hati, Axel!" serunya, suaranya bergetar hebat.
"Kau tidak punya rasa terima kasih! gadis itu… dia berkorban untukmu… dan kau memperlakukannya seperti ini?"
Axel tetap diam, tatapan matanya tetap dingin dan tak terbaca. Ia tak menunjukkan sedikitpun penyesalan atau rasa bersalah. Dinding es yang dibangunnya begitu kokoh, tak tertembus oleh air mata, kemarahan, atau bahkan rasa syukur. Mommy Axel merasa putus asa. Ia menyadari bahwa ia tak mampu lagi menembus benteng es yang dibangun oleh anaknya.
Ia hanya bisa berharap, suatu saat nanti, Axel akan mampu membuka hatinya dan merasakan rasa terima kasih yang seharusnya ia rasakan. Namun, untuk saat ini, ia hanya bisa terisak sendirian, di tengah dinginnya malam dan sikap dingin anaknya yang tak tergoyahkan.
Axel berbalik, meninggalkan Mommy nya yang masih terus mengoceh, suaranya bercampur antara isakan dan kemarahan. Kata-kata monmy nya, yang bergema di ruang tamu, menghantuinya, namun ia berusaha untuk mengabaikannya. Kelelahan, baik fisik maupun mental, menyerang tubuhnya. Ia merasa kosong, hampa, seolah-olah jiwanya telah dibekukan oleh lapisan es yang tebal.
Langkah kakinya berat, namun ia tetap melangkah tegap menuju tangga, menapaki anak tangga satu per satu menuju kamarnya di lantai atas. Setiap langkahnya seolah mengukir kesunyian yang semakin pekat di rumah megah itu. Suara Mommy nya, yang semakin lama semakin mereda, menghilang di balik deru langkah kakinya yang semakin menjauh.
Di kamarnya, ia membanting pintu dengan keras, suara yang nyaring namun tak mampu mengusir kehampaan yang menyelimuti hatinya. Ia melemparkan kemeja berlumuran darah itu ke lantai, baju itu kini tampak seperti sebuah simbol dari beban berat yang ia pikul. Ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur, mata menatap langit-langit kamar yang putih bersih, namun pikirannya dipenuhi oleh bayangan-bayangan gelap.
Bayangan Elina yang terluka, Sophia yang ketakutan, dan Mr. Budi yang kejam, semuanya berputar-putar di kepalanya. Ia merasa lelah, sangat lelah. Lelah menghadapi kenyataan pahit yang harus ia hadapi, lelah berpura-pura tegar, lelah berpura-pura tidak peduli. Namun, di balik sikap dingin dan acuhnya, tersimpan luka yang dalam, luka yang tak mampu ia ungkapkan, luka yang hanya bisa disembuhkan oleh waktu dan mungkin, oleh bantuan profesional yang ia tolak untuk diterima.
Ia menutup matanya, mencoba untuk terlelap, namun bayangan-bayangan itu tetap menghantuinya. Keheningan di balik pintu kamarnya terasa begitu berat, lebih berat daripada beban yang ia pikul di pundaknya. Keheningan itu, seakan menjadi saksi bisu dari luka yang tersembunyi di balik topeng dinginnya. Dan di tengah keheningan itu, ia menyadari, bahwa ia membutuhkan bantuan, bantuan untuk menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian. Namun, untuk saat ini, ia hanya bisa terdiam, terkubur dalam kesunyiannya sendiri.
Setelah membersihkan diri, Axel berdiri di depan cermin di kamarnya, menatap refleksinya yang tampak lelah dan penuh beban. Meski air hangat telah membasuh sebagian noda dan rasa sakit, bayangan kejadian yang baru saja terjadi masih membekas jelas di benaknya. Ia merasakan keinginan yang mendalam untuk terhubung dengan seseorang, seseorang yang bisa mengerti dan mungkin memberikan sedikit pelipur lara di tengah kekacauan emosional ini.
Dengan perasaan rindu yang menyelimuti hatinya, Axel meraih ponselnya dan mencari nama Emily di daftar kontak. Emily, kekasihnya yang telah pergi ke London untuk lima tahun lamanya dan mengejar karir sebagai model, adalah satu-satunya orang yang selalu dapat membuatnya merasa lebih baik, meskipun jarak memisahkan mereka. Mereka berbagi banyak kenangan indah, tawa, dan cinta yang tulus, tapi kini, semua itu terasa semakin jauh.
Tangan Axel sedikit bergetar saat ia menekan tombol panggil. Hatinya berdebar-debar, berharap mungkin Emily bisa menjadi suara penyejuk dalam kegelapan yang menyelimutinya. Namun, saat suara nada dering berulang kali berbunyi di telinganya, harapannya mulai memudar. Setelah beberapa saat, panggilan itu berakhir dengan suara pesan suara yang dingin.
"Kami mohon maaf, nomor yang Anda hubungi tidak dapat dijangkau saat ini."
Kekosongan memenuhi ruang hatinya. Axel menatap ponselnya dengan tatapan kosong, merasa seolah dunia di sekitarnya mulai runtuh. Rindu pada Emily, yang dulunya menjadi sumber kekuatannya, kini menjadi sebuah rasa sakit yang tajam. Ia merasa terasing, tidak hanya dari ibunya tetapi juga dari orang-orang yang ia cintai.
"Kenapa harus seperti ini?" gumamnya pada diri sendiri, suara yang nyaris tak terdengar. Ia merindukan tawa Emily, senyumnya yang cerah, dan kata-kata manis yang selalu ia ucapkan untuk menghibur Axel di saat-saat sulit. Tanpa kehadiran Emily, ia merasa semakin terjebak dalam kesedihan dan ketidakpastian.
Memutuskan untuk tidak menyerah, Axel mencoba menghubungi nomor lain, mengirim pesan singkat, berharap mungkin ia bisa mendapatkan kabar terbaru tentang kekasihnya. Namun, saat jari-jarinya mengetikkan pesan, ia merasa seolah semua harapan mulai sirna. Dengan satu napas berat, ia melemparkan ponselnya ke atas kasur, merasakan ketidakberdayaan yang semakin menjeratnya.
Malam semakin larut, dan bayangan-bayangan gelap dari masa lalu masih menghantuinya. Axel merasa terjebak di antara kerinduan dan kesedihan, di tengah ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Dalam kesunyian kamarnya, ia menyadari bahwa meskipun ia berusaha untuk tetap tegar, hatinya perlahan-lahan mulai retak, dan ia sangat membutuhkan seseorang untuk membantunya mengumpulkan kepingan-kepingan yang hilang.
.
.
.
Lanjut yah
See you 😍
Beri dukungan nya yah
Like komen dan favorit 😍