Singgasanaku dibuat dari indung mutiara yang dibentuk menyerupai jalinan akar pohon.
Aku menyebutnya rumah, yang lain mengatakan ini penjara. Walau demikian penjaraku dibuat seindah tempat tinggal para dewa, mungkin karena ibu berharap putranya adalah dewa dan bukannya iblis.
Tidak ada pilar atau ruangan-ruangan lain. Hanya ada pohon tunggal yang tumbuh kokoh di halaman singgasanaku. Pohon yang menjadi sumber kehidupanku, kini semakin kehilangan kecemerlangannya. Saat pohon itu meredup lalu padam, aku juga akan sirna.
Sebelum aku menghilang dan dilupakan, akan kuceritakan masa singkat petualanganku sebagai iblis yang menyamar jadi manusia atau barangkali iblis yang berusaha menjadi dewa hingga aku berakhir didalam penjara ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Author GG, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penginapan Teratai
Kami akhirnya sampai di sebuah penginapan. Seorang lelaki tua keluar dan menyapa kami dengan senyuman, lalu mengambil alih tali kekang kuda kami. Aku meraih Niken, merangkulnya membantu anak itu turun dari kuda agar tidak terjungkal.
Saat berjalan dia masih terpincang-pincang, aku menawarkan punggungku lagi tapi dia mengatakan tidak perlu.
Dipintu masuk terdapat sebuah plakat yang menunjukan nama penginapan ini, Teratai. Ada ruang makan dilantai utama, berisi meja-meja persegi, lantai dua itulah pasti merupakan kamar-kamar tamu. Penginapan ini tidak begitu besar. Sebelum memutuskan untuk menginap disini beberapa kali kami melewati penginapan yang terlihat lebih mewah. Semua perabot yang tampak disini begitu sangat sederhana, terbuat dari kayu atau bambu.
Ketika pemilik penginapan mengantar kami ke kamar, Niken rupanya menyadari bahwa dia harus berbagi kamar denganku. Setelah perempuan tua itu pergi meninggalkan kami barulah dia berbicara.
"Kita hanya menyewa satu kamar?"
"Ya, kita tidak akan buang-buang uang untuk menginap, ini hanya untuk satu malam. Jangan khawatir aku tidak akan mengganggumu sebagai adik perempuanku."
Niken tidak ikut turun untuk makan malam di ruang makan bersamaku, kukatakan pada pemilik penginapan yang rupanya merupakan istri penjaga kuda kami, bahwa anak perempuan itu kakinya terkilir. Mendengar hal tersebut, dia bergegas ke belakang.
Ketika aku kembali ke kamar, Niken sedang menghabiskan semangkuk nasi dan begitu melihatku dia buru-buru berkata.
"Gege, pemilik penginapan ini begitu baik, lihat apa yang dilakukan pada kakiku dan kini aku merasa lebih baik."
"Syukurlah."
Setelah itu kami tidak melakukan banyak percakapan, hal terakhir kami saling mengucapkan selamat malam lalu berbaring di sisi yang berjauhan di kamar. Apa yang terjadi seharian ini ternyata begitu melelahkan, aku baru menyadarinya begitu punggungku menyentuh lantai.
"Kau belum juga tidur? Kalau kau tidak bisa tidur denganku, aku akan keluar."
"Tidak, gege ..."
"Hanya sebentar, setelah kau lelap aku akan kembali."
Aku pergi ke taman belakang penginapan. Sekarang aku mengerti kenapa pasangan ini menamainya penginapan Teratai. Di atas kolam, bunga-bunga bermekaran merah muda dengan daun lebar yang mengambang di atas permukaan air. Hamparan teratai dihadapanku seolah menyempurnakan suara sayup seruling di kejauhan. Suara-suara itu pasti datang dari penginapan lain yang tidak jauh dari sini.
Keesokan paginya saat aku terbangun, Niken sudah tidak ada di tempatnya. Aku bergegas turun dan mengira anak itu ada di ruang makan, namun ruang makan hanya ada segelintir pria yang sedang menikmati sarapannya.
Aku pergi kebelakang bangunan, itu adalah dapur. Wanita tua pemilik penginapan sedang berdiri mengaduk sesuatu di wajan besar.
"Tuan tamu, apa ada yang bisa kami bantu?"
"Apa anda melihat..."
"Pasti tuan mencari adik perempuan. Tadi saya lihat nona pergi keluar, barangkali pergi ke kedai Peony. Kami dengar semalam ada orang terkenal datang kesana, nona pasti pergi untuk melihat."
"Terimakasih, saya permisi."
Kedai Peony berada di antara bangunan yang sangat bergaya seperti kedai Peony itu sendiri. Dari luar sudah terlihat kedai dalam keadaan ramai. Begitu melangkah masuk terlihat meja-meja terisi penuh. Kedai Peony nampaknya melayani jenis pelanggan berbeda, namun pelanggan paling rendah pun pasti memiliki setidaknya koin emas.
Ada ruangan yang dipisahkan oleh kisi-kisi dan tirai sutra yang indah. Diatas panggung kecil, seorang pemuda sedang memetik kecapi mengiringi penyanyi wanita muda.
Para pramusaji bergerak cekatan dengan nampan-nampan namun tetap menjaga keanggunan mereka dalam pakaian sewarna buah peach.
"Apa yang kau lakukan disini, gege, ayo. Kau mungkin cocok-cocok saja ada diantara mereka."
Sebelum aku sempat membuka suara, Niken sudah menarikku keluar dan membawaku ke kedai lain yang tidak begitu jauh dari kedai Peony. Kedai Begonia, kesanalah Niken membawaku masuk.
Kedai Begonia sama sederhananya dengan penginapan Teratai. Para pelanggan datang sesederhana bagaimana perut mereka dapat terisi bukannya untuk menyesap kemewahan. Namun sisa pelanggan lainnya bersedia berdesakan untuk seseorang yang sudah mengatur kursi dan mejanya menghadap para pengunjung kedai sehingga pria itu duduk sebagai pusat. Aku seperti pernah melihatnya belum lama ini.
"Untuk apa kita kemari dan siapa orang itu?"
"Kau ingat buku yang pernah kupinjamkan padamu, dialah pengarangnya. Ah, benar kau belum mengembalikannya padaku, aku memang menyuruhmu menyimpannya tapi tidak untuk kau miliki. Dia punya 74 buku yang sudah terbit, bulan depan buku yang ke 75 segera launching."
"Orang terkenal seperti dia pasti memiliki gilda yang besar, apa aku benar?"
"Sama sekali salah. Dia tidak memiliki gilda, padahal kalau dia membuka gilda pasti banyak yang mau bergabung dengannya. Jadi ini hari keberuntunganku bisa bertemu dengannya. Aku mau melihatnya lebih dekat."
Niken pergi menerobos kerumunan yang membentuk setengah lingkaran dihadapan pria itu. Berkat badannya yang ramping dan mengabaikan kesopanan, sepertinya anak perempuan itu berhasil mendapat tempat sesuai harapannya. Punggungnya telah menghilang ditelan penggemar pria itu.
"Mohon perhatian!" Seorang pria lainnya yang berdiri disamping Si Penulis bertugas untuk menertibkan penggemar. Dia memastikan semua sesuai intruksinya, namun beberapa kali si penulis malah menegurnya untuk tidak terlalu bersikap keras. Mau tidak mau si asisten itu mengangguk dan mundur sedikit kebelakang dengan wajah jengkel.
Sang Penulis sepertinya orang yang memang patut digemari selain karya-karyanya juga sikapnya yang enak dipandang. Dengan memilih kedai Begonia pria itu telah menunjukkan kerendahan hatinya. Dia tengah menandatangi buku yang datang silih berganti kehadapannya dengan sabar.
Seorang pemuda berpakaian krem mewah bersulam benang emas, tiba-tiba masuk sambil berseru, "Minggir!" Menyebabkan seorang gadis yang juga baru saja tiba tersungkur dan menubrukku.
Gadis itu mengumpat lalu mengucapkan permintaan maaf padaku dan hendak mengambil bukunya yang terjatuh saat aku lebih dulu mengambilnya.
"Punyamu, nona."
"Terimakasih."
Pemuda tadi belum habis membuat onar, gadis yang tadi tersungkur berjinjit, berusaha melihat keributan lain, kearah kerumunan di depan lalu berbicara padaku. "Orang dari gilda Elang Emas memang berkelakuan buruk, mereka merasa paling segalanya dari gilda lain. Menurutku simbol besar di punggung mereka itu bukannya keren tapi norak. Dan tuan ini dari gilda manakah?"
"Gilda Phoenix, gilda kecil di wilayah barat."
"Aku Vie Vie dari gilda Ying Hua, tidak jauh dari sini."
Percakapan kami berhenti sampai disitu, mengingatkan kembali keributan yang sedang terjadi. Pemuda sombong itu berkata. "Anak kucing kotor darimana, sih kau?"
Niken meradang dan mendesis ke pemuda itu. "Apa katamu? Dasar burung merak pesolek."
Meski aku sangat ingin memiting pemuda itu, aku tetap berdiri di tempatku. Niken pasti bisa mengatasi pemuda besar mulut itu dan dialah satu-satunya yang cocok menghadapinya.
Namun sebelum keributan menjadi tidak terkendali, Si Penulis berkata menengahi. "Kau datang untuk tanda tanganku, kalau begitu berbaris lah sesuai urutan datang."
"Maaf saya bukan pengangguran seperti orang-orang ini. Kami Gilda Elang Emas tidak punya waktu untuk hal kecil seperti ini. Saya mohon pada anda untuk menandatangi buku kekasih saya terlebih dahulu."
"Kalau menurutmu ini hal kecil, kau tidak pantas meminta tandatangannya. Sudah pergi saja sana, kau justru membuang waktu banyak orang."
"Tutup mulutmu, kampungan."
"Seperti kata gadis kecil ini, sebaiknya kau segera pergi. Bukankah berada disini hanya buang-buang waktumu yang berharga?"
"Tidak, maapkan saya, anda harus menandatangani ini, kalau tidak dia akan meninggalkanku. Kekasihku penggemar berat anda, Tuan."
Niken mendengus.
"Aku akan menandatanginya, aku tidak peduli siapa dan darimana kau, berbaris lah sesuai urutan."
Meski jelas sekali dia tidak senang, kali ini dia patuh.
"Gadis kecil apa kau mau meminta tanda tanganku juga?"
Niken tampak gugup, baru kali ini aku melihatnya, pria itu benar-benar idolanya.
"Aku benar-benar menyesal padahal aku punya beberapa judul buku anda. Aku dalam perjalanan jadi tidak bawa satupun."
"Aku sedang dalam tour, kalau kotamu berada di bagian wilayah barat, aku pastikan kita akan bertemu lagi. Jika pada saatnya nanti kau bisa membawa bukuku, aku akan mengingat wajahmu gadis kecil."
"Wah, aku sangat beruntung, terimakasih."
"Sudah puas?" Aku berkata begitu Niken kembali dengan wajah memerah.
"Ya, ayok kita kembali ke penginapan lalu pulang."
Aku memang ingin segera meninggalkan tempat ini, kakiku melangkah keluar meninggalkan Si Penulis dan kedai Begonia namun sebuah perasaan tidak menyenangkan telah mengikutiku.
Apa itu tadi?
Aku mengusap lenganku tempat dimana si pria bertudung memberi tanda tangan biru.
masih nyimak