Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Kesal Karina
Karina tertegun saat atasannya itu mengatakan hal yang mengejutkan. Dia sudah berada beberapa langkah darinya, tatapannya tidak lepas dari Karina sedikit pun. Karina tidak bisa mengartikan tatapan pria itu, terlalu rumit.
"Apa karena itu Bapak panggil saya ke sini?" tanya Karina setelah hening beberapa saat.
Kedua alis pria itu menyentak. "Tentu tidak." Ia kembali ke tempat duduknya. Karina membuang napas lega. "Saya dengar kamu salah satu desainer grafis terbaik di tim kita."
Karina tersenyum kikuk. Rasanya ia tidak merasa begitu. "Saya bekerja sesuai dengan kemampuan saya."
Kevin menumpukan kedua tangannya di meja dan saling menautkan jari-jarinya di depan wajah. Ia menatap Karina penuh perhatian.
"Saya harap kita bisa bekerja sama dengan baik."
"Y-ya, tentu, Pak."
"Oh, saya lupa." Kevin menurunkan tangan dan melipatnya di atas meja. Seulas senyum terbit di bibirnya. "Saya belum tahu nama kamu."
"Nama saya Karina."
"Karina," gumam Kevin pelan. "Nama yang bagus."
Karina sungguh tidak nyaman berada di ruangan itu. Ia ingin segera kembali ke meja kerjanya.
"Emm…." Karina ragu sejenak. "Kalau gak ada yang mau dibicarakan lagi … saya permisi kembali ke meja kerja saya. Ada proyek yang harus saya kerjakan sekarang."
Kevin mengangguk, lalu mengangkat tangan untuk mempersilakan Karina keluar.
"Siang nanti, bisa kita makan bersama?"
Karina yang masih berada di tempatnya, terkejut dengan ajakan itu.
"Maaf, Pak. Suami saya berencana mengirimkan makanan siang nanti." Karina berusaha untuk menolak sehalus mungkin dan ia merasa puas saat menyebut kata 'suami'.
"Oww, kamu sudah menikah?" Kevin mengangguk-angguk. "Baiklah, kamu boleh keluar sekarang."
Karina membungkuk. Tanpa mengatakan apa pun lagi, ia segera keluar dari ruangan yang membuatnya sesak itu.
***
Karina tersenyum saat menerima paket dari seorang ojek online yang mengantarkan makanan. Ia segera membawanya ke meja kerja dan mengeluarkan sebuah kotak plastik tipis berukuran sedang. Dengan antusias, ia membuka makanan pesanan suaminya itu.
Pria itu sudah tahu apa yang diinginkan oleh Karina sekarang. Dia selalu bilang jika dia bisa membaca pikirannya, berarti ikatan batin mereka sangat kuat. Karina tersenyum-senyum saat menatap makanan itu. Ah, sekarang ia jatuh cinta berkali-kali pada suaminya. Padahal dulu sempat bersikeras menolak Nino. Namun, berkat kasih sayangnya yang amat besar, Nino bisa membuat Karina balas memberikan cinta. Walau ia yakin cintanya tidak sebesar cinta dan kasih sayang Nino padanya.
Karina mengambil ponsel yang tergeletak di meja. Ia segera menekan nomor suaminya yang berada diurutan paling atas.
"Mas, makanannya udah sampe. Makasih, ya. Tahu aja kalau aku lagi pengen dimsum."
Nino terkekeh di seberang sana. "Kontak batin kita kuat. Jadi, aku tahu apa yang kamu mau sekarang."
Karina menutup mulutnya yang tersenyum lebar. Jika bisa lebih lebar dari ini, mungkin senyumannya bisa memanjang hingga beberapa meter.
"Iya. Kamu udah makan, Mas?"
"Sebentar lagi, kebetulan aku mau ada meeting di luar, jadi mau sekalian makan siang."
"Oh, oke."
"Nanti sore, kita jalan-jalan dulu, yuk. Kamu mau, kan?"
Raut wajah Karina berubah semringah. "Ke mana? Tumben kamu ngajak aku jalan."
Nino bergumam seperti sedang berpikir. "PIK? Aku inget kalau dulu kita gak sempet ke sana karena keburu berantem."
Karina mengernyit. "Emang kamu pernah ajak aku ke sana?"
"Sebelum kita pacaran, aku pernah ajak kamu ke sana."
"Ya ampun, Mas. Itu udah lama banget, kamu masih inget aja."
"Segala tentang kamu, aku pasti ingat." Nino terkekeh.
Senyum Karina sedikit memudar dan pipinya memanas, jika Nino ada di hadapannya sekarang, dia pasti membuat Karina lebih salah tingkah lagi dan pipinya akan semakin memerah.
"Ya udah, aku lagi nyetir, nih. Kamu habisin, ya, makanannya."
Karina kembali tersenyum. "Iya, Mas. Sampai jumpa nanti sore, ya. Hati-hati di jalan, jangan lupa makan siang juga."
"Iya, Sayang."
Setelah itu, Karina memutus teleponnya. Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Kevin memerhatikan Karina, sehingga pria itu bisa mendengar samar-samar percakapannya dengan seseorang yang Kevin tebak suami Karina.
Ia berjalan menghampiri Karina dengan tangan yang dimasukkan ke saku celana. Menyadari seseorang berdiri di samping meja kerjanya, Karina menoleh. Senyumannya seketika hilang.
"Sepertinya hubungan suami-istri kalian harmonis, ya?"
Karina membuang napas pelan. Lalu, memaksakan senyum pada pria berkemeja putih dengan dasi hitam bercorak totol putih.
"Ya … memang harus begitu, kan? Karena menikah itu bukan untuk setahun atau dua tahun aja." Karina masih berusaha menjaga kesopanan pada atasan barunya itu.
Kevin melirik kotak makanan berisi beberapa buah dimsum.
"Ya, kamu benar. Tadinya saya mau ajak kamu makan siang."
"Saya kan udah bilang kalau suami saya mau kirim makanan." Karina menutup kembali kotak makanannya dan memasukkannya ke kantong plastik. Lalu, ia berdiri. "Permisi, Pak. Saya mau makan sama Safira di kantin." Karina berjalan melewati pria itu dan Kevin hanya memandanginya hingga keluar dari ruangan.
***
Karina meletakkan kantong plastiknya sedikit kasar di meja. Safira yang sedang menyantap baksonya terkejut, lalu mendongak menatap Karina.
"Kenapa lo?" tanya Safira dengan mulut yang penuh dengan makanan.
"Bete gue." Karina mengeluarkan kotak makanannya dengan sedikit membantingnya. "Mau makan aja gak tenang."
"Kenapa?" Safira kembali bertanya karena jawaban Karina tidak memuaskan.
Karina mendesah kesal. "Pak Kevin! Gue gak suka sama dia." Karina menjepit dimsumnya dengan sumpit. "Kenapa sih mesti gue yang jadi pusat perhatiannya dia? Bikin nafsu makan gue hilang aja." Karina memakan satu buah dimsum dalam satu suapan. Padahal ukurannya cukup besar. Hal itu membuat Safira menahan tawa, karena tidak sesuai dengan ucapannya yang mengatakan kehilangan selera makan.
"Dugaan gue mungkin bener. Dia tertarik sama lo."
"Saf, gue udah bilang kalau gue itu udah punya suami. Dia mau jadi pebinor? Emang di dunia ini udah gak ada cewek single?"
Safira mengedikkan bahu tak acuh. Ia juga merasa heran pada atasan barunya itu.
"Tapi … lo gak berpikir buat resign, 'kan?"
Karina berpikir seraya mengunyah makanan. Lalu, menggeleng. "Gue masih butuh duit. Nyari kerjaan baru juga sekarang susah" Sekarang juga butuh biaya buat pemulihan Mas Nino. Karina melanjutkan dalam hati.
"Suami lo kerja. Dia itu manajer, kan? Gajinya pasti udah dua digit." Safira menaik-turunkan alisnya dengan cepat. "Apalagi dia sebelumnya pernah jadi manajer juga di perusahaan sekelas AktivEdu. Biasanya kalau udah punya pengalaman di perusahaan ternama tawaran gajinya lebih gede."
Karina mendesah pelan. "Iya, tapi gue hanya memanfaatkan waktu aja. Selama gue sama Mas Nino belum punya anak, gue mau menumpuk pundi-pundi uang buat masa depan anak gue nanti."
Safira tertawa pelan. "Pemikiran bagus. Juga … bagus deh kalau lo gak kepikiran buat resign."
"Selama dia gak macem-macem. Mungkin masih aman."
***
Karina melirik jam tangannya. Beberapa saat lalu, Nino menelepon dan mengatakan akan sampai sedikit terlambat. Kantornya sudah bubar sejak setengah jam lalu. Sekarang, Karina menunggu di lobi sendirian.
"Kamu kenapa belum pulang?"
Karina mendongak dan menemukan Kevin berdiri di hadapannya. Ia mendesah pelan dan memalingkan tatapannya.
"Lagi nunggu suami saya jemput."
"Mau saya antar?"
Karina menahan rasa jengkelnya yang mulai menguasai dirinya. Ia memaksakan tersenyum lebar. "Pak, suami saya kan mau jemput. Jadi, saya harus nunggu di sini."
Kevin mengangguk-angguk. "Oke. Saya duluan, ya."
Karina masih mempertahankan senyumannya. "Silakan, Pak." Setelah Kevin menjauh, senyumnya hilang seketika.
Ponsel Karina berdering. Senyumnya kembali terbit saat melihat nama di layar ponselnya.
"Aku di depan kantor kamu."
Karina menatap keluar dan melihat mobil Nino sudah berhenti di dekat pos satpam.
"Oke." Karina menyelempangkan tasnya dan berjalan keluar.
Nino tersenyum ketika Karina masuk ke mobil. Ia segera merentangkan tangan dan Nino memeluknya dengan hangat.
"Gimana kerjaan kamu hari ini?" tanya Nino masih dalam posisi memeluk Karina.
Karina berpikir. Ia menimbang-nimbang antara menceritakan tentang atasan barunya atau tidak pada Nino. Karina melepaskan pelukannya. "Agak sedikit menyebalkan." Karina mengubah posisi duduknya menghadap ke depan.
Nino mengernyit. "Kenapa?"
"Ada atasan baru. Dia nyebelin." Karina menampakkan wajah juteknya.
Nino tertawa. "Semua atasan kan memang begitu."
Karina menoleh. "Berarti kamu juga gitu? Nyebelin?"
Nino kembali tertawa. "Ya, enggak. Mungkin aku pengecualian."
Karina mencibir, "Bangga."
Nino hanya geleng-geleng kepala seraya tersenyum. "Udahlah, nanti juga kamu terbiasa."
Karina tidak menanggapi lagi. Bukan menyebalkan seperti itu maksud Karina, tetapi orang itu seakan-akan mengejarnya ke mana pun dengan tatapan anehnya. Ia bingung bagaimana mengatakannya pada Nino.
Angin berembus cukup kencang ketika mereka sampai di pulau reklamasi yang sekarang menjadi kawasan cukup elit di Jakarta. Warna jingga dengan sedikit sentuhan keunguan begitu cantik dipandang di sebelah barat sana.
Mereka berjalan mengikuti arus sungai yang membentang. Bangunan-bangunan ala Eropa menyertai mereka di sisi lainnya.
Meskipun hari sudah hampir gelap, tetapi tempat itu masih ramai pengunjung.
"Janjiku udah terpenuhi, ya," ujar Nino. Ia menoleh menatap Karina yang sudah menatapnya terlebih dahulu.
Karina tersenyum. Ia meraih tangan pria itu dan menautkan jari-jari mereka satu sama lain. Karina senang Nino sudah meluangkan waktunya untuk sekadar berjalan-jalan seperti ini. Padahal ia tahu, pekerjaannya tidak sesantai itu. Namun, Karina akan menghargai dan memaknai setiap waktu yang mereka habiskan bersama, sesingkat apa pun itu. Karena Nino sudah berusaha untuk selalu membahagiakannya.
Karina duduk di kursi kayu di depan sebuah kafe. Di sekitarnya banyak pejalan kaki dan juga orang-orang yang menikmati makanan dengan duduk di kursi luar yang disediakan oleh masing-masing restoran dan kafe. Karina bermain ponsel sambil menunggu Nino memesan minuman.
"Karina?"
Karina tidak langsung melihat ke arah suara. Ia merasa dejavu mendengar suara itu.
"Karin?"
Karina segera mendongak dan menemukan seseorang yang sudah lama tidak pernah muncul di hadapannya.
Dia tersenyum setelah tatapan mereka bertemu. "Kamu apa kabar?"
"A-Abang?" Tanpa sadar, Karina menggumamkan panggilan itu. Namun, orang itu entah mendengar atau tidak, karena suasana di sekitar mereka cukup ramai.
Dia duduk di hadapan Karina dengan senyuman yang sempat sulit didapatkan oleh Karina saat itu. Pikirannya jadi berkelana ke beberapa tahun lalu, di saat ia mati-matian berusaha mendapatkan cinta pria itu, tetapi akhirnya malah dikhianati.
"Kamu sama siapa ke sini?"
Karina kembali menyadarkan diri dari lamunannya. "O-oh, a-aku sama Mas Nino."
"Oh." Dia terlihat sedikit memaksakan senyum saat tahu Karina datang bersama Nino.
"M-Mas Hardi … apa kabar?" Karina bertanya ragu.
"Baik."
Hening menyapa di antara mereka. Hanya suara orang-orang di sekitar yang menjadi pengisi keheningan itu. Karina tidak tahu harus berkata apa, karena pertemuan mereka sangat tiba-tiba. Ia berusaha untuk tidak membalas tatapannya dan berharap Nino segera keluar dari dalam kafe. Namun, tak berapa lama kemudian, Nino keluar.
"Sayang, kayaknya—-" Ucapan Nino terputus saat menyadari ada seseorang yang duduk di hadapan Karina dan berdiri begitu melihat Nino. "Hardi?"
Hardi tersenyum, lalu menyapa, "Hai."
"Tumben di sini?" tanya Nino seraya duduk di samping Karina dan segera merangkul pinggangnya. Wanita itu sampai melirik ke arah suaminya yang tiba-tiba saja melakukan hal itu.
"Kebetulan lagi cari angin. Sekalian tadi nyari tempat usaha juga."
"Oh." Nino mengangguk-angguk. "Mau buka usaha kuliner?"
"Ya, rencananya begitu."
"Mas, kamu jadi pesen minumannya, kan?" tanya Karina menyela di antara pembicaraan mereka ketika dijeda.
"Oh, iya, aku hampir lupa. Minuman yang kamu pesen gak ada. Semua yang ada di menu berbahan kopi sama cokelat. Jadi, kayaknya kita cari tempat lain aja."
"Oh … ya, udah gak apa-apa."
Hardi memerhatikan setiap interaksi mereka. Ia baru menyadari jika mereka terlihat serasi. Dan, Hardi masih merasa berdosa karena sudah menyakiti Karina dulu. Namun, sekarang ia senang melihat Karina mendapatkan orang yang tepat. Meski masih ada perasaan masa lalu yang tertinggal dalam hatinya. Hardi akan merelakannya sekarang.
"Kayaknya aku harus pergi sekarang," ujar Hardi sambil melirik jam tangannya. Kedua orang di hadapannya mengarahkan tatapan pada pria itu. Hardi menatap bergantian Karina dan Nino. "No, aku senang kamu bisa menjaga Karina dengan baik. Aku harap kalian selalu bahagia." Hardi tersenyum tipis.
Nino membalasnya dengan senyuman tipis. "Thanks."
Hardi mengangguk. "Oh, ya, minggu depan aku menikah. Aku harap, kalian bersedia datang di resepsi pernikahanku nanti."
Nino tersenyum sedikit lebar. "Tentu."
"Kalau gitu, aku permisi." Hardi mengalihkan tatapan pada Karina. "Karin." Ia mengulas senyum, lalu Karina balas tersenyum sambil mengangguk walau terlihat ragu.
Setelah itu, Hardi pergi meninggalkan mereka. Karina segera mengalihkan pandangan ke arah lain. Bagaimanapun juga, Hardi itu bagian dari masa lalunya, terkadang ia tidak bisa mengabaikan begitu saja.
Mereka meninggalkan kafe tanpa memesan karena minuman yang diinginkan Karina tidak ada. Akhirnya, mereka memutuskan untuk mencari tempat lain.
Karina menghentikan langkahnya saat melihat penjual jus buah-buahan yang berada di kios kecil.
"Mas."
Nino menoleh. "Kenapa?"
"Aku mau beli jus, ya."
Nino mengangguk sambil tersenyum. Karina dengan antusias berjalan menuju kios pedagang itu seperti anak kecil yang diizinkan membeli permen. Selama Nino menunggu, ia duduk di kursi kayu yang sejajar dengan kios itu. Saat ia sedang melihat-lihat sekitar, matanya tidak sengaja menangkap sosok familier yang membuat senyumnya hilang seketika. Seorang pria berkacamata sedang mengobrol dengan wanita di depan sebuah restoran.
Emosinya tiba-tiba memuncak, tangannya terkepal dengan sangat erat.
Laki-laki brengsek itu, bukankah harusnya masih dipenjara!