Roseane Park, seorang mahasiswi semester akhir yang ceria dan ambisius, mendapatkan kesempatan emas untuk magang di perusahaan besar bernama Wang Corp. Meskipun gugup, ia merasa ini adalah langkah besar menuju impian kariernya. Namun, dunianya berubah saat bertemu dengan bos muda perusahaan, Dylan Wang.
Dylan, CEO tampan dan jenius berusia 29 tahun, dikenal dingin dan angkuh. Ia punya reputasi tak pernah memuji siapa pun dan sering membuat karyawannya gemetar hanya dengan tatapan tajamnya. Di awal masa magangnya, Rose langsung merasakan tekanan bekerja di bawah Dylan. Setiap kesalahan kecilnya selalu mendapat komentar pedas dari sang bos.
Namun, seiring waktu, Rose mulai menyadari sisi lain dari Dylan. Di balik sikap dinginnya, ia adalah seseorang yang pernah terluka dalam hidupnya. Sementara itu, Dylan mulai tergugah oleh kehangatan dan semangat Rose yang perlahan menembus tembok yang ia bangun di sekelilingnya.
Saat proyek besar perusahaan membawa mereka bekerja lebih dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fika Queen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Hari itu, Rose tidak bisa berhenti memikirkan tawaran Dylan. Kata-katanya terus terngiang-ngiang di kepalanya: “Aku ingin menjagamu, Rose. Bukan hanya sebagai atasanmu, tapi sebagai seseorang yang benar-benar peduli padamu.” Ada kehangatan dalam ucapannya yang sulit ia abaikan, tetapi ada juga keraguan yang menyelimuti hati Rose.
Apakah Dylan benar-benar tulus? pikirnya. Atau, mungkinkah ini hanya cara untuk mengamankan posisinya sebagai bos yang bertanggung jawab?
Di tengah pikirannya yang kacau, Rose memutuskan untuk mengambil udara segar. Ia berjalan ke area taman di lantai bawah, berharap bisa mengalihkan pikirannya dengan pemandangan yang lebih tenang. Tetapi justru di sanalah ia melihat sesuatu yang membuat dadanya berdesir tak karuan.
Dylan sedang duduk di salah satu bangku taman bersama seorang wanita muda, cantik, dan penuh energi. Mereka berbicara sambil tertawa, dan sesekali, wanita itu menyentuh lengan Dylan dengan akrab. Senyum Dylan tampak hangat, lebih lembut daripada yang pernah ia tunjukkan pada siapa pun, termasuk Rose.
Rose terdiam di tempatnya, jantungnya berdegup kencang. Ada perasaan asing yang menyeruak di dadanya—marah, kecewa, dan entah apa lagi. Apa ini perasaan cemburu? pikirnya, meski ia enggan mengakuinya.
Dari tempatnya berdiri, ia mendengar beberapa potongan percakapan mereka.
“Jadi, kapan kau akan memberitahu mereka?” tanya wanita itu dengan nada menggoda.
Dylan tertawa kecil. “Tenang saja, waktunya akan tiba.”
Rose tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tetapi hatinya terasa semakin berat. Ia berbalik perlahan, tidak ingin Dylan atau wanita itu menyadari keberadaannya. Ia tidak tahu kenapa pemandangan itu begitu mengusik hatinya, tetapi ia merasa… dikhianati.
Kenapa aku merasa seperti ini? pikir Rose, berusaha meredakan perasaannya. Bukankah ia belum membuat keputusan soal tawaran Dylan? Bukankah hubungan mereka hanya sebatas atasan dan bawahan?
Namun, hatinya berkata lain. Ada sesuatu tentang Dylan yang sudah berhasil menembus pertahanannya, meskipun ia tidak mau mengakuinya.
Di ruang kerjanya, Dylan merasa ada yang aneh. Biasanya Rose akan muncul dengan senyum kecil atau bahkan tatapan bingung ketika ia memanggilnya. Tetapi sejak tadi pagi, sikap Rose dingin dan jauh. Ketika mereka berpapasan di lorong, Rose hanya menunduk tanpa menyapa, sesuatu yang tidak biasa darinya.
“Rose, kau baik-baik saja?” tanya Dylan ketika akhirnya ia memutuskan untuk menemuinya di meja kerjanya.
Rose mendongak, mencoba terlihat biasa saja. “Saya baik-baik saja, Pak. Ada yang perlu saya lakukan?”
Dylan mengerutkan kening. “Kau tampak berbeda. Apa ada sesuatu yang mengganggu?”
Rose menggigit bibir, berusaha menahan dirinya. Tetapi kata-kata itu meluncur begitu saja. “Tidak ada, Pak. Saya hanya berpikir… mungkin saya tidak perlu memikirkan tawaran Anda terlalu serius. Lagipula, Anda pasti punya banyak pilihan lain yang lebih cocok.”
Dylan tertegun. “Apa maksudmu?”
Rose berdiri, suaranya sedikit bergetar meskipun ia berusaha tegar. “Saya melihat Anda di taman tadi, bersama seseorang. Dan saya sadar, saya tidak seharusnya berharap lebih. Anda jelas punya kehidupan lain yang tidak ada hubungannya dengan saya.”
Dylan menatapnya, menyadari apa yang Rose maksud. “Rose, kau salah paham,” ujarnya cepat. “Wanita itu… dia hanya sepupu saya, Diana. Dia baru kembali dari luar negeri, dan kami sedang membicarakan rencana keluarga.”
Rose terdiam, kebingungan dan malu pada saat yang sama. “Sepupu Anda?”
“Ya,” Dylan menjawab, nadanya lebih lembut. “Aku tahu ini mungkin terlihat salah di matamu, tapi aku tidak akan pernah mempermainkanmu, Rose. Kalau aku mengajukan tawaran itu, itu karena aku serius. Aku ingin kau tahu, tidak ada orang lain.”
Rose menunduk, wajahnya memerah. Hatinya bergetar mendengar penjelasan Dylan, tetapi ia masih merasa ragu. “Saya… saya tidak tahu harus berkata apa.”
Dylan menatapnya dalam-dalam. “Kau tidak perlu menjawab sekarang. Tapi satu hal yang perlu kau tahu, Rose, aku ingin kau percaya padaku. Kalau aku ingin menjagamu, itu karena aku peduli. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun, termasuk Junho, mengganggumu.”
Rose hanya bisa mengangguk pelan, meskipun hatinya masih bergemuruh. Entah kenapa, ia merasa lega mendengar penjelasan Dylan, tetapi pada saat yang sama, ia tahu bahwa keputusan ini akan menentukan masa depannya.
***
Setelah hari yang melelahkan di kantor, Rose akhirnya tiba di apartemennya. Ia melepaskan sepatu dengan malas, meletakkan tas di sofa, dan menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. Kepalanya masih penuh dengan percakapan tadi dengan Dylan. Penjelasannya tentang wanita di taman membuat hati Rose sedikit lebih tenang, tetapi rasa ragu itu masih membayangi.
Sambil memejamkan mata, ponselnya tiba-tiba bergetar. Ia meraihnya dengan malas, dan alisnya mengerut ketika melihat nama Junho di layar.
Junho
“Rose, aku ada di lantai bawah. Bisakah kita bertemu? Ada yang harus aku bicarakan denganmu.”
Rose terdiam, membaca pesan itu berulang kali. Junho, lelaki yang sempat mendekatinya dengan sikap agresif beberapa waktu lalu, membuatnya merasa tidak nyaman. Ia sempat berpikir untuk mengabaikannya, tetapi ada sesuatu dalam nada pesan itu yang membuatnya penasaran.
Dengan enggan, Rose beranjak dari tempat tidur, mengganti bajunya dengan pakaian yang lebih santai, lalu turun ke lantai bawah. Udara malam terasa dingin, dan lampu-lampu kota bersinar temaram di luar gedung apartemen.
Namun, ketika ia tiba di lobi, tidak ada tanda-tanda keberadaan Junho. Rose melangkah keluar, menoleh ke kiri dan kanan, berharap melihat sosok yang ia kenal.
Tiba-tiba, dari bayangan di sudut parkiran, muncul dua pria bertubuh besar dengan topi yang menutupi sebagian wajah mereka. Sebelum Rose sempat bereaksi, salah satu dari mereka dengan cepat meraih lengannya.
"Diam, atau kami tidak akan segan-segan melukai wajah cantikmu," ujar salah satu pria itu dengan suara rendah dan mengancam.
Rose memberontak sekuat tenaga, tetapi genggaman pria itu terlalu kuat. "Apa yang kalian mau?" serunya panik.
"Ini hanya peringatan, nona," kata pria yang satunya. "Bos kami tidak suka kau terlalu dekat dengan Dylan."
Nama Dylan membuat darah Rose berdesir. Apakah ini ada hubungannya dengan posisinya di perusahaan? Atau, mungkinkah ini tentang tawaran Dylan untuk menjaganya?
Rose berusaha menenangkan diri dan mencari cara untuk melarikan diri. Tiba-tiba, suara langkah kaki cepat terdengar dari arah lobi. Pria-pria itu menoleh, dan dalam sekejap, seseorang menerjang mereka.
"Dylan?" Rose tergagap, terkejut melihat pria itu ada di sana.
Dylan memukul salah satu pria hingga terjatuh, sementara yang lainnya melarikan diri ke dalam kegelapan. Ia segera meraih Rose dan memeluknya erat. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya dengan nada khawatir.
Rose mengangguk, meski tubuhnya masih gemetar. "Bagaimana kau bisa ada di sini?"
Dylan menatapnya tajam. "Aku tahu Junho tidak bisa dipercaya, jadi aku mengikutimu setelah kau meninggalkan kantor. Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu."
Rose terdiam, air matanya mulai menggenang. Ia merasa campur aduk—takut, lega, dan… terlindungi.
"Kita harus lapor polisi," kata Dylan tegas, menggenggam tangan Rose dengan erat. "Siapa pun mereka, mereka tidak akan menyentuhmu lagi."
Rose hanya mengangguk pelan, membiarkan Dylan memimpinnya kembali ke dalam gedung apartemen. Di dalam hatinya, ia tahu hidupnya baru saja berubah—bukan hanya karena ancaman tadi, tetapi juga karena kehadiran Dylan yang nyata, melindunginya tanpa ragu.