Siapa yang ingin rumah tangganya hancur? Siapa yang ingin menikah lebih dari satu kali? Semua orang pastilah berharap menikah satu kali untuk seumur hidup.
Begitu pun denganku. Meski pernikahan yang kujalani terjadi secara paksaan, tapi aku bisa menerimanya. Menjalani peran sebagai istri dengan sebaik mungkin, berbakti kepada dia yang bergelar suami.
Namun, bakti dan pengabdianku rasanya tidak cukup untuk membina rumah tangga dadakan yang kami jalani. Dia kembali kepada kekasihnya setelah aku mengandung. Kesempatan demi kesempatan aku berikan, tapi tak digunakannya dengan baik.
Bercerai? Rasanya tidak semudah itu. Aku ingin merebut kembali apa yang menjadi milikku. Termasuk modal usaha yang aku berikan dulu kepadanya. Inilah kisahku, Shanum Haniyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 33
POV DZAKI
Taman ini, taman belakang rumah sederhana yang dulu hanya diisi rumput hijau kini tertanam beberapa bunga yang bermekaran. Kata Umi, hasil karya tangan seorang ahli ketika aku menimba ilmu dulu.
Shanum, setiap kali melihat bunga-bunga ini aku teringat padanya. Setiap kali terlintas nama itu, terkenang masa-masa indah dulu. Di mana dia sering bersemu dan menundukkan kepala ketika berbincang denganku. Sungguh hatiku merindu, tapi kini ada dinding kokoh yang menghalangi.
Benang merah itu sudahlah putus, mungkinkah bisa terjalin kembali? Cemburu? Jelas. Terkejut diri ini ketika mendengar kabar pernikahannya. Bukan salah dia ataupun orang tuanya. Ini semua takdir yang tidak membiarkan kami berjodoh.
"Dzaki! Kamu di mana, Nak?" Suara Umi yang menggema di dalam rumah menyentak lamunanku. Pandangan secara langsung terputus dan menoleh ke arah pintu.
"Kenapa, Mi? Dzaki di belakang," sahutku saat melihat sosok Umi yang sudah di dapur.
Umi tidak berkata apapun, duduk di kursi samping yang dipisahkan meja bundar. Tempat Shanum duduk menemani Umi ketika di rumah.
"Umi udah denger tentang Shanum, kamu tahu gimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja? Umi khawatir karena Shanum lagi hamil sekarang," ucap Umi dengan wajah cemas yang tak tertutupi.
Ya Allah, Umi masih sama seperti dulu. Menganggap Shanum seperti anaknya, padahal aku sempat melihat kekecewaan di kedua bola mata bening itu. Ia menatapku, kubalas dengan senyuman.
"Insya Allah, Mi. Shanum perempuan yang kuat, dia pasti baik-baik saja. Doakan saja semoga masalah dalam rumah tangga mereka segera bisa diselesaikan," sahutku tak tahu harus berkata apa.
Ya Allah, perih. Setiap kali terbayang air mata perempuan itu, setiap itu juga hatiku serasa diremas. Perempuan yang kujaga senyumnya dari sejak remaja, kini harus berurai air mata karena ujian. Dia pasti berhasil dan naik kelas.
"Tapi tetep aja hati Umi nggak tenang kalo belum lihat langsung keadaannya. Umi sudah menganggap Shanum anak sendiri. Semalaman Umi nggak bisa tidur karena terus mikirin Shanum. Kamu bisa antar Umi ketemu sama dia? Sekalian Umi juga mau beli kue buat pengajian di tokonya," cerocos Umi yang terdengar lebay dan berlebihan, tapi ekspresi wajah itu tak ada kebohongan sama sekali.
Semua yang meluncur dari lisannya, sesuai dengan apa yang terdetik di hatinya. Mata itu memancarkan kecemasan, garis di wajah yang keriput semakin memperjelas. Oh, Umi. Kau sungguh berhati besar dan lembut, pandai menyembunyikan kekecewaan. Bahkan, tidak menaruh kebencian sedikit pun di sana.
"Ayo, kebetulan Dzaki juga nggak ada kegiatan." Kutahan rasa haru di hati, seraya beranjak memenuhi permintaannya.
Umi tergesa mendahului, masuk ke kamar dan kembali sambil menenteng tas. Kerudung besarnya berkibar-kibar tatkala kaki melangkah dengan cepat. Aku menggeleng, mengulum senyum. Apalagi jika Shanum adalah menantunya sendiri.
Pujian-pujian yang dihaturkan Umi dulu untuk seorang Shanum tatkala aku mengenalkannya untuk pertama kali. Umi langsung jatuh hati dan keduanya terus akrab seperti anak dan ibu. Kuhela napas, biarlah sekarang kami hanya menjadi saudara. Tak apa, yang penting Umi tidak kehilangan sosok anak perempuannya.
****
"Banyak banget, Mi, belinya." Aku terheran-heran ketika Umi keluar dari toko Shanum dengan menenteng banyak plastik. Namun, yang menjadi perhatianku adalah, mimik wajah Umi yang sendu.
Bahunya melorot jauh, lesu tak bersemangat.
"Shanum nggak ada di toko. Kita ke rumahnya aja, ya," ucap Umi dengan nada lesu. Ia tidak menjawab keherananku kenapa membeli begitu banyak kue tidak seperti biasanya saja.
Aku mengangguk seraya mengambil alih kantong plastik berisi aneka makanan dari tangan Umi. Menaruhnya di jok kedua sesuai permintaan sang ibu suri. Lalu, menjalankan mobil melewati taman seperti yang diperintahkan olehnya.
"Umi mau bagi-bagi kue ini sama anak-anak yang suka ada di taman ini."
Aku mengangguk ketika mengerti dengan apa yang dilakukan perempuan luar biasa ini. Kuturuti kemauan Umi, memarkir mobil di area taman, dan berjalan mengekor di belakangnya sambil menenteng beberapa kantong plastik.
"Itu mereka!" Telunjuk Umi lurus ke depan, di mana ada sekumpulan anak-anak berpakaian lusuh sedang berkerumun di sebuah semak. Seperti tengah menonton sesuatu.
"Anak-anak!" panggil Umi yang terdengar begitu akrab. Serentak mereka menoleh, dan senyum-senyum lebar mengembang di bibir mereka melihat sosok Umi.
"Umi!" sorak mereka sambil berhambur mendatangi Umi dan memeluk perempuan hebat ini.
Maa syaa Allah! Jadi, ini yang dilakukan Umi selama aku tidak ada. Semoga surga tempatmu kelak. Umi mengajak mereka duduk di sebuah bangku panjang, bercerita sambil menikmati kue-kue yang kubagikan. Teringat pada apa yang mereka lakukan tadi, aku ingin bertanya karena penasaran.
"Kalian tadi ngapain di sana? Kayak lagi nonton sesuatu," tanyaku sambil menatap anak paling besar di antara mereka. Sekitar lima orang anak yang kini berkumpul bersama kami.
"Oh, itu, Kak. Di dekat danau sana ada kakak-kakak perempuan yang lagi hamil. Melamun sendirian, kami cuma takut kakak itu masuk ke danau," jawab mereka membuatku tertegun.
Shanum!
Hatiku memanggil nama itu, entah mengapa aku merasa terpanggil untuk melihat. Apakah dia memang Shanum?
"Dzaki ...." Umi menyentuh jemariku, pandang kami bertemu. Seperti apa yang aku rasakan, Umi juga berpikir itu pastilah Shanum.
"Umi tunggu di sini, Dzaki mau cek dulu," pintaku padanya.
Umi mengangguk, bersama anak-anak menunggu di bangku taman. Setengah berlari kuhampiri tempat itu, tempat di mana sebuah danau buatan berada. Langkahku terhenti, tatkala tiba di sebuah pohon karena sosok asing di sana. Dia bukan Shanum! Perempuan itu berhijab.
Tunggu! Setelah aku telisik lebih lama, kerudung itu tak asing di mataku. Selembar kain segi empat merah muda bermotif bunga, kado yang kuberikan untuk Shanum. Hatiku berdenyut, tiba-tiba saja tak menentu. Kurasakan rasa hangat mengalir di kedua pipi, dia memakainya? Sungguh?
"Alhamdulillah, ya Allah. Kuharap kado kecil itu bermanfaat untuknya."
Senyum terkembang dengan sendirinya, lafal-lafal doa yang kulangitkan kini terijabah. Kubawa langkah mendekati sosoknya, isak tangis lirih terdengar seiring langkah semakin mendekat. Lagi, hatiku sakit mendengar suara rintihan kesakitan itu.
Ia masih menatap danau, belum menyadari kehadiranku. Kutatap punggungnya yang bergetar, sebegitu hebatkah sakit yang kau rasakan? Jika syari'at membolehkan, ingin kurengkuh tubuh itu dan membenamkan tangisnya dalam dada.
Kuhela napas, menenangkan hati yang tiba-tiba bergejolak. Ingin kuremukkan tubuh laki-laki yang sudah menyakitinya. Kutenggelamkan wajahnya dalam kubangan air mata itu. Sayang, setiap tetesnya bahkan terlalu berharga untuk dia sentuh.
"Shanum!" Kutahan getar di lisan, aku harus berperan menjadi kekuatan bukan kelemahan. Setidaknya, dia masih menganggapku sebagai kakak.
Ia menoleh dengan mata membulat sempurna. Kuhaturkan senyum padanya, kemudian mendekat.
"Menangislah, kalo dengan tangisan mampu mengurangi beban berat di hatimu!"