Memiliki kehidupan yang nyaris sempurna, Marsha memiliki segudang prestasi, ia juga terampil dalam seni lukis dan percintaan yang bahagia bersama Reno─sepupunya sendiri. Mereka telah membangun rencana masa depan yang apik, namun siapa yang akan menyangka takdir tidak selalu mengikuti semua rencana.
Marsha tiba-tiba harus menggantikan Maya─kakaknya yang kabur karena menolak menikahi Alan─pria pilihan orang tuanya berdasarkan perjanjian bisnis. Masa depan perusahaan orang tuanya yang diambang kebangkrutan sebagai konsekuensinya.
Bagai simalakama, terpaksa Marsha menyetujuinya. Statusnya sebagai pelajar tidak menunda pernikahan sesuai rencana diawal. Alan adalah pria dewasa dengan usia yang terpaut jauh dengannya ditambah lagi ia juga seorang guru di sekolahnya membuat kehidupannya semakin rumit.
Menjalani hari-hari penuh pertengkaran membuat Marsha lelah. Haruskah ia berhenti mengukir benci pada Alan? Atau tetap melukis cinta pada Reno yang ia sendiri tidak tahu dimana ujung kepastiannya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rieyukha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MATA YANG TERNODAI
Acara sederhana yang sebenarnya secara garis besar tidak terlihat sederhana juga, karena semua tertata secara mewah. Baik dari segi dekor, makanan dan villa yang super mewah mereka tempati sekarang. Akhirnya selesai dan menuju ketempat istirahat masing-masing.
Dari kejauhan Marsha melihat Sania menghampiri Alan untuk mengajaknya berbicara, membuat langkah Alan yang hendak kembali ke kamar berbalik badan mengikuti Sania. Kesempatan itu tidak Marsha sia-siakan untuk langsung masuk ke kamar lebih dulu.
Marsha mengeluarkan ponselnya yang seharian ia simpan dalam laci meja riasnya. Ia berniat menghubungi Sarah, sudah terlalu lama ia mengabaikan sahabatnya itu.
“Marshaaaaa!”
Yup teriakan protes Sarah cukup menggema. Marsha yang sedang membersihkan make up nya hanya memejamkan mata sesaat lalu kembali menatap layar didepannya.
“Apaan sih Sar, teriak-teriak. Salam kek, say hallo yang enak didengar gitu loh.” Balas protes Marsha.
“Lo dimana, Sha? Udah balik kan ini?” Mata Sarah memperhatikan dengan seksama ke layar ponselnya.
“Um,” Marsha tidak berniat menambah kebohongannya.
“Ini... lagi dimana, Sha?” wajah Sarah yang mulai keheranan tidak disadari Marsha yang tengah serius membersihkan make up nya.
“Dikamar Sar, gue bosan nggak ada yang bisa diajak ngobrol disini.”
“Kamar lo agak beda ya kelihatannya,” gumam Sarah yang berhasil membuat Marsha kaget dan menatap layar ponselnya, layar ponselnya memenuhinya wajahnya kok, hanya sedikit sekali yang bisa dilihat dibelakangnya, itu juga hanya siluet. Tidak terlihat dekor kamar pengantinnya.
“Kenapa kaget gitu?” Sarah makin merasa aneh,
“Yaaa lo ngomongnya agak beda, kirain ada uka-uka gitu.” Marsha mendengkus kesal, bukan karena uka-uka tapi karena dia menambah kebohongannya.
Sarah tertawa, “Lo dari kondangan siapa, Sha?”
“Hah?”
“Itu kebaya-an, hapus make up,”
Marsha menghela nalas berat, kenapa ia bisa impulsif begini. Untung mahkota serta hiasan di kepalanya sudah dia lepas sebelum menghubungi Sarah.
“BT lo pasti kan balik-balik liburan temani nyokap lo kondangan,” Sarah terkekeh, ia mengira helaan napas Marsha barusan karena BT luar biasa berkumpul dengan Ibu-ibu sosialita. Marsha tidak mengiyakan atau pun membantah ucapan Sarah, biar dia menyimpulkannya tetap seperti itu.
“Jadi kapan kita liburan bareng, Sha?” rengek Sarah.
“Kali ini nggak janji deh Sar,”
“Why? Lo udah pulang, liburan juga masih semingguan lagi.”
“Lima hari.” Ralat Marsha
“Ya, sama gue itu masih seminggu, Sha.” Bela Sarah tak mau kalah.
“Seminggu itu tujuh hari Sar, bukan lima hari.”
“Pembulatan, Sha.”
“Ih apaan sih, lo pikir Matematika.”
“Ampun deh, Sha. Kok jadi ribet masalah hari sih kita.”
Mereka pun tertawa nggak jelas sama seperti pembahasannya yang juga menjadi tidak jelas.
“Sha, gimana kak Reno ikut juga dong. Puas ya kalian berdua-duaan.”
Goda Sarah antusias. Wajah Marsha seketika berubah muram mendengar nama Reno. Ia kembali menghela napas berat.
“Kak Reno—“
CKLEK!
Marsha kaget pintu kamarnya terbuka, dengan cepat ia langsung mengambil ponselnya dan mengakhiri video call dengan Sarah secara sepihak begitu saja. Marsha hanya diam melihat Alan masuk, ia berharap Alan tidak mendengar percakapannya dengan Sarah, terutama soal Reno. Sarah yang diujung sana tidak kaget, karena memang sudah kebiasaan Marsha jika membicarakan Reno lalu tiba-tiba sambungan telepon putus pasti ada keluarganya disekitarnya yang jangan sampai tahu.
Alan yang tidak peduli keberadaan Marsha membuat Marsha kembali pada aktivitasnya, berpura-pura cuek padahal ia mulai merasa tidak nyaman. Marsha mendelik melihat pantulan Alan dari cermin didepannya dan ia pun berteriak.
“Aaa!” Marsha menelungkupkan wajahnya diatas meja rias.
“Kamu kenapa sih?” tanya Alan kesal, baru juga masuk sudah teriak-teriak tidak jelas.
“Om jangan buka-buka disini dong,” protes Marsha masih menyembunyikan wajahnya, Alan mengerutkan alisnya heran, ia melihat dirinya kini yang sudah bertelanjang dada.
“Saya cuma buka baju, apanya yang salah.”
“Ya tetap aja, gantinya dikamar mandi gitu kek. Duh ternoda deh mata saya,” lirih Marsha.
Alan mendengkus kesal, dari pada Marsha teriak-teriak kembali lebih baik ia mengalah. “Yang kayak matanya bersih aja!” celetuk Alan sambil masuk ke kamar mandi.
“Apa?!” teriak Marsha yang tidak terima. Ia berniat melempar Alan dengan apa saja, namun pria itu sudah masuk kedalam kamar mandi.
***