Ketika makhluk misterius yang disebut "Ruo" mulai memburu dan mencuri indera manusia, ketakutan melanda dunia. Ruo, sosok tanpa emosi dan kekuatan yang tampak tak terbatas menjadikan setiap manusia sebagai target, memburu mereka yang tak mampu menekan rasa takut atau sedih.
Di tengah kehancuran dan ketidakberdayaan, muncul Wira, seorang pria muda yang berhasil selamat dari serangan pertama para monster. Dipenuhi tekad untuk menghancurkan makhluk-makhluk itu, Wira membangun kepercayaan orang-orang di sekitarnya, menawarkan seberkas cahaya di tengah malam yang mencekam.
Di antara reruntuhan harapan, Wira memimpin, melindungi, dan menginspirasi orang-orang yang mulai melihatnya sebagai sosok harapan yang akan melindungi kemanusiaan. Namun, setiap langkahnya menguji batas kekuatan dan kemanusiaannya sendiri. Mampukah Wira mempertahankan harapan yang ia ciptakan di dunia yang hampir tanpa cahaya?
Masuki kisah perjuangan penuh pengorbanan, di mana harapan baru menyala di tengah kegelapan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gerhana_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15: Reborn
Besok paginya, langit cerah memayungi hutan, udara terasa segar setelah malam yang penuh ketegangan. Wira dan Bima berdiri di depan gubuk kecil, siap untuk pergi meninggalkan tempat itu. Keduanya membawa perlengkapan seadanya, termasuk senjata dan granat kriogenik yang telah membuktikan efektivitasnya.
Kakek berdiri di depan pintu gubuk, tangannya menggenggam sebuah amplop kecil. Ia memandang Wira dengan sorot mata tegas namun ada kehangatan tersembunyi di dalamnya.
“Bocah,” panggil kakek dengan nada khasnya. “Pergilah ke camp evakuasi Raflesia. Cari seseorang bernama Mayor Ryan, dan berikan surat ini padanya.”
Wira melirik amplop itu dengan sedikit penasaran. “Surat apa ini? Apakah ini surat wasiatmu, tuan iblis?” tanyanya dengan nada mengejek, sambil menyeringai kecil.
Kakek mendesah panjang, tatapan tajamnya menusuk Wira. “Sampai akhir pun mulutmu tetaplah sampah. Lakukan saja. Ini akan berguna untukmu.”
Wira tertawa kecil, kemudian mengambil amplop itu dan menyelipkannya ke dalam saku. “Baiklah, Tuan Iblis. Untuk pertama kalinya aku akan menuruti perintahmu tanpa banyak protes.”
Ia membungkukkan badannya sedikit, memberi hormat dengan gaya bercanda yang khas. Lalu, dengan nada yang lebih serius, ia berkata, “Kek, walaupun menurutmu ini tidak penting, menurutku ada hal yang harus kukatakan sebelum kita berpisah.”
Kakek mengangkat alisnya, penasaran.
Wira melanjutkan, dengan mata sedikit bersinar, “Namaku Iskandar Rawardana. Dan ini temanku, Bima. Senang bertemu dengan Anda, Tuan Iblis.”
Kakek terdiam sejenak, mengulang nama itu dalam hatinya. Iskandar Rawardana… Bima…
Bima tersenyum sopan, menundukkan kepala. “Terima kasih, Kek, atas segalanya. Semoga Anda selalu sehat.”
Wira dan Bima mulai melangkah menjauh. Wira melambaikan tangan tanpa menoleh ke belakang. “Sampai jumpa lagi, Kek. Di atas tanah, di bawah tanah, atau bahkan di antara bintang-bintang. Hahaha! Selamat tinggal!”
Kakek hanya menatap mereka dalam diam, senyum kecil tersungging di bibirnya. Dalam hatinya, ia bergumam, Mungkin saja… bocah itu adalah orang yang mampu menyelamatkan kita…
Setelah Wira dan Bima menghilang dari pandangan, kakek perlahan melangkah kembali ke dalam gubuknya. Suasana hening. Ia duduk di kursi usang di dekat jendela, membuka bukunya seperti biasa. Namun, saat ia membalik halaman, secarik kertas kecil jatuh dari sela-sela halaman.
Kakek memungut kertas itu, membukanya dengan alis sedikit berkerut. Ternyata, itu adalah puisi tulisan tangan, gaya tulisan yang langsung dikenalnya sebagai milik Wira.
Kakek membaca pelan, setiap kata terasa berat namun penuh makna:
Manusia terpana, menyaksikan bintang-bintang menari bersama purnama,
Manusia terpesona, melihat bunga-bunga yang mekar setiap tahunnya,
Manusia tertawa, mendengarkan cerita-cerita yang tidak biasa,
Manusia menangis, merasakan penderitaan yang menerpa,
Dunia yang penuh warna seketika hilang karena makhluk tanpa rasa,
Manusia benar-benar tidak berdaya...Dalam putus asa, yang kita butuhkan hanyalah harapan.
Aku mungkin bukan yang terkuat,
Aku juga bukan yang paling cerdas,
Tapi Biarkan diriku untuk mengubah raga menjadi cahaya,
Dan biarkan diriku menjadi wadah kemarahan semua manusia.Aku meminta izin pada neraka,
Kalau aku adalah neraka bagi makhluk tanpa rasa.Kakek merasakan bulu kuduknya berdiri. Tubuhnya bergetar, bukan karena ketakutan, melainkan karena sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang belum pernah ia rasakan selama ini.
“Puisi ini…” gumam kakek, sambil menatap kertas itu dalam-dalam. Senyumnya perlahan muncul, kecil namun penuh arti. Bocah itu… memiliki kekuatan yang jauh melampaui tubuhnya. Kekuatan untuk menjadi sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.
Ia menggenggam puisi itu dengan hati-hati, seolah itu adalah harta yang sangat berharga. Tatapannya beralih ke luar jendela, menatap bulan purnama yang masih tergantung di langit malam.
“Iskandar Rawardana…” bisik kakek pelan, senyumnya semakin dalam. “Jadilah neraka itu.”
Beralih ke Wira dan Bima yang Menyusuri Hutan
Di tengah hutan lebat dengan rimbunnya pepohonan yang menutupi cahaya matahari, Wira dan Bima berjalan perlahan menyusuri jalan setapak yang hampir tak terlihat. Langkah mereka diiringi suara dedaunan yang bergesekan, serta gemerisik binatang kecil yang bersembunyi di semak-semak.
Bima, yang berjalan setengah langkah di belakang Wira, akhirnya membuka pembicaraan. “Wira, bagaimana kau bisa selamat waktu itu?” tanyanya, nada suaranya terdengar serius namun penuh rasa penasaran.
Wira menghela napas panjang, mengingat kejadian yang hampir merenggut nyawanya. “Aku melompat ke sungai,” jawabnya dengan suara datar. “Ruo sialan itu mengejarku, dia juga melompat. Untungnya air sungai waktu itu sangat dingin, cukup untuk melemahkannya sedikit. Dengan sisa tenagaku, aku menembak kepalanya berkali-kali. Tapi aku juga kehabisan tenaga, pingsan, dan hanyut... sampai akhirnya kakek tua itu menyelamatkanku.”
Bima mengangguk kecil, tampak merenungkan kisah yang barusan ia dengar. “Kau benar-benar beruntung,” katanya, lalu melirik Wira dari samping. “Tapi aku perhatikan, sepertinya kau terlihat lebih tangguh sekarang.”
Wira menoleh ke arah Bima dengan alis terangkat. “Oh? Begitu ya?”
Bima mengangguk. “Iya. Tubuhmu semakin berisi... dan luka-luka itu?”
Wira menyeringai kecil, menatap lengan dan tubuhnya yang kini penuh bekas luka. “Ah, benar. Tubuhku memang tidak lagi mulus,” katanya sambil terkekeh. “Tapi setidaknya, sekarang aku terlihat lebih maskulin, kan? Hahaha!”
Bima ikut tertawa kecil. “Dan, Wira... sepertinya kau juga bertambah tinggi.”
Langkah Wira terhenti sejenak. Ia menatap Bima dengan alis terangkat, penuh rasa ingin tahu. “Benarkah?”
Bima mengangguk sambil tersenyum tipis. “Iya, 2 cm.”
Wira terdiam, memandang Bima dengan tatapan yang familiar, tatapan yang biasanya ia gunakan saat menyadari sesuatu yang mencurigakan. “Hei, Bima... ah, sialan kau! Kau belajar darinya ya?” Wira menunjuk wajah Bima, seolah tidak percaya.
Bima hanya tersenyum, menahan tawanya. “Ayo, Wira. Nora dan yang lainnya sudah menunggumu,” katanya sambil kembali berjalan.
Wira mendesah, menggelengkan kepalanya dengan ekspresi campuran antara frustrasi dan geli. “Kakek tua sialan itu bahkan memengaruhi temanku...” gumamnya pelan.
Namun, tanpa berkata apa-apa lagi, Wira mengejar langkah Bima, menyusuri hutan yang seolah tiada ujung, dengan bayangan teman-temannya di kejauhan. Perjalanan mereka terasa panjang, namun dalam keheningan itu, rasa harapan mulai menghangatkan hati keduanya.
Di kejauhan, suara burung malam mulai terdengar, menandai bahwa perjalanan mereka masih panjang sebelum akhirnya bisa kembali bertemu dengan teman-teman yang telah menunggu.
Setelah lima hari perjalanan yang penuh tantangan, Wira dan Bima akhirnya kembali ke markas mereka. Suara pintu markas yang terbuka mengundang perhatian, langkah kaki mereka terdengar berat, mencerminkan perjalanan panjang yang telah mereka lalui. Namun, saat mereka masuk, kelelahan itu lenyap tergantikan oleh kehangatan sambutan teman-teman mereka.
Nora, yang pertama menghampiri, langsung memeluk keduanya dengan erat. Suaranya bergetar, penuh haru.
"Syukurlah... Terima kasih, Tuhan. Kalian selamat!" katanya sambil menahan air mata.
Rizki mendekat dengan ekspresi lega, tetapi ia mencoba menyembunyikan emosinya di balik komentar yang biasa.
"Aku tahu manusia keras kepala seperti kau, Wira, pasti susah mati," ujarnya sambil tersenyum kecil.
Kegaduhan itu menarik perhatian Flora dan Meyrin, yang segera keluar dari kamar mereka. Begitu melihat Wira, Flora tampak sangat senang. Tanpa ragu, ia berlari mendekat dan memeluknya erat.
"WIRA! Ahahahah! Aku tahu kau pasti selamat! Syukurlah!" serunya penuh semangat.
Bima yang berdiri di sebelah Wira berdeham pelan. "Ehem..."
Flora yang menyadari tindakannya langsung melepas pelukan itu dengan wajah memerah. Wira hanya terkekeh.
"Ahahaha, terima kasih, kalian menyambutku dengan penuh energi. Aku jadi merasa seperti pahlawan pulang dari medan perang," katanya sambil bercanda. Ia melirik Meyrin yang berdiri agak jauh di belakang Flora dan memanggilnya dengan nada lembut.
"Hei, gadis kecil. Kemarilah! Om Wira sudah pulang."
Meyrin, yang awalnya ragu-ragu, perlahan mendekat. Ia memandang Wira dengan mata yang penasaran dan sedikit bingung.
"Apakah kamu... Om Wira? Kenapa kamu terlihat berbeda?" tanyanya polos.
Wira berlutut agar sejajar dengannya, menatap Meyrin dengan lembut. "Benar, aku Wira. Yah, banyak yang terjadi. Jadi aku harus menyesuaikan diri, nona kecil. Oh iya, siapa namamu?"
"Meyrin," jawabnya pelan.
Wira tersenyum hangat. "Meyrin, ya? Baiklah, salam kenal, Meyrin!"
Rizki, Flora, dan Nora mulai memperhatikan penampilan Wira dengan lebih seksama. Bekas luka di wajah dan tubuhnya tidak bisa disembunyikan. Nora akhirnya angkat bicara dengan nada prihatin.
"Wira, apa yang sudah kau lalui? Sepertinya... kau punya banyak bekas luka di badan dan wajahmu itu..."
Wira mendesah ringan dan menjawab dengan nada bercanda. "Singkatnya, aku bertemu dengan Raja Iblis."
Ucapan itu membuat mereka saling pandang dengan bingung, kecuali Bima, yang hanya tersenyum, sudah mengetahui siapa yang dimaksud oleh Wira.
Flora tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Yah, menurutku kau tambah tampan saja, Wira. Luka itu bikin kamu tambah keren. Seperti pahlawan perang."
Wira membalas dengan nada genit, "Haha, aku senang karena sekarang aku bisa melihat bidadari setelah hari-hariku disiksa iblis."
Wajah Flora langsung memerah. "Ah... a-apa-apaan kamu ini!" katanya gugup.
Rizki, yang jarang menunjukkan ekspresi riang, tersenyum tipis sambil berkata, "Wah, Wira, jangan terlalu agresif begitu. Kau baru saja kembali."
Wira tertawa, menyadari bahwa akhirnya dia berada di tengah keluarga kecilnya lagi. Bima, yang merasa perutnya berbunyi, angkat bicara dengan nada mengeluh.
"Hei, mari kita makan. Kami sudah lima hari memakan rumput!"
Semua tertawa mendengar itu, dan dengan semangat baru, mereka menuju meja makan untuk merayakan kembalinya dua anggota penting kelompok mereka.
Setelah makan malam yang penuh kegembiraan, suasana markas perlahan hening. Teman-teman Wira satu per satu tertidur, meninggalkan Wira duduk sendirian di luar markas. Ia menatap langit malam yang kini dihiasi bulan sabit. Angin malam berhembus pelan, membawa ketenangan di tengah keheningan.
Tiba-tiba, langkah ringan terdengar mendekatinya. Nora muncul dari bayangan markas dan menghampirinya.
"Wira, sedang apa kau di sini?" tanya Nora dengan suara lembut.
Wira menoleh dan tersenyum kecil. "Ah, Nora. Aku sedang menyaksikan pertunjukan bintang. Cukup mempesona, bukan?"
Nora tersenyum simpul dan mendekat, duduk di samping Wira. Tatapannya pun tertuju ke langit.
"Kenapa kau belum tidur?" tanya Wira, melirik Nora.
"Yah... aku tidak bisa tidur," jawab Nora, matanya tetap menatap langit. "Aku ingin hari penuh syukur ini lebih panjang. Karena kalau aku tidur, hari ini akan berakhir, bukan?"
Wira tersenyum kecil, mengangguk pelan. "Ah, benarkah begitu?"
Sesaat keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara angin dan dedaunan yang bergemerisik di malam itu. Nora lalu memecahkan keheningan, kali ini dengan suara yang lebih serius.
"Wira," panggilnya pelan.
"Ya, ada apa, Nora?" Wira menoleh, menyadari nada berbeda dalam suara Nora.
"Bolehkah aku bertanya sesuatu?" tanya Nora, kini menatap Wira dengan mata yang serius.
Wira terdiam sejenak, menatap balik Nora. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang penting dalam pertanyaan ini.
"Katakan saja, Nora," balasnya akhirnya.
Nora menarik napas panjang sebelum melanjutkan, suaranya pelan tapi tegas.
"Kenapa kau membunuh dua pria survivor itu?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, seperti pedang yang tiba-tiba diayunkan. Wira terdiam sejenak, lalu menjawab dengan nada datar.
"Karena mereka berbahaya."
Nora tidak puas dengan jawaban itu. "Kenapa kau menyiksanya?"
Wira tahu berbohong tidak akan berguna. Ia sadar bahwa Nora, dengan ilmunya sebagai seorang medis, pasti sudah mengetahui kebenaran. Setelah jeda yang cukup lama, Wira menjawab jujur.
"Nora, mereka adalah pria yang mengganggumu... yang mencoba berbuat jahat padamu. Mereka pantas mendapatkan rasa sakit sebelum kematian."
Mata Nora melebar, kekecewaan tergambar jelas di wajahnya. Dengan nada tajam, ia membalas.
"Pantas? Wira, apa hak manusia untuk memutuskan seseorang pantas disiksa? Kita ini bukan siapa-siapa, Wira. Tujuan kita adalah bertahan hidup, bukan menjadi algojo."
Wira menghela napas panjang. Ia mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab.
"Dunia sudah berubah, Nora. Jika kita masih berpikir kebaikan akan membantu, itu adalah kenaifan. Kelembutan adalah kelemahan! Yang aku butuhkan adalah kekuatan. Kekuatan untuk melindungi keindahan... bukan manusia yang hanya akan menjadi beban."
Kata-kata itu membuat Nora terdiam sesaat. Tapi bukan karena ia setuju melainkan karena ia marah. Dengan wajah yang memerah oleh emosi, ia berdiri dan menatap Wira dengan tajam.
"Kelembutan adalah kelemahan? Wira, kau salah besar. Kebaikan bukanlah kelemahan. Manusia yang memaafkan adalah manusia yang benar-benar kuat. Kau pikir kau kuat? Tidak, Wira! Kau hanya seorang pengecut yang takut pada kelembutan. Kau bilang kau melindungi keindahan? Tapi cara berpikirmu itu sama sekali tidak indah!
Wira menunduk, tidak berkata apa-apa. Namun Nora belum selesai. Ia melanjutkan dengan nada getir.
"Kupikir kau adalah cahaya. Tapi ternyata... kau hanya egois dan kekanak-kanakan. Kalau kau adalah manusia yang tak berperasaan, apa bedanya kau dengan monster, Wira?"
Wira tetap terdiam, hanya menatap tanah di depan kakinya. Kata-kata Nora seperti tombak yang menembus hatinya.
Dengan kesal, Nora berbalik dan berjalan kembali ke markas. Ia meninggalkan Wira sendirian di bawah langit malam.
Wira mendongak, menatap bulan sabit yang menggantung di langit. Tarikan napasnya terdengar berat, dan dengan pelan ia berbisik pada dirinya sendiri, "Hah..."
Malam itu terasa lebih dingin daripada biasanya, meskipun angin hanya berhembus perlahan. Di balik keheningan, dua hati sedang bergejolak, satu penuh amarah dan satu penuh perenungan.