Shiza, murid pindahan yang langsung mencuri perhatian warga sekolah baru. Selain cantik, ia juga cerdas. Karena itu Shiza menjadi objek taruhan beberapa cowok most wanted di sekolah. Selain ketampanan di atas rata-rata para cowok itu juga terlahir kaya. Identitas Shiza yang tidak mereka ketahui dengan benar menjadikan mereka menganggapnya remeh. Tapi bagaimana jika Shiza sengaja terlibat dalam permainan itu dan pada akhirnya memberikan efek sesal yang begitu hebat untuk salah satu cowok most wanted itu. Akankah mereka bertemu lagi setelah perpisahan SMA. Lalu bagaimana perjuangan di masa depan untuk mendapatkan Shiza kembali ?
“Sorry, aku nggak punya perasaan apapun sama kamu. Kita nggak cocok dari segi apapun.” Ryuga Kai Malverick.
“Bermain di atas permainan orang lain itu ternyata menyenangkan.” Shiza Hafla Elshanum
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ririn rira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berteman di sekolah saja
Shiza menghabiskan waktu pulang sekolahnya sambil melukis, ia punya ruang sendiri tempat menyalurkan bakatnya itu. Shiza tersenyum melihat hasil pekerjaannya. Ingatannya melayang saat disekolah tadi. Wajah penuh dendam Gita sangat terlihat jelas dan juga gurat kecewa seorang Karen. Namun Shiza bisa apa, mereka memulai semuanya. Jauh dalam lubuk hati gadis itu ia merasa lega karena hasil pemeriksaan Ryuga semuanya normal dan bagus. Mungkin beberapa hari lagi kulit kepala pemuda tampan itu akan menyatu.
"Za, ada Candra di depan."
Gadis itu tersentak dari lamunannya. Candra datang ke rumahnya tanpa kabar lebih dulu. Shiza bangkit dari tempatnya duduk dan membiarkan lukisannya mengering sendiri. Kaki gadis itu terayun menuju ruang tamu dari posisi saat ini Shiza bisa melihat Candra duduk di sofa ada segelas jus disajikan.
"Candra, kenapa nggak ngabarin dulu mau kesini syukur aku di rumah." Shiza mendaratkan tubuh di sebelah temannya itu.
"Sengaja." Candra tersenyum. "Malam ini nggak jualan bapak libur jadi aku punya waktu kesini."
"Mau belajar sepeda sekarang?" Shiza sangat antusias.
Candra mengangguk. "Ayo dimana sepedanya." Ia bangkit sambil merapikan bajunya.
"Garasi."
Mereka pergi ke garasi, untuk mengambil sepeda. Candra sempat tertegun melihat deretan mobil terparkir rapi disana. Seketika ia merasa rendah diri, pantaskah berteman dengan Shiza. Selangkah kakinya mundur bersamaan perasaan tidak nyaman
"Kamu aja yang ambil sepedanya." Candra tersenyum canggung.
"Kenapa?" Shiza terlihat bingung tadi Candra sangat semangat tapi kini seolah menghilang.
"Aku nggak enak takut ngerusak barang-barang disana."
Shiza terkekeh. "Emang kamu mau ngereok sampai rusak barang-barang. Ambil gih, nggak apa-apa."
Candra mengangguk lalu mengeluarkan sepeda. Ia menuntun sepeda milik Shiza yang di pastikan harganya tidak murah itu. Candra menoleh lalu memberi isyarat agar mereka menaiki sepeda bersama. Candra memilih lapangan yang tidak jauh dari rumah Shiza. Disana rumput hijau terbentang luas banyak anak-anak naik sepeda.
"Ayo naik."
Shiza terlihat ragu lalu menatap ke arah Candra. "Aku takut."
"Nggak apa-apa, nanti aku yang pegang."
Shiza menaiki sepeda sambil mengumpul keberanian. "Janji jangan di lepas ya."
"Iya cantik." Candra memegang boncengan sepeda lalu mendorong perlahan. "Goes..."
Shiza mengayuh sepeda sementara Candra setengah berlari memegang bagian belakang. Setelah merasa Shiza bisa mengimbangi Candra melepaskan sepeda tanpa gadis itu sadari. Candra berlari lagi mengejar untuk berjaga kalau gadis itu jatuh.
Merasa ringan Shiza menoleh ke belakang, ia tersentak kaget karena Candra melepaskan sepeda. Tiba-tiba ke seimbangan nya goyah beruntung Candra menangkapnya tepat waktu.
"Candra aku takut." Shiza turun dari sepeda.
"Kamu bisa, jangan takut ya tadi aku lepas kamu sudah bisa mengimbangi."
Shiza mengangguk, belajar bersepeda di lanjutkan. Tawa dan canda membersamai mereka. Sepintas mereka seperti sepasang kekasih yang romantis. Siapa pun bisa iri melihat kesabaran Candra mengajari Shiza bersepeda. Semangat Shiza membawa orang-orang yang belajar disana ikut membara.
Dikaki langit barat sudah muncul gores jingga bertanda petang siap menjemput. Sepoi anginnya mendayu lembut meniup rambut panjang Shiza Hafla Elshanum. Kecantikan itu menguar penuh pesona tersenyum senang duduk di atas boncengan sepeda. Kedua tangan ia rentangkan menikmati sapuan lembut angin senja. Tidak hanya Shiza, pemuda di depannya juga tak henti menarik senyum. Mengayuh sepeda tidak cepat, tidak juga lambat. Seolah menikmati kebersamaan itu serasa rinci.
"Aku pulang ya." Candra sudah bersiap melaju.
"Iya hati-hati." Shiza menunjuk kotak kue yang tergantung di depan. "Kue nya jangan lupa kasih Narin."
"Siap Neng." Candra meninggalkan pekarangan rumah itu.
Shiza memutar tumitnya untuk masuk, senyum masih mengembang merasa senang. Ternyata belajar bersepeda tidak ngeri seperti yang terpikirkan.
"Senyum terus lagi senang ya." Tegur Papa Rajendra dari dapur. Pria tampan itu membawa tempat kue bikinan sang istri.
"Senang banget Pa, aku sudah bisa naik sepeda." Shiza ikut mencomot kue itu. "Enak."
"Senang bisa naik sepeda atau senang sama yang ngajarin."
"Papa, apaan sih ?" Shiza mencomot satu lagi. "Senang naik sepeda lah."
"Papa lihat dia cukup baik meskipun gantengan papa."
"Candra memang baik kok."
🌷🌷🌷🌷🌷
Ryuga tengkurap di atas kasur. Pemuda itu sejak tadi mencari refrensi untuk mengungkapkan perasaan. Melihat gelagatnya seakan dia memang sungguh-sungguh dengan perasaannya. Entah kenapa segala sesuatunya harus sempurna untuk seorang Shiza.
"Kalau confess besok, di terima nggak ya?"
"Ck." Chio menatap lelah. "Sudah sepuluh kali kamu nanya itu loh Ryu. Gimana kita tahu jawabannya di mulai aja belum dari tadi kaya buaya aja di atas kasur." Omel si ketua osis.
"Ngapain pakai refrensi segala, kamu cuma main-main." Sahut Dariel masih kesal tentang itu. "Kasian Shiza gimana kalau dia punya perasaan sama kamu trus serius nanti dia sakit hati kalau tahu kamu deketin dia untuk taruhan aja.
"Tanggung sendiri." Ryuga tidak ambil pusing. "Di tengah lapangan atau cuman berdua ya." Sambungnya lagi. "Nanti kalau berdua, Shiza bisa nolak aku dan nggak malu juga tapi aku kalah. Masa seorang Ryuga nggak bisa menaklukan Shiza. Kalau di lapangan dia nggak punya kesempatan nolak pasti dia nggak mau jadi bulan-bulanan pemuja aku 'kan? Jadi solusinya dia harus nerima aku dong. Kalau nggak mau di cibir sok cantik nolak aku. Aish ! Kenapa tuh cewek bisa cantik banget sih."
Dariel dan Chio saling tatap seolah bicara 'mungkin dia sudah gila' Mereka mengabaikan urusan hati sahabatnya itu.
🌷🌷🌷🌷
Candra selesai membersihkan dirinya lalu bergabung di ruang tengah. Ia meletak satu toples kue buatan Mama Adina. Dari aromanya sudah menggugah selera.
"Kue." Narin berbinar melihat kue seperi bolu itu.
"Iya di kasih mama nya Shiza. Katanya toplesnya nggak usah di kembalikan disana banyak." Candra mengambil satu dan memakannya. Kue itu pecah di lidah dan enak.
"Enak banget bang, kak Shiza bisa bikin kue juga?"
"Abang nggak tahu." Candra membersihkan remahan kue di bibir sang adik.
"Kamu ketemu sama orang tuanya Shiza?" Ibu Niken juga menikmati kue itu.
" Iya ketemu semua nya baik bu, rumahnya besar mobilnya juga ada berapa biji." Cerita Candra. "Dia benar teman aku Bu, tadi aku lihat foto Shiza waktu kecil terus papanya aku juga masih ingat yang ngasih aku uang pas mereka mau pulang."
"Syukurlah, kalian bisa ketemu lagi. Semoga Shiza nya juga ingat sama kamu." Ibu Niken ikut senang.
"Iya Bu."
"Jangan terlalu dekat sama gadis itu, Candra." Keadaan tiba-tiba hening setelah pak Umar bersuara. Atensi teralihkan pada pria paruh baya itu. "Mereka pasti orang kaya jangan sampai kita dapat omongan yang nggak baik. Berteman di sekolah saja."