Deskripsi Novel: "Bayang di Balik Jejak"
Di kota kecil Rivermoor yang diselimuti kabut, sebuah rumah tua bernama Rumah Holloway menyimpan rahasia kelam yang tidak pernah terungkap. Sejak pembunuhan brutal bertahun-tahun lalu, rumah itu menjadi simbol ketakutan dan misteri. Ketika Detektif Elena Marsh, yang penuh ambisi dan bayangan masa lalu, ditugaskan untuk menyelidiki kembali kasus tersebut, dia segera menyadari bahwa ini bukan sekadar pembunuhan biasa.
Jejak-jejak misterius membawanya ke dalam jaringan ritual gelap dan pembunuhan berantai yang melibatkan seluruh kota. Setiap langkah yang diambilnya memperdalam keterlibatannya dengan sesuatu yang lebih jahat daripada yang pernah ia bayangkan. Namun, ancaman terbesar justru datang dari bayang-bayang yang tak kasatmata—dan nama Elena ada di daftar korban berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menghadapi Kegelapan
Langkah mereka semakin berat saat dunia sekitar semakin meresap ke dalam kegelapan yang semakin pekat. Saat Elena dan Liam melangkah lebih jauh, suara langkah mereka bergema di ruang kosong, seolah mengingatkan mereka bahwa tidak ada tempat untuk melarikan diri.
Elena menggenggam pedangnya lebih erat, merasa setiap serat otot tubuhnya menegang. Udara di sekitarnya semakin dingin, membuat napasnya terlihat seperti kabut. Liam berjalan di sampingnya, sorot matanya tegas meskipun raut wajahnya memperlihatkan kecemasan yang sulit disembunyikan. Mereka tahu bahwa jalan di depan mereka tidak akan mudah, tetapi mundur bukan lagi sebuah pilihan.
“Tetap fokus,” bisik Liam, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan yang mencekam.
Elena mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia merasakan sesuatu yang ganjil di sekitar mereka, seolah ada mata tak kasatmata yang mengawasi setiap gerak-geriknya. Tiba-tiba, dari kejauhan terdengar suara langkah berat yang mendekat. Gemuruh itu terasa seperti guntur yang semakin mendekat.
“Siapkan dirimu,” Liam memperingatkan.
Dari balik kegelapan, sosok-sosok tinggi dan berwajah bengis muncul, membawa senjata yang tampak terbuat dari tulang dan logam berkarat. Kulit mereka abu-abu pucat, mata mereka kosong, seperti tidak ada jiwa yang menghidupi tubuh mereka.
“Mereka bukan manusia,” gumam Elena, merasa bulu kuduknya meremang.
Liam mengangguk. “Mungkin mereka penjaga dunia ini. Kita harus melewati mereka.”
Tanpa aba-aba, makhluk-makhluk itu menyerang dengan kecepatan yang mengerikan. Elena mengayunkan pedangnya, menangkis serangan pertama dengan kekuatan penuh. Dentingan logam bertemu logam memenuhi ruangan, menciptakan gema yang berputar-putar di udara.
Pertarungan berlangsung sengit. Elena bergerak lincah, menghindari serangan demi serangan dengan gesit. Liam, di sisi lain, menggunakan pedang bercahayanya untuk melumpuhkan makhluk-makhluk itu satu per satu. Namun, setiap kali satu makhluk jatuh, dua makhluk lain muncul menggantikannya.
“Kita tidak bisa terus seperti ini!” teriak Liam di tengah hiruk-pikuk. “Mereka tidak ada habisnya!”
Elena melirik sekeliling, mencoba mencari jalan keluar. Matanya tertuju pada sebuah lengkungan besar di sisi ruangan, yang tampaknya mengarah ke lorong lain. “Ikuti aku!”
Mereka berlari menuju lengkungan itu, menembus barisan makhluk dengan segala daya upaya. Elena memimpin, menebas apa pun yang menghalangi jalannya, sementara Liam menjaga bagian belakang.
Begitu mereka melewati lengkungan, pintu besar di belakang mereka tertutup dengan suara dentuman keras, mengurung makhluk-makhluk itu di sisi lain. Elena terengah-engah, menempelkan punggungnya ke dinding, mencoba mengatur napas.
“Kita berhasil... untuk saat ini,” kata Liam, terduduk di lantai, menggenggam lututnya.
Namun, tidak ada waktu untuk beristirahat. Dari ujung lorong yang gelap, sebuah cahaya merah samar muncul, berkedip-kedip seperti nyala api yang tersapu angin. Suara langkah kaki yang berat kembali terdengar, namun kali ini disertai dengan suara-suara aneh yang tidak bisa diidentifikasi.
Elena dan Liam saling pandang. Mereka tahu bahwa tantangan berikutnya sudah menunggu.
“Siap?” tanya Elena, mencoba memadamkan ketakutan yang merayap di hatinya.
Liam mengangguk tegas. “Tidak ada jalan lain.”
Mereka melangkah ke arah cahaya itu, semakin dalam ke kegelapan yang seakan tidak berujung.
---
Lorong itu semakin menyempit, dinding-dindingnya dipenuhi ukiran aneh yang tampak seperti simbol-simbol kuno. Setiap simbol bersinar lemah, memberikan cahaya redup yang cukup untuk menerangi jalan mereka. Elena merasakan hawa dingin menusuk tulang, seolah-olah lorong itu sendiri mencoba menahan mereka dari maju lebih jauh.
“Liam, lihat ini,” bisik Elena, menunjuk salah satu simbol yang paling terang. “Aku pernah melihat simbol ini di mimpi-mimpiku.”
Liam memeriksa simbol itu dengan saksama. “Ini bukan sembarang ukiran. Sepertinya ini semacam petunjuk atau peringatan.”
Tiba-tiba, simbol itu mulai bersinar lebih terang, dan suara gemuruh terdengar dari lantai di bawah mereka. Tanah bergetar hebat, membuat mereka kehilangan keseimbangan. Dinding di depan mereka terbuka perlahan, memperlihatkan sebuah ruangan besar yang dipenuhi dengan ribuan lilin yang menyala. Di tengah ruangan itu, berdiri sebuah patung raksasa yang memegang pedang dengan ujung yang menancap ke tanah.
“Elena...” suara Liam bergetar. “Itu pedang yang sama dengan yang kau bawa.”
Elena menatap patung itu dengan rasa tidak percaya. “Apa artinya ini?”
Dari balik bayangan patung, seorang wanita muncul. Wajahnya pucat, rambutnya panjang terurai, dan matanya memancarkan cahaya merah. Senyumnya lebar, namun bukan senyum ramah.
“Selamat datang, Elena,” katanya dengan suara yang menggetarkan ruangan. “Sudah lama aku menunggumu.”