"Aku memang lebih muda darimu, Elea," bisik Darren dengan suara rendah, nyaris berdesir di telinganya. Napas hangatnya menggelitik kulit Elea, membuat tubuhnya tanpa sadar bergetar. "Tapi, aku tetaplah seorang pria normal," lanjutnya, suaranya penuh keyakinan, meninggalkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
***
Darren Alaric Everleigh, pewaris tunggal sebuah perusahaan besar, memutuskan untuk menjalani kehidupan yang berbeda. Menyamar sebagai karyawan biasa, ia masuk ke perusahaan milik keluarganya tanpa seorang pun tahu siapa dirinya sebenarnya. Namun, hidupnya berubah saat ia ditempatkan sebagai asisten Elea Victoria Whitmore.
Elea adalah seorang wanita pekerja keras yang diam-diam menyimpan mimpi besar. Namun, mimpi itu selalu dihancurkan oleh suaminya, Adrian, seorang pria yang tidak pernah mendukungnya. Di tengah tekanan pekerjaan dan pernikahan yang dingin, Elea menemukan kenyamanan dalam kehadiran Darren—seorang asisten muda yang penuh perhatian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beneath the Quiet Storm
Langit London malam itu diselimuti awan kelabu. Jalan-jalan berlapis batu yang membentang di sekitar restoran barbeque mulai sepi, hanya sesekali dilalui oleh pejalan kaki yang berselimut mantel tebal. Suara kendaraan terdengar sayup dari kejauhan, menciptakan suasana kota besar yang terasa dingin dan lengang.
Di dalam restoran yang mulai kosong, hanya tersisa beberapa pelayan yang sibuk merapikan meja dan segelintir tamu yang masih berbincang santai. Elea duduk di dekat jendela, dengan ekspresi cemas yang tak bisa ia sembunyikan. Ia mengetukkan ujung jarinya ke meja dengan ritme gelisah. Ponselnya tergeletak di atas meja, layar menyala menampilkan pesan terakhir yang ia kirimkan ke Adrian—pesan yang tetap belum mendapatkan balasan.
Darren, yang sejak tadi memperhatikan Elea dengan seksama dari meja lain, akhirnya bangkit dan berjalan mendekatinya. Ia tahu wanita itu sedang kesal. Darren mengenalnya cukup baik untuk memahami bahwa ketukan jari Elea adalah tanda bahwa sesuatu tidak berjalan sesuai harapannya. Dengan gaya santainya, Darren bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri Elea.
Darren menyandarkan tubuhnya santai di tepi meja Elea, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku mantel hitam panjangnya. "Ayo, aku antar pulang," katanya dengan nada ringan, seolah menawarkan hal kecil.
Elea mengangkat wajahnya, menatap Darren dengan alis terangkat. "Tidak perlu. Adrian akan menjemputku," jawabnya datar.
Darren menyeringai tipis, tak percaya. "Benarkah?" Ia melirik ponsel Elea yang kosong dari notifikasi. "Kelihatannya dia sangat telat."
"Ya, dia sedang dalam perjalanan," Elea berkata dengan suara tegas, meskipun ia tahu kebohongannya tidak akan lolos dari mata tajam Darren.
Darren menyandarkan tangannya di sandaran kursi Elea, mendekat sedikit. “Kau yakin?” tanyanya lagi, suaranya rendah tapi tajam, seolah menembus lapisan kebohongan kecil yang coba disembunyikan Elea.
"Kau cerewet sekali, Darren," potong Elea ketika Darren hendak menjawab lagi. "Kenapa kau masih di sini? Bukankah kau seharusnya mengantar Lisa pulang?" mencoba mengalihkan pembicaraan.
Darren tertawa pelan, nada suaranya berubah menjadi menggoda. "Aku tidak akan melakukannya jika itu membuatmu cemburu dan merasa tidak nyaman."
Elea mendengus, lalu memutar matanya. "Kau tahu, Darren, mempermainkan perasaan seorang gadis itu tidak baik," katanya memperingatkan.
“Dan kau tahu, Eleya,” balas Darren dengan nada meledek, sengaja memanjangkan nama panggilannya, “membiarkan seorang wanita sepertimu menunggu di malam dingin seperti ini sendirian juga tidak baik.”
Elea menghela napas, mencoba menahan senyum kecil yang nyaris muncul di sudut bibirnya. Ia tahu Darren suka menggodanya, tapi entah kenapa, malam ini ia tidak merasa terlalu terganggu. Mungkin karena dingin yang menusuk membuatnya sedikit melunak.
“Aku bisa mengantarmu pulang kalau kau tidak keberatan,” Darren menawarkan lagi. Kali ini suaranya terdengar lebih serius, meski senyum itu tetap bertengger di wajahnya.
Elea menggeleng. “Aku bisa pulang sendiri. Aku akan memesan taksi,” katanya. Tapi sebelum Darren sempat merespons, ia menambahkan dengan senyum sinis, “Ini sudah larut, anak-anak tidak boleh pulang terlalu malam, kau tahu,” ledek Elea, mencoba membalikkan keadaan.
Darren tertawa, suaranya rendah dan menenangkan. "Jadi kau masih menganggapku anak kecil, ya?" tanyanya, meskipun ia tahu jawabannya. Ia melipat tangannya di dada, menatap Elea dengan pandangan yang sulit diartikan. Ada campuran antara keisengan, kesal, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang selama ini ia sembunyikan di balik senyumnya.
Elea tersenyum tipis, tidak menjawab.
Darren menatapnya serius, dan dalam keheningan itu, ia menemukan dirinya tidak ingin pergi tanpa memastikan Elea aman. "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan sebentar," usulnya tiba-tiba, sambil menunjuk ke arah jalan yang berkelok di luar restoran.
Elea memandangnya, bingung. "Berjalan-jalan? Sudah hampir tengah malam, Darren."
"Justru itu," balas Darren dengan tatapan penuh keyakinan. "London terlihat lebih indah di malam hari. Setelah itu, aku akan membuktikan padamu kalau aku bukan anak kecil, Eleya." kata Darren sambil menyeringai.
***
Elea melirik jam tangannya lagi, wajahnya menyiratkan rasa cemas yang tak bisa ia sembunyikan. Darren, yang berjalan di sampingnya, memperhatikan gerak-geriknya dengan saksama.
"Sudah lebih dari satu jam, Elea," Darren membuka suara, nadanya datar namun menyiratkan kekhawatiran. "Aku bisa saja mengantarmu pulang. Kau tahu itu, kan?"
Elea mendesah pelan, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Adrian pasti datang. Dia mungkin sibuk, itu saja."
Namun, sebelum Darren sempat membalas, sebuah mobil Audi hitam berhenti mendadak di depan mereka. Lampu depannya menyinari trotoar, memaksa keduanya untuk sedikit menyipitkan mata.
Adrian keluar dari mobil, wajahnya tidak menampilkan rasa khawatir seperti yang Elea harapkan. Sebaliknya, ia tampak kesal, dengan raut wajah yang sedikit masam. Pakaian kerjanya yang rapi tampak tanpa cela, tetapi ada aura dingin yang terpancar darinya.
"Elea," sapanya singkat, nada suaranya datar. Tidak ada permintaan maaf, tidak ada penjelasan, hanya panggilan singkat.
"Adrian," Elea menjawab, suaranya terdengar lega bercampur dengan ketegangan.
Darren berdiri diam, memperhatikan pria yang baru tiba itu dengan penuh perhatian. Sebagai calon pewaris perusahaan, Darren terbiasa membaca orang, dan dari cara Adrian berbicara serta ekspresinya, ia bisa langsung menilai ada sesuatu yang tidak beres.
"Senang akhirnya kau datang," kata Darren sambil mencoba menyapa dengan ramah. Ia mengulurkan tangan, tetapi Adrian hanya menatapnya dingin tanpa balasan.
"Siapa kau?" tanya Adrian tajam, tanpa sedikit pun mencoba menyembunyikan ketidaksukaannya.
"Darren," jawab Darren, tetap mempertahankan sikap santai. "Rekan kerja Elea."
Adrian hanya mengangguk kecil, matanya beralih ke Elea yang berdiri di samping Darren. "Kenapa kau bisa menunggu sedikit lebih lama?"
Elea mengerutkan kening, merasa bingung sekaligus tersinggung. "Aku menunggumu di restoran sampai hampir semua orang pulang," jawabnya, mencoba tetap tenang meskipun nada suaranya sedikit bergetar. "Kau tidak membalas pesanku."
Adrian mendengus pelan, seolah merasa Elea yang harus disalahkan. "Aku ada rapat penting."
"Rapat penting? Larut malam seperti ini?" Darren menyelipkan komentar ringan, tetapi nadanya mengandung sindiran halus.
Darren merasakan panas naik ke wajahnya. Ia tahu ia tidak punya hak untuk menantang Adrian secara langsung—bagaimanapun, pria itu adalah suami Elea. Namun, melihat bagaimana Adrian memperlakukan Elea, seolah-olah ia hanyalah barang yang bisa diatur semaunya, membuat Darren ingin merobohkan pria itu di tempat.
Adrian menatap Darren dengan tajam, seolah memperingatkan untuk tidak ikut campur. Namun, Darren tidak gentar. Matanya tetap tertuju pada Adrian, membaca setiap gerakan kecil pria itu.
"Baiklah, aku sudah di sini sekarang. Ayo pulang," kata Adrian akhirnya, dengan nada yang lebih seperti perintah daripada ajakan.
Elea tampak ragu sesaat, tetapi ia tahu ini bukan saatnya untuk berdebat. Ia melirik Darren sekilas, seolah meminta maaf atas situasi yang canggung ini.
"Aku pulang dulu," katanya pelan. "Terima kasih sudah menemaniku, Darren."
Darren mengangguk, meskipun dalam hati ia merasa enggan melepaskan Elea pergi bersama pria yang memperlakukannya dengan dingin seperti itu. "Hati-hati di jalan," katanya, dengan nada yang lebih berat dari biasanya.
Ketika Elea melangkah menuju pintu, Darren mengikuti mereka dengan tatapan intens. Ia melihat bagaimana Adrian berjalan mendahului Elea tanpa peduli, meninggalkannya untuk membuka pintu sendiri dan masuk ke mobil yang terparkir di luar.
Ia menghela napas panjang, mencoba meredakan gejolak emosinya. Dalam pikirannya, satu keputusan sudah bulat: tugasnya kali ini bukan hanya melindungi Elea dari Nadia, tetapi juga dari Adrian.
Saat mobil itu melaju pergi, Darren berdiri di trotoar, mengepalkan tangannya hingga buku-bukunya memutih. Ada kemarahan membara di dadanya, bukan hanya untuk Adrian, tetapi juga pada dirinya sendiri karena merasa tak berdaya. Dalam hatinya, Darren tahu satu hal dengan jelas: melindungi Elea tidak hanya berarti membersihkan namanya di kantor oleh fitnah yang dibuat Nadia. Itu juga berarti memastikan bahwa ia tidak lagi diperlakukan seperti ini oleh suaminya sendiri.
“Elea,” gumamnya pelan, suaranya penuh tekad, “Aku tidak akan membiarkan dia terus melukaimu.”
***