Naura, seorang gadis desa, terjerat cinta pria kaya raya—Bimo Raharja, saat memulai pekerjaan pertama di kota.
Pada suatu hari, ia harus menahan luka karena janji palsu akan dinikahi secara resmi harus kandas di tengah jalan, padahal ke-dua belah pihak keluarga saling mengetahui mereka telah terikat secara pernikahan agama.
"Mas Bimo, tolong jangan seperti ini ...." Naura berbicara dengan tangis tertahan.
"Aku menceraikan kamu, Naura. Maaf, tapi aku telah jatuh cinta pada wanita lain."
Baru saja dinikahi secara agama, tapi tak lama berselang Naura ditinggalkan. Masalah semakin besar ketika orang tua Naura tahu jika Bimo menghamili wanita lainnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lintang Lia Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Ikatan di Balik Rasa Takut
Pagi itu, matahari bersinar dengan lemah di balik awan mendung, seolah ikut merasakan kecemasan yang melingkupi Naura.
Di rumah sakit, langkah-langkahnya terdengar gemeretak di koridor dingin.
Operasi ayahnya baru saja selesai. Dokter mengatakan semuanya berjalan lancar, tapi jantung Naura belum bisa merasa lega.
Bantuan Bimo memang telah menyelamatkan ayahnya, tetapi pesan-pesan misterius itu masih menghantui pikirannya.
Benarkah ia telah menyerahkan dirinya ke dalam perangkap?
Saat ia duduk menunggu ayahnya dipindahkan ke ruang perawatan, ponselnya bergetar di sakunya. Sebuah pesan masuk dari Bimo.
[Aku tunggu di restoran tempat biasa. Jangan terlambat.]
Naura membaca pesan itu dengan napas tertahan.
Hari sebelumnya, ia telah berjanji untuk bertemu Bimo setelah operasi selesai. Tapi sekarang, perasaan ragu dan takut semakin menguasainya.
Pria yang memperingatkannya tidak pernah muncul lagi, tapi kata-katanya masih bergaung dalam benaknya.
"Dia menghancurkan mereka... Kamu mungkin target berikutnya."
Naura menatap layar ponselnya yang kini terasa seperti beban berat di tangannya.
Ia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, lalu bangkit dari kursi. Ia tidak punya pilihan.
***
Saat tiba di restoran, suasana di dalam terasa hangat, tapi tidak bagi Naura.
Ia merasakan hawa dingin menjalari tubuhnya saat matanya menangkap sosok Bimo duduk di pojok ruangan, mengenakan kemeja putih bersih dan jam tangan mahal yang berkilau di bawah lampu.
Senyumnya mengembang ketika melihat Naura mendekat.
“Naura, akhirnya kamu datang,” ucapnya dengan nada ramah sambil mempersilakan Naura duduk.
Naura duduk perlahan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang terasa begitu keras.
“Maaf, Mas. Aku baru bisa datang setelah memastikan Ayah dipindahkan ke ruang perawatan.”
Bimo mengangguk. “Tidak apa-apa. Bagaimana kondisi Ayahmu sekarang?”
“Dokter bilang operasinya berhasil, Mas. Terima kasih banyak untuk bantuannya. Kalau bukan karena Mas Bimo, aku tidak tahu apa yang akan terjadi.”
Senyum Bimo melebar. “Aku senang mendengarnya, Naura. Itu yang terpenting bagiku. Tapi sebenarnya, ada alasan lain kenapa aku ingin bertemu denganmu.”
Naura menegang. Matanya langsung menatap Bimo dengan hati-hati.
“Ada apa, Mas?”
Bimo menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Naura dengan tatapan serius yang membuat hawa di sekeliling mereka seolah membeku.
“Naura, aku ingin kamu menikah denganku.”
Kata-kata itu menghantam Naura seperti petir di siang bolong. Matanya membesar, bibirnya terbuka, tetapi tak ada satu kata pun yang keluar.
“M-mas Bimo... Apa maksud Mas?” Akhirnya Naura berhasil bersuara.
“Aku tahu ini mungkin mendadak, tapi aku serius, Naura. Aku ingin kita menikah.”
Naura hanya bisa terdiam. Tawaran itu terdengar seperti impian bagi seorang gadis desa sepertinya—seorang pria kaya raya menawarkan pernikahan.
Tetapi bayangan pria misterius yang memperingatkannya kembali menghantui.
“Dia bukan orang baik... Jangan sampai kamu jadi korban berikutnya.”
“Kenapa... kenapa Mas Bimo ingin menikah denganku?” tanyanya, mencoba mencari celah di balik senyum sempurna itu.
Bimo meraih tangan Naura di atas meja, membuatnya semakin tegang.
“Karena aku mencintaimu, Naura. Sejak pertama kali aku melihatmu di kantor, aku tahu kamu berbeda. Kamu sederhana, tulus, dan itu yang membuatku jatuh hati.”
Kata-kata itu seharusnya membuat Naura merasa tersanjung, tetapi ada sesuatu yang tidak beres. Hatinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Bimo.
“Mas Bimo, ini terlalu mendadak. Aku… aku butuh waktu untuk berpikir,” ujar Naura pelan, mencoba menghindari.
Bimo mengangguk perlahan. “Tentu saja. Aku tidak ingin memaksamu. Pikirkan baik-baik, tapi ingat, aku serius dengan ucapanku.”
Naura hanya mengangguk kecil. Setelah itu, pertemuan mereka berakhir dengan cepat.
Bimo kembali dengan mobil mewahnya, sementara Naura berjalan kaki ke halte bus dengan pikiran yang kalut.
Namun, saat ia sedang menunggu bus, ponselnya kembali berbunyi.
Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal lagi.
“Kamu sudah membuat langkah pertama ke dalam jebakannya. Berhenti sekarang, sebelum semuanya terlambat.”
Naura membekap mulutnya dengan tangan, mencoba menahan napas yang mulai memburu.
Pesan itu datang lagi, tepat setelah pertemuannya dengan Bimo. Ini bukan kebetulan.
Ia menatap ke arah jalan raya, di mana mobil Bimo menghilang di kejauhan. Hatinya berteriak penuh keraguan dan ketakutan.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Dan jika benar Bimo menyimpan sesuatu, apa yang harus ia lakukan?
Naura menyandarkan tubuhnya di tiang halte, menatap langit yang mulai gelap. Ia tahu, hidupnya tidak akan pernah sama lagi setelah hari ini.
*****
Malam itu, Naura duduk sendirian di kamar rumahnya, diterangi cahaya lampu redup yang menyisakan bayangan panjang di dinding.
Pesan-pesan misterius yang terus masuk ke ponselnya dan pernyataan cinta Bimo berputar dalam pikirannya, seperti pusaran angin yang tidak kunjung reda.
Di satu sisi, tawaran Bimo untuk menikahinya terasa seperti jalan keluar dari semua kesulitan yang melilit hidupnya.
Ayahnya selamat, dan jika ia menikah dengan Bimo, setidaknya ibunya tidak perlu lagi bekerja terlalu keras.
Tapi di sisi lain, bayangan pria misterius yang memperingatkannya terus mengusik hati.
"Apakah aku benar-benar bisa percaya pada Bimo? Atau justru ini akan menjadi kesalahan terbesar dalam hidupku?" pikirnya, menggenggam ponsel erat-erat.
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya.
"Naura, sudah malam. Jangan lupa istirahat, Nak," suara ibunya terdengar lembut dari luar.
Naura menghela napas, mencoba tersenyum meski hatinya kacau.
"Iya, Bu. Sebentar lagi."
Setelah memastikan ibunya kembali ke kamar, Naura membuka ponselnya dan melihat nama Bimo di daftar panggilannya.
Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol panggil.
“Halo, Mas Bimo?” suaranya terdengar ragu.
“Naura, akhirnya kamu menelepon,” suara Bimo terdengar hangat di ujung sana.
“Kamu sudah memikirkannya?”
Naura menggigit bibirnya. Ia tahu ini adalah keputusan besar.
“Mas, aku... aku setuju untuk menikah.”
Ada jeda di ujung telepon, lalu suara Bimo terdengar penuh semangat.
“Naura, kamu tidak tahu betapa bahagianya aku mendengar ini. Tapi ...” Bimo berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Aku ingin kita menikah secara agama dulu. Aku butuh waktu untuk mempersiapkan segalanya agar pernikahan resmi nanti sempurna.”
Naura terdiam. Hatinya berdesir aneh, tetapi ia menepis rasa ragu yang muncul.
"Mungkin ini hanya sementara," pikirnya, mencoba meyakinkan diri sendiri.
“Baik, Mas,” jawab Naura akhirnya. “Aku percaya pada Mas Bimo.”
Di seberang telepon, Bimo terdengar menghela napas lega.
“Terima kasih, Naura. Aku akan mengatur semuanya. Aku ingin kita segera memulai hidup baru bersama.”
Setelah panggilan itu berakhir, Naura duduk termenung di tepi ranjangnya. Setelahnya ia akhirnya berbicara kepada sang ibu, yang untungnya menyetujui.
Keputusannya sudah bulat, tetapi kenapa hatinya masih diliputi rasa takut?
***
Beberapa hari kemudian, upacara kecil itu berlangsung di rumah sakit tempat Ayah Naura dirawat.
Tidak banyak keluarga Naura yang hadir. Ketika ia bertanya, Bimo hanya berkata, “Aku ingin ini tetap sederhana untuk saat ini, Naura. Nanti, saat pernikahan resminya, keluargamu pasti akan kutemui semua.”
Naura hanya bisa mengangguk, meski hatinya kembali diselimuti keraguan.
Ia menatap ke cermin, melihat dirinya mengenakan kebaya putih sederhana. Wajahnya terlihat pucat, tetapi ia mencoba tersenyum.
"Semua ini demi Ayah dan Ibu. Demi masa depan yang lebih baik," pikirnya, meyakinkan diri.
Ketika Bimo menggenggam tangannya setelah ijab kabul, senyumnya terlihat begitu hangat dan tulus.
Tapi di balik senyuman itu, ada sesuatu yang Naura tidak tahu—sesuatu yang perlahan mulai mengintai kebahagiaannya.
Malam itu, setelah mereka kembali dari rumah sakit, Bimo mengantar Naura pulang ke rumah orang tuanya.
Sebelum Naura turun dari mobil, Bimo meraih tangannya lagi.
“Naura, kamu adalah istriku sekarang. Percayalah, aku akan selalu menjagamu.”
Naura tersenyum kecil, meski di dalam hatinya ia masih merasa ada sesuatu yang aneh.
“Terima kasih, Mas.”
Namun, saat ia melangkah keluar dari mobil, pandangannya tanpa sengaja menangkap sebuah bayangan di ujung jalan.
Seorang pria berdiri di sana, mengenakan jaket lusuh yang Naura kenali. Pria yang sebelumnya memperingatkannya.
Pria itu hanya menatap Naura dari kejauhan, lalu menggeleng pelan sebelum berbalik dan menghilang ke dalam kegelapan.
Naura tertegun. Jantungnya berdebar kencang. Apa artinya itu? Apakah ia baru saja membuat kesalahan besar?
(Bersambung)
si Naura pun bodoh juga Uda di ingatkan