NovelToon NovelToon
Berondong Itu Adik Tiriku

Berondong Itu Adik Tiriku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Ketos / One Night Stand / Nikah Kontrak / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: NinLugas

Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.

Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.

Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Salah Paham

Veltika masih memandangi kertas pertama yang tadi ia terima, pikirannya berputar dengan ribuan pertanyaan yang tak kunjung terjawab. Tiba-tiba, suara halus kembali terdengar dari bawah pintu. Ia menoleh dengan cepat, melihat selembar kertas baru yang menyelinap masuk.

Dengan napas tertahan, Veltika mengambil kertas itu. Jari-jarinya gemetar saat membuka lipatannya, membaca kalimat singkat yang tertera di sana:

"Kamu hanya salah paham, Vel."

— Denis.

Tatapan Veltika berubah tajam. Salah paham? Apakah yang ia lihat di restoran hanya ilusi? Apakah semua yang terjadi hanyalah perasaannya yang terlalu berlebihan? Tapi bagaimana dengan wanita yang menggandeng tangan Denis dengan begitu mesra?

Ia meremas kertas itu dengan kesal, lalu melemparkannya ke sudut ruangan. Hatinya berperang antara ingin percaya atau tetap mempertahankan kebencian yang perlahan tumbuh.

"Salah paham?" Veltika berbisik dengan nada getir. "Bagaimana mungkin aku salah paham saat aku melihatnya sendiri?"

Ia ingin membuka pintu dan menghadapi Denis, meminta penjelasan langsung. Tapi di sisi lain, ada rasa takut. Takut bahwa semua penjelasan Denis hanyalah alasan yang akan semakin menyakitinya. Veltika menarik selimut, membenamkan tubuhnya ke dalamnya, berusaha mengabaikan perasaan yang berkecamuk. Tapi kata-kata Denis terus berputar di kepalanya.

"Kamu hanya salah paham, Vel."

"Sedang apa, Den?" tanya Bu Sri sambil membawa nampan berisi Americano ice dan croissant yang diminta Veltika. Tatapan wanita paruh baya itu mengarah pada Denis yang berdiri di depan pintu kamar Veltika dengan raut wajah penuh kegelisahan.

Denis menoleh perlahan, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Nggak apa-apa, Bu. Hanya mencoba bicara dengan Kak Vel... tapi sepertinya dia masih tidak mau keluar."

Bu Sri mengangguk kecil, memahami situasi yang sedang terjadi. "Mungkin Nona Veltika butuh waktu, Den. Saya antar sarapannya dulu, ya."

Denis melangkah mundur, memberi ruang bagi Bu Sri untuk mengetuk pintu kamar Veltika. "Nona, ini saya Bu Sri. Saya bawakan sarapan yang tadi Nona pesan."

Tak ada jawaban dari dalam kamar. Hanya keheningan yang terasa berat. Bu Sri menatap Denis sejenak, lalu meletakkan nampan di meja kecil dekat pintu. "Saya tinggalkan di sini saja, Den. Mungkin nanti Nona akan mengambilnya."

Denis hanya mengangguk pelan, matanya masih tertuju pada pintu kamar yang tertutup rapat. Saat Bu Sri berlalu, Denis berbisik pada dirinya sendiri, "Berapa lama lagi kamu akan menghindariku, Vel?"

Denis berdiri di ujung koridor, sesekali melirik ke arah pintu kamar Veltika yang tetap tertutup rapat. Ia berharap suara langkah kaki Veltika akan terdengar, tanda bahwa wanita itu akhirnya keluar untuk mengambil sarapannya. Namun, hampir 20 menit berlalu, pintu itu tetap diam. Tak ada tanda-tanda pergerakan dari dalam.

Denis menghela napas berat, menyandarkan tubuhnya pada dinding. "Dia benar-benar menghindariku..." pikirnya, semburat rasa kecewa dan gelisah bercampur dalam hatinya.

Ia melangkah pelan mendekati pintu, memandangi nampan berisi Americano ice dan croissant yang masih utuh. Cairan es di dalam gelas mulai mencair, menandakan waktu terus berjalan, sementara Veltika tetap menolak keluar.

"Vel, sampai kapan kamu seperti ini?" Denis berbisik pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan.

Dengan ragu, Denis mengetuk pintu sekali lagi. "Vel, aku cuma ingin bicara... Tolong, beri aku waktu sebentar saja." Namun, lagi-lagi hanya sunyi yang menjawabnya.

Ia mendesah, melirik jam tangannya. "Baiklah," gumamnya. "Aku akan menunggu... selama yang kamu butuhkan." Denis berbalik, meninggalkan koridor itu dengan langkah berat, sementara pikirannya terus berputar mencari cara untuk memperbaiki segalanya.

Denis mendesah pelan, matanya kembali menatap pintu kamar Veltika yang tak kunjung terbuka. Kecewa dan putus asa mulai menguasai dirinya. Ia mengambil kertas yang tadi ia selipkan di bawah pintu, lalu membaliknya. Dengan pena yang gemetar, ia menuliskan beberapa kata:

"Sarapanmu ambillah. Aku pergi."

Tangannya ragu sejenak sebelum kembali menyelipkan kertas itu di bawah pintu. Ia berharap kata-kata itu bisa menggugah hati Veltika, meskipun ia tahu mungkin itu tak cukup.

Denis menatap pintu sekali lagi. "Aku tidak akan menyerah, Vel," gumamnya dalam hati, sebelum berbalik dan melangkah menjauh dari kamar itu.

Setelah beberapa langkah, ia berhenti sejenak, mendengar jika ada suara atau pergerakan dari dalam. Namun, hanya keheningan yang menyelimuti koridor. Dengan berat hati, Denis melangkah keluar rumah, meninggalkan perasaan yang masih menggantung di antara mereka.

Denis menghela napas panjang saat langkahnya keluar dari rumah. Udara pagi yang sejuk menyambutnya, tetapi hatinya masih terasa berat. Ia memutuskan untuk melepaskan semua pikirannya sejenak dengan berolahraga.

Halaman rumah Veltika yang luas, dipenuhi pohon-pohon rindang dan taman yang tertata rapi, menjadi tempat pelariannya. Dengan mengenakan kaos putih dan celana olahraga, Denis mulai jogging di jalur setapak yang mengelilingi taman. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena lelah fisik, melainkan beban pikiran yang tak kunjung reda.

Matanya sesekali melirik ke arah jendela kamar Veltika di lantai dua. Tirainya tertutup rapat, tidak ada tanda-tanda Veltika akan keluar. "Kenapa kamu begitu keras kepala, Vel?" gumam Denis sambil mempercepat langkahnya.

Ia mencoba fokus pada suara sepatunya yang menghantam jalur berkerikil, suara burung yang berkicau di atas pepohonan, dan angin pagi yang berembus lembut. Tapi bayangan Veltika terus menghantui pikirannya. Setiap sudut halaman ini mengingatkannya pada sosok wanita itu—dari senyumnya yang hangat hingga tatapan dingin yang terakhir ia lihat.

Setelah beberapa putaran, Denis berhenti di dekat air mancur besar di tengah taman. Ia menunduk, membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap bisa meredakan gejolak di dalam dirinya. "Aku tidak akan menyerah," ucapnya sekali lagi, kali ini lebih tegas.

Denis menatap ke arah rumah, menanti momen ketika Veltika akhirnya mau berbicara dengannya. Tapi untuk saat ini, ia hanya bisa menunggu.

Perlahan, Veltika membuka pintu kamarnya. Suara engsel yang berderit pelan mengiringi langkahnya. Ia melirik ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada siapa pun di lorong. Tak ada suara, hanya keheningan yang menemani pagi itu.

Di depan pintu, nampan sarapan yang dibawakan Bu Sri masih tergeletak rapi. Secangkir Americano ice yang mulai dingin dan croissant kesukaannya masih utuh. Tanpa berpikir panjang, Veltika meraih nampan itu dan membawanya masuk ke dalam kamar.

Begitu pintu tertutup, ia meletakkan nampan di meja kecil dekat tempat tidurnya. Matanya menatap kosong ke arah cangkir kopi, tetapi pikirannya melayang ke sosok Denis. "Kenapa aku masih memikirkannya?" gumamnya sambil menghela napas.

Ia menyesap sedikit Americano, rasa pahitnya menyentuh lidahnya, seolah mencerminkan hatinya saat ini. "Dia bukan urusanku lagi," bisiknya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan hatinya yang gelisah.

Veltika memutuskan untuk mengabaikan keberadaan Denis. Entah dia di taman, di luar rumah, atau bahkan pergi entah ke mana, Veltika tidak peduli. Baginya, fokus saat ini adalah dirinya sendiri, bukan lelaki yang terus membuat pikirannya kacau. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju sofa di dekat jendela, menikmati sarapan sambil memandangi langit pagi yang perlahan cerah.

Namun, di balik keteguhannya, hatinya masih dihantui tanya. Apakah aku benar-benar bisa mengabaikannya?

1
Widyasari Purtri
q mampir kak.setangkai mawar untukmu
NinLugas: terimakasih
total 1 replies
Nikodemus Yudho Sulistyo
Menarik. pasti lebih banyak intrik nantinya. lanjut...🙏🏻🙏🏻
NinLugas: iya ni mau lanjut nulis lg, semngt juga kamu ka
Nikodemus Yudho Sulistyo: tapi menarik kok. semangatt...
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!