Sang penjaga portal antar dunia yang dipilih oleh kekuatan sihir dari alam
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon faruq balatif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penguasaan Sihir
Di hari itu juga, mereka memberikan pengenalan ilmu sihir bagi Arya. Ketika Araya sudah berada di halaman pelatihan, di bawah bimbingan langsung dari Vincente. Sang kakek mengajarkan padanya berbagai bentuk sihir, mulai dari teknik pertahanan, serangan, hingga penguasaan energi dimensi yang dibutuhkan untuk membantunya membuka portal antar dimensi.
“Araya, sihir bukan hanya kekuatan yang harus kau kendalikan,” kata Vincente pada saat mengajarinya, saat Araya mencoba menciptakan lingkaran energi di udara. “Sihir adalah bagian dari dirimu. Kau harus memahami bahwa itu mengalir di darahmu, bersatu dengan pikiran dan jiwamu.”
Araya, yang tadinya merasa canggung, mulai merasakan adanya perubahan dalam dirinya. Dia belajar untuk merasakan energi dalam tubuhnya, mengarahkan kekuatannya dengan pikiran yang tenang dan hati yang teguh. Sedikit demi sedikit, sihir itu seolah bisa ia lakukan walaupun masi sulit.
Sementara itu, Una yang masih harus menggunakan tongkat karena luka di kakinya, mendapatkan pengotan khusus. Penyembuh kerajaan menggunakan sihir pengobatan yang mendalam, menyalurkan energi penyembuhan ke seluruh tubuh Una dan mempercepat pemulihan lukanya. Dengan rasa nyeri yang semakin berkurang, Una mulai merasa kakinya semakin kuat. Dia tidak lagi merasa terbebani dan bisa berdiri tanpa bantuan tongkat.
Di samping itu, Una dan Fran juga diberi hadiah istimewa oleh salah satu anggota keluarga kerajaan, senjata sihir khusus yang hanya diberikan kepada mereka yang dipercaya untuk melindungi garis keturunan Ve dan menghadapi ancaman besar. Fran menerima sebuah pedang pendek berukir dengan bilah yang bisa menyala ketika digunakan, yang mampu memancarkan sihir perlindungan bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya. Sementara itu, Una menerima busur sihir yang memiliki anak panah otomatis, setiap kali anak panah ditembakkan, ia akan melepaskan energi yang bisa melumpuhkan lawan, bahkan dari jarak yang sangat jauh. Mereka hanya terdiam, tak bisa berkata-kata dengan benda sihir yang mereka terima.
Malam itu juga, Vincente mengumpulkan Araya, dan para pemimpin dari berbagai klan aliansi termasuk aliansi besar yaitu Murar dan Flo, untuk memperkenalkan Araya, menjelaskan yang terjadi dan juga merumuskan strategi menghadapi Evlin dan pasukan roh jahat yang telah dikumpulkannya. Meja besar di balai rapat penuh dengan peta-peta wilayah, diagram pergerakan musuh, dan catatan-catatan tentang kekuatan pasukan klan serta kemampuan sihir yang bisa dimanfaatkan dalam pertempuran.
Vincente menjelaskan, “Kita tahu bahwa Evlin sedang mempersiapkan ritual untuk membuka portal dimensi permanen, syukurnya araya berhasil kabur. Namun, Evlin berhasil membawa roh jahat dalam jumlah besar dan siap menyerang kapan pun mereka mau. Jika itu terjadi, seluruh dunia akan berada dalam bahaya. Karena itu, kita harus bertindak cepat.”
Seorang pemimpin klan Murar, yaitu Murais yang merupakan anak dari pemimpin sebelumnya Murarian, yang tewas saat perang besar angkat bicara, “Jika kita ingin menghentikannya kita harus menyerang langsung ke tempat persembunyian Evlin. Namun, kita tak tahu dimana keberadaan persembunyian Evlin.” kemudian lanjut bertanya kepada Araya, "Apakah kau tahu dimana Evlin berada?".
Araya berdiri sambil menutup matanya perlahan, mencoba merasakan keberadaan Evlin. Dia belum sepenuhnya memahami kekuatan sihir, tubuhnya gemetar, takut melihat semua mata yang tertuju padanya. "Aku tidak tahu" jawab Araya singkat.
Vincente dan para pemimpin aliansi berkesimpulan bahwa yang bisa mereka lakukan hanyalah menunggu Evlin menyerang terlebih dahulu. Dan mereka juga berfokus pada Vaneca yang sedang menghadapi perang besar. Salah satu dari mereka, seorang prajurit yang berpengalaman, menyarankan, “Kalau begitu, kita harus bertindak sekarang. Waktu semakin mendesak. Jika Vaneca masih bertempur, kita tidak boleh menunggu lebih lama.”
Vincente mendengarkan semua masukan dengan seksama, dan akhirnya berkata, “Baik. Kita akan bergerak dengan rencana ini. Araya, kau harus mencoba membuka portal itu nak, mereka tidak bisa menunggu lebih lama lagi." Araya hanya tertunduk sembari berkata, "aku akan mencobanya."
Kemudian Vincente membagi semua kelompok untuk berada dalam posisinya masing-masing, mereka bersiap untuk masuk kedalam dimensi pertengahan. Vincente meminta Murais membawa pasukan bersama Araya, kelompok yang lain yaitu Fergo akan menjaga portal dan Vincente berjaga di gerbang mengantisipasi jika Evlin menyerang.
Mereka menyiapkan seribu pasukan yang akan mereka bawa, bersiap dengan Araya di tengah-tengah mereka. Una dan juga Fran yang tak tahu harus berbuat apa, mencoba mendekati Araya dan berusaha ikut dengannya, para penjaga berusaha menahan mereka, namun Araya yang melihatnya memohon pada kakeknya agar Una dan Fran ikut dengannya kedalam dimensi itu.
Vincente melihat kearah nenek Jio dan sebuah gerakan mengangguk dari nenek Jio seolah menandakan bahwa mereka tak akan merepotkan. Akhirnya Vincente mengizinkan Una dan Fran untuk ikut bersama Araya.
Araya dengan segala rasa takutnya karena tak mampu mengontrol kekuatan hanya bisa pasrah, mencoba untuk melakukan sihir pembuka portal yang sebenarnya ia sendiri tak mengerti bagai mana melakukannya.
Araya berdiri dengan mata terpejam, mencoba merasakan energi yang ada. Tubuhnya gemetar, takut melihat semua mata yang tertuju padanya. Namun dia tahu bahwa ada sesuatu dalam dirinya, sesuatu yang berasal dari garis keturunannya. Dia mengingat kata-kata Vincente tentang sihir yang mengalir dalam darahnya, dan meski belum menguasai sepenuhnya, dia merasakan keberadaan energi yang berdenyut dalam tubuhnya.
“Semua orang selalu mengatakan bahwa aku punya kekuatan yang berbeda,” gumam Araya dalam hati, menggenggam kalung pemberian ibunya yang tergantung di lehernya. “Kalau saja aku bisa merasakannya dengan lebih jelas…” terbersit rasa khawatir akan Vaneca dan yang lainnya, terlebih kepada Muya.
Tiba-tiba, sebuah energi kuat terasa mengalir dari kalung itu, menyebar ke seluruh tubuh Araya seperti riak di permukaan air. Araya merasakan getaran itu, seolah kekuatan yang tersimpan dalam kalung ibunya menyatu dengannya. Dalam penglihatannya, muncul bayangan samar-samar ibunya yang menggenggam tangannya, membatunya melakukan sihir untuk membuka portal tersebut.
Sementara jantungnya berdebar kencang, penuh dengan campuran rasa takut dan tekad. Energi yang berasal dari kalung itu semakin kuat, dan tiba-tiba, sebuah cahaya terang keluar dari kalung, membentuk lingkaran di hadapannya.
Lingkaran itu memancarkan sinar yang begitu intens hingga membuat Una dan Fran mundur beberapa langkah. Mereka menyaksikan lingkaran itu membesar dan membentuk pintu masuk ke dimensi pertengahan, jalan langsung menuju tempat Vaneca dan pasukan Giory tengah bertempur. Seolah-olah sihir dalam kalung itu membuka portal dengan kekuatan misterius yang tak pernah Araya bayangkan sebelumnya.
Una dan Fran berdiri di sisi Araya, menatap heran pada lingkaran sihir yang berputar di depan mereka. Cahaya berpendar biru keperakan, berpijar dari lambang-lambang asing yang entah bagaimana terasa hidup di udara. Mereka berdua masih kebingungan menghadapi apa yang baru saja mereka lihat. Sihir, energi dimensi, makhluk kegelapan. Sebelumnya, dunia mereka terbatas pada hal-hal sederhana. Namun kini, ada sebuah petualangan baru yang menantang batas pemahaman mereka.
Fran menoleh ke arah Una, wajahnya tampak bersemangat, namun sedikit khawatir. “Una, kau pernah membayangkan akan berada di tempat seperti ini?”
Una menggelengkan kepala, matanya masih terpaku pada lingkaran sihir yang perlahan memantulkan bayangan dari dimensi pertengahan. “Tidak pernah, Fran. Semua ini terasa seperti mimpi… atau mungkin mimpi buruk. Tapi, entah bagaimana, aku senang kita ada di sini. Meski… aku masih bingung harus percaya pada semua ini atau tidak.”
Fran yang sedikit gugup, tapi kemudian tersenyum. “Kurasa kita memang terjebak dalam petualangan yang lebih besar dari yang pernah kita bayangkan. Tapi selama kita bersama Araya, mungkin semuanya akan baik-baik saja.”
Vincente dan semua terkejut melihat kekuatan luar biasa dari kalung itu, akhirnya memberi perintah kepada seluruh pasukan aliansi. “Semua pasukan, bersiap! Kalian akan masuk ke dalam dimensi pertengahan dan membantu Vaneca serta kelompok Giory melawan roh-roh kegelapan.”
Una dan Fran berdiri di samping Araya, menggenggam senjata sihir mereka dengan teguh. Meskipun perasaan bingung masih menyelimuti hati mereka, semangat untuk membantu sahabat mereka dan mengalahkan pasukan kegelapan menguatkan mereka.
Ketika Araya, Una, Fran, dan ribuan pasukan aliansi yang dipimpin Murais melewati portal, mereka merasa seolah tersedot ke dalam kabut tebal. Dimensi pertengahan tampak suram, dengan udara yang dingin dan suasana gelap yang menyesakkan. Mereka segera mendengar suara dentuman senjata dan jeritan di kejauhan, suara pertempuran yang tiada henti.
Araya membawa mereka melalui kabut, mengikuti intuisi dan kekuatan yang mengalir dari kalungnya. Tak lama kemudian, muncul sebuah lubang besar di tengah-tengah medan pertempuran. Araya dan semua pasukan melompat keluar, dan dengan arahan Murais, semua prajurit langsung menerjang kumpulan makhluk kegelapan itu.
Semua orang yang melihat peristiwa itu kaget dengan yang mereka lihat, begitu banyak pasukan yang keluar dari lubang itu, disusul Araya dengan teriakannya.
“Vaneca!” panggil Araya dengan suara lantang, membuat Vaneca menoleh dan terkejut melihat kehadiran Araya dan pasukan aliansi yang menyertainya.
“Araya? Kau… berhasil datang?” tanya Vaneca dengan suara serak dan penuh kelegaan.
Araya mengangguk, sambil tersenyum kearah mereka, membuat semua pasukan Giory yang berperang berteriak merayakan kedatangan bantuan ini. Dom yang sudah kelelahan langsung berdiri, tersenyum kearah Araya. Kemudian semua orang merasakan energi sihir mereka yang kembali pulih karena portal yang terbuka.