Ashana Keyra Zerrin dan Kafka Acacio Narendra adalah teman masa kecil, namun Ashana tiba-tiba tidak menepati janjinya untuk datang ke ulang tahun Kafka. Sejak saat itu Kafka memutuskan untuk melupakan Asha.
Kemana sebenarnya Asha? Bagaimana jika mereka bertemu kembali?
Asha, bukankah sudah kukatakan jangan kesini lagi. Kamu selalu bertindak sesuka hati tanpa memikirkan orang lain. Aku butuh privasi, tidak selamanya apa yang kamu mau harus dituruti.” Ucapakan Kafka membuat Asha bingung, pasalnya tujuannya kali ini ke Stanford benar-benar bukan sengaja menemui Kafka.
“Tapi kak, Asha ke sini bukan sengaja mau menemui kak Kafka. Asha ada urusan penting mau ke …” belum selesai Asha bicara namun Kafka sudah lebih dulu memotong.
“Asha, aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Walaupun untuk saat ini sebenarnya tidak ada kamu dalam rencanaku, semua terjadi begitu cepat tanpa aku bisa berkata tidak.” Asha semakin tidak mengerti dengan yang diucapkan Kafka.
“Maksud kak Kafka apa? Sha tidak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30. Hidup Baru Sebagai Key
Kafka akhirnya jujur pada Tiara kejadian tiga minggu lalu tentang bagaimana dia marah pada Asha karena menemuinya di Stanford. Tiara sangat marah pada Kafka, dia mengatakan bahwa Asha ke Stanford tidak semata ingin menemui Kafka. Tapi untuk melanjutkan pendidikannya dan Asha juga belum di beritahu perihal mereka berdua yang sudah menikah.
“Maaf ma, Kafka benar-benar tidak sengaja. Kafka sedang dalam kondisi emosi saat itu,” dia mengusak rambutnya dengan kasar, perkataan buruknya pada Asha hari itu berputar di kepalanya. Iya benar, dia telah menyakiti Asha yang tak lain sudah menjadi istrinya.
“Kamu harus minta maaf pada Asha dan keluarganya Kaf! Mama ke rumah bunda Maira nanti, selebihnya kamu yang harus berusaha sendiri,” Tiara tak kalah frustasinya dengan Kafka. Dia bergegas menuju ke rumah Maira untuk segera memberi penjelasan. Setidaknya bisa mengurangi rasa marah keluarga besannya.
Namun saat Tiara sampai di sana, Maira dan keluarganya tidak ada. Rumahnya tampak sepi dan yang ada hanya orang yang di percaya mengurus rumahnya. Mereka bilang Maira dan keluarganya sedang tidak ada di rumah dan mereka tidak tahu kemana perginya. Baik Maira, Rion maupun Cia tidak dapat Tiara hubungi. Sejak hari itu Tiara benar-benar kehilang jejak tentang keberadaan keluarga Asha, bahkan Keenan tak mendapatkan informasi apapun dari karyawan Malvin maupun Maira. Kafka di liputi rasa bersalahnya setelah hari-hari itu.
Dua minggu berlalu sejak Key sadar, dokter sudah mengijinkannya pulang. Kondisinya sudah membaik, tinggal pemulihan untuk cidera kepalanya dan cidera kakinya yang dulu kambuh namun tidak terlalu mengkhawatirkan. Rion dan Cia sudah pulang ke Jakarta bersama bi Ana dan pak Maman, untuk sementara mereka akan tinggal di apartemen sampai Maira pulang.
“Ashaaa … sorry, Key …Key …lu harus tahu kebodohan apa yang dilakukan Argan,” Amoora masuk dengan ekspresi mencebik sambil menarik telinga Argan dengan tangannya.
“Kenapa?” Key dan bundanya tertawa melihat kelakuan dua sahabat itu.
“Duduk dulu sayang,” Maira berpindah tempat duduk ke sofa membiarkan Amoora duduk di samping Key.
“Terimakasih bunda. Lu tahu gak Key? Dia salah input data spesialis yang kita ambil,” Argan hanya meringis kesakitan karena telinganya di jewer Amoora.
“Haah … maksudnya salah giman?” Key yang masih bingung dengan ucapan Amoora.
“Sorry Key, gue salah input. Amoora sama lu jadi masuk spesialis jantung anak, gue masuk anestesi. Gue kan panik denger lu kecelakaan, mana dia langsung serahin semua berkas ke gue. Gue jadi gak fokus kepikiran lu kemarin,” Argan tidak mengelak kalau dia memang salah, bahkan dia sendiri juga salah memasukkan jurusan yang ingin dia tekuni.
Key dan Amoora sama-sama menghela napas panjang, Maira yang mendengarkan mereka tersenyum.
“Bagaimana kalau diambil hikmahnya saja?” Maira membuka pembicaraan.
“Maksudnya bun?” Argan mendekat pada Maira, duduk di samping Maira seolah akan mendapatkan pembelaan dari bundanya Key.
“Bagaimana kalau jadinya di balik seperti ini. Allah yang memilihkan kalian jurusan yang saat ini akan kalian ambil, Key gagal masuk bedah jantung tapi mendapatkan ganti spesialis jantung anak tidak buruk. Begitu juga dengan Oora dan Argan, semuanya sudah diatur dengan indah dan kalian akan tahu nanti hikmah di balik semua kejadian ini. Kalau tidak hari ini mungkin lusa atau nanti,” mereka bertiga memikirkan perkataan Maira. Benar yang dikatakan bunda bahwa mereka tetap bisa melanjutkan spesialis meskipun dengan minat yang tidak sesuai dengan yang mereka inginkan.
“Emm … tidak buruk jadi spesialis jantung anak. Aku tidak perlu berjam-jam berdiri di meja operasi dengan cideraku yang bisa kambuh,” Key memandang dua sahabatnya dengan tatapan hangat.
“Ahli anestesi juga tidak buruk,” Argan dan Amoora terkekeh. Ada saja memang kerandoman mereka. Maira bersyukur Key punya dua sahabat yang luar biasa.
Dua sahabat itu pamit pulang setelah mengantar Key dan Maira pulang keapartemen. Maira menyiapkan makan malam seadanya, sebelum bi Ana pulang dia membeli beberapa bahan masak sederhana berjaga-jaga kalau Maira pulang dan ingin masak. Key menemani bundanya di dapur, dia hanya duduk karena masih pemulihan. Mereka berdua makan malam dengan tenang, setelah sekian lama Key akhirnya bisa menikmati masakan bundanya lagi.
Malam ini Key ingin tidur di temani bundanya, Maira sudah ada di kamar putrinya dengan membawa nampan berisi minum dan obat untuk Key.
“Bun, maaf. Key selalu membuat bunda khawatir, bahkan setelah ayah sudah tiada. Maaf bun,” Maira duduk di samping Key.
“Kakak tidak perlu minta maaf. Semua yang terjadi sudah menjadi takdir yang harus kita jalani, kakak hanya perlu menjadi lebih kuat. Ayah pernah bilang bukan? tanggung jawab Key akan menjadi lebih berat setelah hari ini,” Maira meraih tangan Key, mengusap tangan purinya dengan lembut kemudian mengusap air mata yang sudah lolos ke pipinya.
“Terimakasih bun. Bun, Key sudah tahu tentang kak Kafka yang sudah menjadi suami Key” Maira memang menantikan putrinya bercerita tentang apa yang terjadi di Stanford.
“Maafkan bunda dan ayah. Bunda tidak memberitahu kakak langsung, bunda dan mama Ze berencana memberitahumu setelah kamu selesai mengurus spesialis. Sepertinya bunda melupakan tentang Kafka,” Maira merasa bersalah pada Key.
“No … no … no bun, bunda tidak perlu meminta maaf. Semua sudah terjadi bun, Key tidak berharap apapun pada Kafka. Key sudah bilang padanya untuk tidak memaksakan diri, jika memang bukan Key yang dia mau. Dia bisa mengembalikan Key pada bunda,” Maira tak sanggup lagi menahan air matanya, di peluknya Key erat.
“Apapun yang jadi Keputusan kakak, bunda akan selalu di samping kakak. Bunda ingin kakak bahagia,” Key tersenyum dan memeluk bundanya. Dia tahu hari-harinya ke depan mungkin tidak mudah, Kafka bukan lagi jadi tujuannya.
Ashana yang dulu baginya sudah terkubur bersama puing-puing hatinya yang teluka sangat dalam. Kini dia akan menjalani hidup baru sebagai Keyra, mempersembahkan hidupnya untuk dunia baru yang akan di gelutinya sebagai spesialis jantung anak.
Beberapa tahun berlalu, Key bersama dua sahabatnya saat ini sudah menjadi dokter spesialis dalam bidang masing-masing. Mereka bertiga bekerja sebagai dokter SGH di Singapura di bawah asuhan dokter Andrew, salah satu tim dokter bedah jantung terbaik di sana. Key menjalani hari-harinya dengan kesibukan yang luar biasa, setiap hari berjumpa anak-anak dengan kasus penyakit jantung yang beragam. Dia memenuhi janjinya pada mendiang ayahnya, Key mendedikasikan dirinya sebagai dokter. Satu hal yang menjadikan dia egois, sampai hari ini dia tak pernah kembali ke Jakarta. Menurutnya tempat itu masih terlalu menyakitkan untuk dia memijakkan kembali kakinya, keluarganya yang sesekali datang ke Singapur untuk berkunjung.
Disisi lain Kafka juga berkembang menjadi salah satu dokter bedah jantung yang diakui di tempatnya sekarang bekerja. Saat ini dia menjadi salah satu dokter salah satu rumah sakit di Jakarta, sesekali dia masih mengunjungi rumah mertuanya. Sejak hari itu dia tidak pernah bisa tidur dengan baik, untuk ke dua kalinya dia kehilangan cinta masa kecilnya yang menghilang tanpa jejak.
Jika waktu bisa diulang, Kafka ingin kembali ke masa di mana hari itu dia membawa Asha ke cafe. Dia akan mengendalikan emosinya, tidak akan dia keluarkan kata-kata menyakitkan itu pada istrinya. Namun semua sudah terlanjur, dirinya saat ini bergelumang penyesalan berharap akan bertemu kembali dengan Asha. Apapun akan dia lakukan untuk mendapatkan maaf dari Asha.