Sepasang Suami Istri Alan dan Anna yang awal nya Harmonis seketika berubah menjadi tidak harmonis, karena mereka berdua berbeda komitmen, Alan yang sejak awal ingin memiliki anak tapi berbading terbalik dengan Anna yang ingin Fokus dulu di karir, sehingga ini menjadi titik awal kehancuran pernikahan mereka
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Ujung Kesabaran
Hari-hari berlalu dengan perlahan, masing-masing penuh ketegangan emosional yang tersembunyi di balik rutinitas. Anna dan Alan mencoba membangun kembali hubungan mereka, tapi keretakan yang pernah ada tidak bisa disembunyikan begitu saja. Meski Alan menunjukkan perubahan, ada momen-momen kecil yang membuat Anna ragu. Setiap langkah maju selalu terasa seperti berjalan di atas es yang rapuh.
Suatu sore, Alan mengajak Anna makan malam di rumah mereka, sesuatu yang sudah lama tak mereka lakukan bersama. Ia memasak steak dan menyiapkan anggur merah, sesuatu yang dulu sering mereka nikmati di awal pernikahan.
“Kamu ingat makan malam ini?” tanya Alan, mencoba memecah keheningan.
Anna tersenyum tipis, meski hatinya masih diselimuti keraguan. “Tentu saja. Kamu dulu selalu membanggakan steak buatanmu.”
Alan tertawa kecil. “Dan kamu selalu mengeluhkan sausnya.”
Percakapan ringan itu sejenak membuat suasana lebih santai, tapi Anna tetap merasa ada sesuatu yang hilang. Setelah selesai makan, Alan menatapnya dengan serius.
“Anna, aku ingin bertanya sesuatu,” katanya dengan nada hati-hati.
Anna meletakkan garpu dan pisau di tangannya. “Apa itu?”
“Kamu masih mencintaiku?”
Pertanyaan itu seperti pisau yang menusuk langsung ke hatinya. Anna terdiam lama sebelum menjawab, “Aku tidak tahu, Alan. Aku ingin mencintaimu seperti dulu, tapi rasa sakit itu masih ada.”
Alan mengangguk, menerima jawaban itu dengan berat hati. “Aku mengerti. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku masih mencintaimu. Aku tidak pernah berhenti mencintaimu, meskipun aku tahu aku telah menghancurkan kepercayaanmu.”
Hari-hari berikutnya, Alan semakin menunjukkan perubahan. Ia lebih sering pulang tepat waktu, membantu pekerjaan rumah, dan mencoba menghabiskan waktu bersama Anna. Tapi di sisi lain, Anna merasa semakin tertekan.
“Aku tidak tahu harus berbuat apa, Nita,” kata Anna kepada sahabatnya di sebuah kafe.
Nita, yang sudah mengetahui sebagian besar cerita Anna, menghela napas panjang. “Anna, kamu harus jujur pada dirimu sendiri. Apakah kamu benar-benar ingin memberikan dia kesempatan kedua?”
Anna menggigit bibirnya, matanya dipenuhi kebingungan. “Aku ingin percaya bahwa dia bisa berubah. Tapi setiap kali aku melihatnya, aku teringat semua yang telah dia lakukan. Luka itu terlalu dalam.”
Nita menggenggam tangan Anna dengan penuh kasih. “Kamu tidak harus memaksakan dirimu, Anna. Jika hubungan ini membuatmu lebih terluka daripada bahagia, mungkin ini saatnya untuk melepaskan.”
Sore itu, saat Anna pulang ke rumah, ia menemukan Alan sedang duduk di ruang tamu dengan secangkir kopi di tangannya. Ia terlihat gelisah, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.
“Anna, kita perlu bicara,” katanya saat Anna masuk.
Anna menaruh tasnya di meja. “Tentang apa?”
Alan berdiri, mendekatinya. “Tentang kita. Aku tahu ini tidak mudah bagimu, dan aku tidak ingin membuatmu merasa tertekan. Tapi aku ingin tahu, apakah masih ada harapan untuk kita?”
Anna menatap Alan dengan mata yang penuh emosi. “Aku tidak tahu, Alan. Aku ingin percaya bahwa kita bisa memperbaiki ini, tapi ada bagian dari diriku yang masih merasa takut.”
Alan menggenggam tangan Anna. “Aku mengerti, Anna. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tidak akan menyerah. Aku akan melakukan apa pun untuk membuatmu merasa aman dan dicintai.”
Anna menghela napas panjang. “Alan, aku butuh waktu. Aku butuh ruang untuk menyembuhkan diriku sendiri.”
Alan mengangguk, meski ada kekecewaan di matanya. “Aku akan memberimu waktu, Anna. Tapi tolong, jangan menyerah pada kita.”
Namun, seiring waktu, tekanan dalam hubungan mereka semakin terasa. Anna mulai merasa bahwa meskipun Alan telah berubah, rasa sakit yang ia rasakan tidak bisa hilang begitu saja.
Suatu malam, ketika mereka sedang duduk bersama di ruang tamu, Anna akhirnya melepaskan semua yang ia rasakan.
“Alan, aku tidak tahu apakah aku bisa melanjutkan ini,” katanya dengan suara bergetar.
Alan menatapnya dengan mata yang penuh kekhawatiran. “Apa maksudmu, Anna?”
“Aku merasa seperti terjebak dalam lingkaran yang tidak ada akhirnya. Aku ingin mempercayaimu, tapi setiap kali aku mencoba, kenangan itu kembali menghantuiku,” jawab Anna, air mata mengalir di pipinya.
Alan mendekatinya, mencoba menggenggam tangannya, tapi Anna menolaknya. “Aku butuh waktu untuk diriku sendiri, Alan. Aku butuh waktu untuk menemukan siapa diriku tanpa bayang-bayang hubungan kita.”
Alan terdiam, wajahnya menunjukkan rasa sakit yang mendalam. “Jadi, kamu ingin berpisah?”
Anna mengangguk pelan. “Aku pikir ini yang terbaik untuk kita berdua.”
Alan menggeleng, mencoba menahan air matanya. “Anna, aku mencintaimu. Aku tahu aku telah menyakitimu, tapi aku tidak bisa kehilanganmu.”
Anna berdiri, mencoba menenangkan dirinya. “Aku juga mencintaimu, Alan. Tapi cinta saja tidak cukup. Kita berdua perlu waktu untuk menyembuhkan diri kita sendiri.”
Hari berikutnya, Anna mulai mencari tempat tinggal baru. Ia tahu bahwa keputusan ini tidak akan mudah, tapi ia merasa ini adalah langkah yang perlu diambil untuk menyelamatkan dirinya sendiri.
Alan, di sisi lain, berjuang untuk menerima kenyataan. Ia mencoba berbicara dengan Anna, mencoba membujuknya untuk tetap tinggal, tapi Anna tetap teguh pada keputusannya.
“Alan, ini bukan tentang aku tidak mencintaimu,” kata Anna saat mereka berbicara di ruang tamu. “Ini tentang aku mencintai diriku sendiri cukup untuk mengetahui bahwa aku butuh waktu untuk menyembuhkan.”
Alan mengangguk dengan berat hati. “Aku mengerti, Anna. Aku hanya berharap suatu hari nanti, kita bisa menemukan jalan kembali satu sama lain.”
Anna tersenyum tipis, meski hatinya terasa hancur. “Aku juga berharap begitu, Alan.”
Ketika Anna akhirnya pergi, rumah mereka terasa kosong dan sunyi. Alan berusaha untuk tetap kuat, tapi setiap sudut rumah itu mengingatkannya pada Anna. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tapi ia bertekad untuk terus berusaha menjadi pria yang lebih baik, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk Anna.
Di sisi lain, Anna mulai membangun hidup barunya. Meski ada rasa sakit dan kerinduan, ia merasa lebih bebas. Ia tahu bahwa ini adalah langkah pertama untuk menemukan kembali dirinya sendiri, dan ia berharap bahwa suatu hari nanti, ia dan Alan bisa menemukan kebahagiaan, entah bersama atau tidak.