“Aku menghamilinya, Arini. Nuri hamil. Maaf aku selingkuh dengannya. Aku harus menikahinya, Rin. Aku minta kamu tanda tangani surat persetujuan ini.”
Bak tersambar petir di siang hari. Tubuh Arini menegang setelah mendengar pengakuan dari Heru, suaminya, kalau suaminya selingkuh, dan selingkuhannya sedang hamil. Terlebih selingkuhannya adalah sahabatnya.
"Oke, aku kabulkan!"
Dengan perasaan hancur Arini menandatangani surat persetujuan suaminya menikah lagi.
Selang dua hari suaminya menikahi Nuri. Arini dengan anggunnya datang ke pesta pernikahan Suaminya. Namun, ia tak sendiri. Ia bersama Raka, sahabatnya yang tak lain pemilik perusahaan di mana Suami Arini bekerja.
"Kenapa kamu datang ke sini dengan Pak Raka? Apa maksud dari semua ini?" tanya Heru.
"Masalah? Kamu saja bisa begini, kenapa aku tidak? Ingat kamu yang memulainya, Mas!" jawabnya dengan sinis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Enam Belas
Arini mengemudikan mobilnya untuk pulang, dia menangis sepanjang jalan menuju rumahnya. Entah kenapa dia ingat semua hal yang sudah ia lalui dengan Heru. Dari pertama mereka bertemu, sampai menikah, tentunya sampai mereka ada masalah dengan Nuri.
"Kmu jahat, Her!" pekik Arini.
Namun, Arini menyadari, tidak ada gunanya dia menangisi semua itu. Biar saja Haru pergi bersama Nuri, dirinya tidak mau menanggung sakit bila harus dimadu.
Arini membelokkan mobilnya ke rumah. Ia ingin menenangkan pikirannya. Arini tidak ingin memikirkan Heru lagi, tidak ingi ada Heru lagi di hidupnya.
Baru saja Arini duduk di tepi ranjang, mengembuskan napasnya dengan lega, terdengar orang berteriak kencang memanggil namanya.
"Arini, keluar kamu!" teriak Heru sambil menggedor pintu rumah Arini yang terkunci.
Arini yakin itu Heru. Ia menuruni anak tangga, dan membukakan pintu.
"Gak usah berisik!" sarkas Arini.
"Kamu jadi perempuan kasar banget sih, Rin! Lihat itu Nuri sampai harus di rawat di rumah sakit!" erang Heru dengan penuh amarah.
"Kasar sama pelakor sah-sah saja, kan?"
"Dia bukan pelakor! Aku cinta sama dia, Arin! Kau paham?! Aku cinta sama dia!"
Arini tertawa miris mendengar ucapan suaminya itu. Bisa-bisanya suaminya mengatakan mencintai perempuan lain di depannya dengan begitu lantang, dan tegas.
"Kalau mencintainya kenapa? Masih sama bukan dia seorang pelakor?" ucap Arini.
"Brengsek kamu ya?!"
Plak!!! Plak!!!
"Akhh!!"
Pekik Arini saat Heru menampar kedua pipinya bergantian, Heru juga menjambak rambut Arini dan mencengkeram rahang Arini dengan keras.
"Kamu perempuan tidak tahu diri! Kamu perempuan tidak tahu diuntung! Kamu ini mandul, Arini. Kamu harusnya terima, dan senang suamimu akan memiliki anak, meski dari perempuan lain! Kamu harusnya sadar diri atas kekuranganmu!" sarkas Heru, dengan tangan masih mencengkeram pipi Arini dan tangan satunya menjambak rambut Arini.
"Sakit, Her!!!" pekik Arini.
"Sakit? Mau tambah sakit? Kamu harus rasakan apa yang Nuri dan anakku rasakan, ini belum seberapa, Arini. Apa sakit?" Heru mencengkeram pipi dan menjambak rambut Arini semakin kencang.
"Lepas, Her!"
Brakkk!!!
Heru mendorong tubuh Arini ke lantai, tak hanya itu, dia langsung berjongkok di depan Arini yang kesakitan karena sikunya mengenai lantai dengan begitu keras. Kembali Heru memberikan tamparan pada Arini, juga sebuah bogeman di wajah Arini.
"Akhhh .....!!!" pekik Arini.
"Sakit, Her," rintih Arini.
"Ini baru satu, kamu melukai Nuri dua kali, terima ini! Bught!!!"
Heru kembali meninju wajah Arini, sontak Arini tersungkur di lantai. Tak hanya itu, mata Heru melihat sapu lantai, dan dia langsung mengambilnya. Ia gunakan batang sapu itu untuk memukul tubuh Arini dan perut Arini berkali-kali.
"Heru aku mohon hentikan! Ini sakit sekali!" pekik Arini.
"Oh merasakan sakit juga? Mau lagi? Oh iya mau lagi, ya?" Heru terus memukulinya hingga Arini benar-benar tersungkur tak berdaya, dia seperti orang yang sedang kerasukan setan, sampai ia lupa siapa perempuan yang sedang ia aniaya.
"Sakit, Her. Hentikan, aku mohon, aku minta maaf," ucap Arini dengan merintih kesakitan.
Heru yang kalap tadi akhirnya sadar dengan apa yang sudah ia lakukan pada Arini. Perempuan yang sebetulnya masih sangat ia cintai juga. Karena di marah, dia melakukan itu. Itu semua disebabkan karena Arini yang memukul wajah Nuri. Heru tak terima Nuri dipukul dan di dorong hingga jatuh, sampai kandungannya bermasalah. Bayi yang ada di perut Nuri mengalami stres. Heru melepaskan sapunya. Ia melihat kedua tangannya secara bergantian dengan raut wajah ketakutan, dan panik.
"Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan pada Istriku? Rin ... Aku minta maaf," ucap Heru dengan suara bergetar karena ketakutan dengan melihat keadaan Arini yang sudah babak belur karena dirinya.
"Arini, maafkan aku." Heru mencoba meraih tubuh Arini, namun Arini menjauh dan menatapnya dengan penuh ketakutan.
"Rin ... Aku obati, ya? Kita ke dokter. Maafkan aku, Rin. Maafkan aku." Heru menangis menyesali perbuatannya.
Baru kali ini Heru melakukan kekerasa pada Arini. Sampai ia memukuli dengan benda keras, juga meninju wajah Arini.
"Jangan pukul lagi, sakit, Her ...." rintih Arini dengan ketakutan.
"Aku gak akan mukul lagi, aku minta maaf. Ayo aku obati lukamu, Sayang. Maafkan aku," ucap Heru dengan berusaha meraih tubuh Arini.
"Pergi ... Sana pergi," ucap Arini ketakutan.
"Rin .... Maafkan aku."
Heru akhirnya bisa meluluhkan Arini. Ia peluk Arini, dan meminta maaf. Baru saja ia ingin membawa Arini ke kamarnya dan mengobatinya, ponsel Heru berdering. Ia tahu yang meneleponnya itu siapa, pasti itu adalah Nuri. Heru segera menerima telefon dari Nuri.
"Mas, ke mana sih?! Lama sekali!"
"Aku di rumah Arini."
"Ngapai? Buruan ke rumah sakit! Aku sendirian! Kalau gak langsung ke sini aku yang akan ke situ!"
"Eh jangan, Sayang ... Kamu harus dirawat biar sembuh dulu. Nanti anakmu kenapa-napa," ucap Heru.
"Makanya buruan ke sini!"
"Iya, Sayang .... Aku akan ke situ."
"Lagian ngapain di situ lama-lama?"
"Aku ke sana sekarang."
Heru melepaskan pelukannya pada Arini, lalu meninggalkannya tanpa sepatah kata pun. Heru pun kembali memandang Arini dengan tatapan sengit. Heru benar-benar seperti memiliki dua sisi. Ia sangat bertekuk lutut sekali pada Nuri.
Arini menangis dengan menahan sakitnya. Ia tidak bisa untuk bangun, dan berjalan ke atas untuk ke kamarnya.
"Sakit .... Tega kamu, Her." Ucap Arini dengan getir saat ia melihat sapu yang digunakan Heru untuk memukul Arini.
^^^
Di tempat lain, Raka merasa ada sesuatu yang tak beres pada Arini. Dia dari tadi menelepon Arini ke ponsel dan telepon rumahnya, tapi gak ada jawaban sa sekali. Padahal tadi Arini sudah memberikan kabar pada Raka sepulang dari makan malam di rumah orang tua Heru.
Raka langsung meninggalkan rumahnya setelah menidurkan Juna. Ia yakin ada sesuatu yang tidak beres dengan Arini.
"Kamu kenapa, Rin? Ada apa? Kok tumben kamu meresponku telepon dan pesanku dengan lambat," batin Raka.
Tak lama kemudian, Raka sampai di depan rumah Arini. Dia melihat pintu rumah Arini sedikit terbuka. Raka lansung masuk karena takut terjadi apa-apa pada Arini. Raka melihat Arini yang tersungkur di ruang tamu.
"Arini? Ya Tuhan .... Kamu kenapa, Sayang?"
"Raka .... Sakit ...," rintih Arini.
"Kamu kenapa bisa begini, Sayang? Siapa yang melalukan semua ini padamu?" tanya Raka.
"Heru, Ka," jawab Arini.
"Astaga .... Kejam sekali dia! Kurang ajar! Beraninya sama perempuan!" umpat Raka.
"Dia pukul aku pakai itu, dia tonjok aku juga, Ka. Sakit sekali," adu Arini pada Raka dengan kesakitan.
"Ayo aku gendong kamu ke kamar!"
Heru menggendong Arini ke kamarnya, ia langsung merebahkan tubuh Arini. Heru mencari es batu atau air dingin untuk mengompres luka lebam di wajah Arini dan tubuh Arini. Raka juga menelepon dokter pribadinya untuk mengobati Arini.
"Rin, aku izin kompres luka kamu, ya?"
Arini hanya mengguk dengam mulut yang masih terus bergumam sakit.
"Sakit .... Heru jahat sekali, tega melakukan ini," gumamnya lirih.
Raka benar-benar tidak tega dengan kondisi Arini. Setelah selesai mengompresnya Raka merebahkan tubuh Arini di tempat tidurnya. Tak berselang lama, dokter yang Raka panggil datang, dan Raka meminta supaya cepat memeriksa Arini.
Dokter itu memeriksa luka di tubuh Arini. Miris sekali melihatnya. Harusnya Arini mendapatkan perawatan khusus di rumah sakit, supaya kondisi mentalnya juga stabil. Takutnya psikis dia juga terganggu.
"Sudah gak apa-apa, Dok, biar aku yang rawat dia," ucap Raka pada dokter itu.
"Ya sudah ini resepnya, Pak Raka. Jaga Bu Arini, jangan sampai dia tantrum saat mengingat hal yang menyakitkan itu," ucap Dokter.
"Iya, Dok. Aku akan jaga Arini dengan baik."
Ya sudah saya pamit, jangan lupa obatnya nanti diminum sesuai dengan aturan."
"Baik.".
Setelah dokter pergi, Raka menyuruh anak buahnya menebus obat di apotek. Raka menemani Arini, ia berusaha menenangkan Arini, biar Arini tidak trauma. Raka memeluk Arini, ia tidur di sisi Arini. Arini pun tidak masalah, karena dia nyaman di pelukan Raka.