Mika, seorang wanita yang dulunya gemuk dan tidak percaya diri, sering menjadi korban bullying oleh geng wanita populer di SMA. Dihina karena penampilannya, ia pernah dipermalukan di depan seluruh sekolah, terutama oleh Dara, ketua geng yang kini telah menikah dengan pria idaman Mika, Antony. Setelah melakukan transformasi fisik yang dramatis, Mika kembali ke kota asalnya sebagai sosok baru, sukses dan penuh percaya diri, tapi di dalam dirinya, dendam lama masih membara. Kini Mika bertekad untuk menghancurkan hidup Dara, gengnya, dan merebut kembali Antony, cinta masa lalunya, dengan cara yang jauh lebih kejam dan cerdas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Pandang
Mika tersenyum sekali lagi, melihat Dara dalam keterkejutan dan kebingungan. Ini baru permulaan. Ia tahu, malam ini adalah kesempatan untuk menunjukkan kepada mereka semua bahwa Mika yang dulu mereka hina telah kembali—tapi bukan sebagai korban, melainkan sebagai seseorang yang tak bisa diremehkan lagi.
“Senang bertemu lagi, Dara,” kata Mika dengan nada ringan. “Kita akan bersenang-senang malam ini.”
Dara masih terdiam, merasa seperti baru saja dibenturkan dengan masa lalu yang tidak pernah ia sangka akan muncul kembali. Mika tersenyum puas, lalu berbalik meninggalkan Dara yang masih terpaku di tempatnya.
Setelah Mika berbalik dan meninggalkan Dara, rasa kesal dan gengsi yang terluka mulai membakar dada Dara. Ia tidak terima bahwa Mika, gadis yang dulu selalu ia injak dan hina, kini kembali dengan tampilan yang memukau—mendominasi suasana tanpa undangan, bahkan membuatnya merasa kecil.
Dara kembali ke meja tempat Nisa dan Farah menunggu. Wajah Dara masih menunjukkan keterkejutan, tapi sekarang ia terlihat marah.
“Lo nggak bakal percaya,” Dara berkata dengan nada merendahkan sambil memutar gelas wine di tangannya. “Itu tadi Mika.”
“Mika? Maksud lo, Mika yang... dulu itu?” Nisa membelalakkan matanya, tak percaya.
Farah tertawa pendek, sinis. “Yang gendut dan kumal itu? Nggak mungkin. Dia kayak orang beda sekarang.”
“Iya, itu dia,” Dara mengangguk dengan senyum yang dingin. “Tapi tahu apa? Dia pikir dengan tampil cantik, kita bakal lupa dia siapa.”
Nisa dan Farah tertawa pelan, menutupi mulut mereka dengan tangan. Mereka mulai mengeluarkan bisikan-bisikan keji, seperti dulu ketika Mika menjadi sasaran empuk ejekan mereka. Rasa superioritas dan kebiasaan mereka merendahkan orang lain masih menguasai mereka—seolah waktu tak pernah mengubah apa pun.
“Yuk, kita kasih ‘sambutan’ buat Mika,” Dara berkata dengan senyum licik. “Lihat aja gimana reaksi dia.”
Di ballroom yang semakin ramai, Mika berdiri di dekat bar, memperhatikan suasana dengan tatapan tenang. Namun dari sudut matanya, ia melihat Dara, Nisa, dan Farah berjalan mendekatinya. Wajah mereka penuh senyuman palsu—senyum-senyum yang dulu sudah begitu ia kenal.
“Mikaaa!” Dara memanggil dengan suara lantang, cukup keras agar semua orang di sekitarnya bisa mendengar.
Orang-orang mulai menoleh, penasaran dengan interaksi yang baru saja dimulai.
“Nggak nyangka banget lo berani dateng,” Dara melanjutkan dengan nada mengejek, “tanpa undangan lagi.”
Nisa dan Farah tertawa cekikikan di belakangnya, ikut bermain dalam permainan yang telah mereka lakukan selama bertahun-tahun.
“Gue kira lo udah kapok dihina di depan umum,” Nisa menambahkan dengan senyum sinis. “Tapi ternyata nggak ya?”
Mika tidak menunjukkan perubahan ekspresi. Senyum tenangnya tetap terpatri di wajah, meskipun Dara dan teman-temannya mencoba menjatuhkannya di depan orang banyak.
“Ingat nggak, dulu lo suka nulis surat cinta konyol buat cowok?” Dara menyeringai jahat, suaranya dipenuhi sarkasme. “Mau coba tulis surat cinta lagi? Kayak buat Antony dulu?”
Farah tertawa keras. “Kasian banget, sampai sekarang kayaknya dia masih nggak diundang siapa-siapa!”
Beberapa tamu yang mendengar tertawa canggung—tidak ingin terlihat berpihak, tapi juga tidak bisa menahan senyum kecil karena mereka masih ingat insiden masa lalu itu. Mika tahu, malam ini Dara mencoba mengulang sejarah.
Mika hanya tersenyum, sedikit mengangkat alisnya seolah tak terganggu sedikit pun. Ia menatap Dara tepat di mata, membuat Dara sedikit gugup, tapi Dara berusaha mempertahankan kontrol.
“Oh, Dara,” Mika berbisik lembut, “kalian masih persis seperti dulu. Selalu butuh menjatuhkan orang lain untuk merasa lebih baik.”
Dara menyipitkan mata, merasa terusik dengan ketenangan Mika. Ia berharap Mika akan tersulut, bereaksi seperti dulu—marah, malu, atau menangis. Tapi Mika tidak menunjukkan tanda-tanda itu.
“Kamu mau tahu kenapa aku datang?” Mika melanjutkan dengan suara rendah namun penuh kekuatan. “Bukan buat minta pengakuan dari siapa-siapa, apalagi dari kalian.”
Nisa dan Farah saling melirik, mulai merasa ada sesuatu yang tak beres. Ini bukan Mika yang mereka kenal.
Mika mendekat ke Dara, menatapnya tajam dengan sorot mata yang membuat Dara terdiam.
“Aku datang... untuk melihat kalian sendiri masih tenggelam dalam kehidupan palsu kalian,” bisik Mika pelan namun menusuk, “karena aku sudah jauh melampaui semua itu.”
Dara kehilangan kata-kata, wajahnya memerah menahan rasa malu yang tiba-tiba menyergap. Tawa di sekitarnya mulai mereda. Semua orang bisa merasakan perubahan suasana, seolah kendali telah berpindah ke tangan Mika.
“Tahu apa yang lucu?” Mika tersenyum kecil, “Aku nggak perlu membalas dendam dengan kata-kata. Kehidupan kalian sendiri sudah cukup jadi balasannya.”
Dari kejauhan Antony suami Dara menatap dara yang tengah berdebat dengan Mika, ia merasakan tatapan tajam yang tertuju padanya. Instingnya memaksa ia untuk menoleh. Dan di sana, berdiri Antony.
Pria yang dulu pernah ia sukai saat SMA, seseorang yang pernah menjadi pusat mimpi dan harapannya. Kini, Antony tampak jauh berbeda dari sosok remaja yang pernah ia kagumi. Penampilannya elegan dan matang—dengan jas hitam sempurna, tubuh tegap, dan tatapan tajam yang membuatnya tampak seperti sosok pebisnis sukses.
Mika berhenti sejenak, membiarkan kenangan lama menghampiri pikirannya. Ia mengingat surat cinta yang pernah ia tulis dengan hati berdebar-debar, hanya untuk dipermalukan di depan sekolah oleh Dara dan gengnya. Kini, pria yang dulu menjadi sumber harapan itu berdiri di hadapannya, menjadi suami wanita yang paling ia benci.
Antony tak bisa mengalihkan pandangannya dari Mika. Dari cara Mika membawa dirinya dengan penuh percaya diri hingga senyum dingin yang menghiasi wajah cantiknya, ada sesuatu tentang wanita itu yang menarik perhatiannya—sesuatu yang familiar tapi tak segera bisa ia ingat.
Mata mereka bertemu dalam tatapan panjang. Mika tidak menunjukkan tanda-tanda terpesona seperti dulu. Kini ia menatap Antony tanpa emosi, tanpa harapan—hanya tatapan seorang wanita yang telah melewati banyak hal.
Antony melangkah maju perlahan, seperti tertarik oleh daya tarik yang tak ia pahami. Dara, yang masih berdiri tak jauh dari sana, melihat suaminya menatap Mika dengan intens dan segera merasa tak nyaman.
“Antony,” Dara memanggil, suaranya ketus dan mengandung peringatan.
Antony menoleh sekilas, tapi kemudian kembali memandang Mika, seolah-olah sedang mencari sesuatu dalam ingatannya.
udah ada yang jelas dan bener-bener tulus malah diabaikan tapi masih mengharapkan suami orang...🤦
suami orang lebih menantang kali ya ..😅
apa autor bikin kejutan
di i tunggu kejutannya thorrr
tapi bagi Antony kamu bukan apa-apa. hanya wanitanya yang ke sekian. kamu hanya dianggap murhn.
bukannya bisa balas dendam, tapi justru kamu jadi budk nfsu Antony.
yang ada malah makin menyediakan tau...
nggak nyangka banget Antoni kayak gitu. suka celap-celup sana sini..
tuh mika, laki-laki yang kamu harapkan ternyata buaya..
kamu masih mengharapkan Antony... nyerahin segalanya buat Antony...
curiga jangan-jangan Antony punya hubungan sama Nisa...