Permainan anak kecil yang berujung menjadi malapetaka bagi semua murid kelas 12 Ips 4 SMA Negeri Bhina Bhakti.
Seiring laporan dari beberapa orang tua murid mengenai anaknya yang sudah berhari-hari tidak pulang ke rumah. Polisi dan tim forensik langsung bergegas untuk mencari tahu, tidak ada jejak sama sekali mengenai menghilangnya para murid kelas 12 yang berjumlah 32 siswa itu.
Hingga dua minggu setelah laporan menghilangnya mereka tersebar, tim investigasi mendapat clue mengenai menghilangnya para siswa itu.
"Sstt... jangan katakan tidak jika kamu ingin hidup, dan ikuti saja perintah Simon."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cakefavo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
- Ular Tangga
Michael memasuki kelas dengan nafas yang tidak beraturan, ia melihat suasana kelas sudah tidak kondusif, tatapannya terpaku kepada Hanni yang sedang menangis. Karena tidak ingin membuang waktu, Michael pun segera berlari ke meja guru untuk mengambil penggaris rotan yang cukup lebar dan besar, ia menghampiri Hanni dan memberikan penggaris tersebut kepadanya.
"Gak ada waktu lagi, cepet pukul gue pake penggaris itu!" pinta Michael.
Denzzel ingin sekali menghampirinya dan menarik Michael untuk melindungi gadis itu, tetapi dia tidak ingin mengambil resiko, nyawa Hanni lah yang menjadi taruhannya saat ini.
"Hanni, cepetan!" bentak Michael.
Hanni hanya terisak dan menggeleng, dia bahkan tidak berani mengangkat penggaris itu ke udara, apalagi memukul sahabatnya sendiri menggunakan penggaris tersebut, dengan frustasi Hanni melemparkan benda itu ke lantai.
"Gue gak mau, gue gak bisa!"
"Waktu telah habis dan Hanni akan di eksekusi karena tidak mengikuti perintah dari Simon," ucapan perempuan itu seketika membuat jantung Michael berhenti berdetak, dia menatap Hanni dengan pandangan yang kosong.
Hanni segera memeluknya dengan erat, tubuhnya gemetar hebat saat dia semakin terisak. "Maafin gue, gue gak bermaksud buat nge rahasiain hubungan bokap lu sama nyokap gue, gue ngerasa nyaman sama perlakuan bokap lu yang nge treat gue layaknya anak kandungnya sendiri, selama ini gue gak pernah dapetin itu semua, gue haus kasih sayang seorang ayah. Kebetulan bokap lu datang, dan gue bisa ngerasain kasih sayang yang gue damba-damba in selama ini, gue gak bermaksud buat ngekhianatin lu atau apapun itu, gue sayang sama lu, gue udah nganggep lu sebagai kakak gue. Makasih, makasih karena udah ngelindungin gue, makasih karena masih khawatir sama gue walaupun nyatanya gue yang bikin lu menderita." kata Hanni sambil di selingi dengan isakan kecil.
Hanni pun melepaskan pelukannya dan segera berlari keluar kelas, saat Michael ingin mengejarnya dengan cepat Denzzel menahannya dan langsung memeluknya. Gadis itu pun langsung menangis sambil memanggil-manggil nama sahabatnya, bukan ini yang dia inginkan, walaupun dia merasa sangat marah dan kecewa tetapi jauh di lubuk hatinya dia sangat menyayangi Hanni.
Hanni berlari, kedua matanya memutih dan wajahnya membiru, dia berhenti di depan ruangan tata usaha. Saat dia merasakan ada dorongan yang menggerakkan hatinya untuk mendekati beberapa kabel listrik, dengan tatapan kosong Hanni pun mencabut listrik tersebut dan menusukannya ke kedua matanya sendiri, membuatnya kembali kejang-kejang karena tegangan yang mengalir ke seluruh tubuhnya.
Jam menunjukan pukul 23.32, Michael memperhatikan tubuh Hanni yang di angkat jempana, kondisi gadis itu begitu mengerikan sekali, dengan kedua bola mata yang keluar dari rongganya, tubuhnya terlihat menghitam dan anehnya membusuk, padahal baru beberapa jam Hanni di nyatakan meninggal dunia karena tersengat aliran listrik.
"Woy sini, lapangan!" teriakan Yaksa membuat Denzzel tersadar, dia menatap sahabatnya sejenak yang sedang melamun.
"Michael, ayo..." ajaknya dengan lembut, ia pun membantu Michael untuk bangkit, tangannya melingkari pundak gadis itu, menuntunnya untuk berjalan.
Terlihat api unggun yang di buat oleh Yaksa beberapa menit yang lalu, walaupun dia membuatnya menggunakan ranting kecil dan dedaunan kering, tetapi apinya terlihat besar, mereka semua pun duduk melingkari api unggun.
Rean terus melemparkan bebatuan kecil ke dalam api, wajahnya terlihat kesal. Yang lainnya hanya terdiam sambil memandangi api unggung.
Denzzel memejamkan matanya, dia menghembuskan nafasnya secara perlahan. "Gue bener-bener berharap kalau semuanya cuman mimpi," batinnya.
Api unggun yang semakin membesar membuat tubuh mereka hangat, mereka tenggelam dengan pikirannya masing-masing, keinginan untuk pulang begitu kuat, mereka ingin permainan ini segera berakhir.
"Guys, gue pikir selama ini kita selalu terpecah belah, bahkan dalam kondisi kayak gini... tapi akhir-akhir ini kita selalu saling bekerja sama, bener?" tanya Axel membuka suara, Kanin yang duduk di sampingnya mengangguk.
"Iya, gue setuju!" sahut Naira.
"Gue disini sebagai wakil ketua kelas mau berterima kasih sebanyak-banyaknya sama Axel. Gue tau ini pengalaman pertama gue sebagai wakil, awal-awal kalian milih gue sebagai wakil, gue sebenernya ngerasa ragu, gue takut gak bisa bertanggung jawab, yang ada di pikiran gue cuman gimana caranya supaya gue bisa bikin kelas kondusif, persahabatan mengalir lancar, gak ada permusuhan, dan lain sebagainya. Tapi gue bersyukur banget karena ada Axel yang selalu ada buat gue, ngajarin yang nggak gue bisa," kata Kanin sambil tersenyum saat menatap Axel.
Alin yang berada di sampingnya mengerucutkan bibir dan segera memeluk gadis itu dari samping, menyandarkan kepalanya di bahu Kanin.
Yaksa menghela nafas, tatapannya beralih kepada Shaerin yang sedang melamun, dia pun tersenyum tipis. "Buat Shaerin, gue tau lu sayang banget sama Joshua. Gue yakin, dia juga pasti ngerasain hal yang sama kayak lu, kita disini selalu berdoa supaya Joshua dan teman-temen yang lainnya ada di sisi tuhan, dan gue juga yakin kalau Joshua pasti bakalan bangga sama lu karena udah ada di tahap ini," ucapnya.
Shaerin menatap Yaksa, tatapannya yang hangat entah mengapa membuat hati gadis itu merasa tenang, Shaerin tersenyum dan mengangguk tipis.
"Eric, San sama Mason juga... walaupun mereka bodo, tapi mereka yang selalu bikin kelas cair," sahut Yahezkael.
"Apapun yang terjadi, kita harus keluar bareng-bareng dari sini!" kata Reygan yang langsung di angguki oleh yang lainnya, mereka pun tersenyum lebar.
Denzzel melirik kearah Michael, gadis itu tersenyum tipis. Reygan yang memperhatikannya lantas mengangkat alisnya, tiba-tiba senyuman licik tersungging di sudut bibirnya.
"Zel... gue penasaran siapa cewek yang lu suka?" tanya Reygan tiba-tiba, kini pandangan yang lainnya tertuju kepada Denzzel yang terlihat gugup.
Denzzel kembali melirik sahabatnya, dia pun berdehem untuk mencairkan ketegangan di udara, dia mengutuk Reygan yang sudah bertanya seperti itu.
"Apa jangan-jangan lu suka sama Michael?" celetuk Alin, Rean yang mendengarnya langsung memperhatikan ekspresi Denzzel.
Laki-laki itu terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela nafas pelan. "Gue rasa begitu, gue rasa gue suka sama Michael." ucapnya dengan percaya diri, membuat Michael melebarkan matanya karena terkejut, Denzzel segera menggenggam tangan gadis itu dengan erat, seolah-olah jika dia melepaskannya, Michael akan menghilang dari pandangannya.
"Setiap hari gue cuman mikirin Michael, yang gue pengen cuman ketemu sama dia, setiap hari gue selalu ngumpulin keberanian buat ngasih tau perasaan gue, tapi gue gak berani ngakuinnya karena gue tau kalau gue ngungkapin, dia pasti bakalan ngerasa canggung sama gue." Denzzel menatap lembut wajah Michael, ibu jarinya membelai punggung tangan gadis itu dengan pelan.
"Wow... ternyata beneran gak ada yang namanya persahabatan antara cowok sama cewek," komentar Yaksa.
Alin terkekeh, dia pun melepaskan pelukannya dan melihat ke lantai dua, dia mengerutkan keningnya saat melihat siluet seseorang di atas sana.
"Siapa?" tanya Alin sambil menunjuk ke arah lantai dua, yang lainnya pun mengikuti pandangan gadis itu.
Michael mendongak dan menatap kearah yang di tunjuk oleh Alin, dia pun segera bangkit dari tempat duduknya.
"Hah sialan, apa-apaan anjing?" umpat Rean sambil maju beberapa langkah.
Sinar bulan menerangi sebagian wajah Alifa yang sedang berdiri di sana, membuat semuanya terkejut dan... bingung?
Hannah menyipitkan matanya saat melihat senyuman licik yang tersungging di sudut bibir gadis itu, dia pun segera menyadari sesuatu. Rean meludah, dia menunjuk ke arah gadis itu sambil membentaknya, jelas merasa marah.
"Heh sialan, lu Simon?!"
"Anjing!" umpat Yahezkael dan Reygan secara bersamaan.
"Alifa, lu beneran?" tanya Yaksa.
Gadis itu terdiam sejenak, sambil tersenyum dia menatap teman-temannya dari atas sana, dia pun kembali maju selangkah sehingga mereka dapat melihat wajahnya dengan jelas.
"Let's play a game called Simon says," ucap Alifa dengan seringai di wajahnya.
"Anjing, Alifa!" teriak Rean.
"Sial, cewek jala*g!" umpat Hannah.
Suara di mikrofon terdengar sangat nyaring, membuat mereka dengan reflek menutup telinga masing-masing.
"Simon says, bermain ular tangga."
Michael mengerutkan keningnya, ia kembali mendongak dan menatap Alifa, ia harus menghentikan gadis itu agar tidak ada lagi korban di antara teman-temannya, ia harus mengakhirinya juga sekarang. Michael pun langsung berlutut, membuat Axel dan Denzzel membelalakkan mata.
"Gue mohon, berhenti... kita capek, gue mohon, Alifa."
Axel mengepalkan tangannya erat, beberapa detik kemudian dia pun ikut berlutut di samping Michael, begitu pun dengan Denzzel dan juga Kanin.
"Kita pengen pulang, kita gak mau mati." ucap Kanin sambil terisak.
"Entah apa tujuan lu bikin kita kayak gini, tapi gue mohon sama lu buat hentiin semua ke konyolan ini," lanjut Axel.
"Tujuan gue?" Alifa membuka suara, dia terkekeh pelan, lebih ke nada mengejek.
"Baru kali ini gue ngeliat kalian berlutut ke gue, selama ini bahkan kalian gak pernah anggap gue ada, kalian cuman mandang gue sebagai pelayan kalian doang."
"Dasar gila," umpat Hannah.
"Gue udah yang ngebunuh temen-temen sekelas. Elias, Jejen, San sama Mason."
Naira melangkah maju, dia menangis sambil menangkupkan kedua tangannya, memohon kepada Alifa.
"Fa... gue pengen pulang, gue gak mau mati, gue mohon izin in kita semua buat pulang ke rumah, orang tua kita khawatir."
Alifa tidak mendengarkannya, dia hanya terkekeh dingin. "Selamat bermain, gue harap kalian semua selamat kali ini." katanya lalu mundur beberapa langkah sehingga dia pun menghilang di kegelapan lorong kelas.
"Peserta yang pertama kali bermain akan berdiri di kotak bertuliskan 'start'. Setelah peserta melempar dadu, peserta akan meloncat menuju kotak sesuai dengan angka dadu yang di dapatkan, jika peserta berada di gambar bawah tangga, maka peserta bisa naik. Tetapi jika peserta berada di kotak sebuah gambar ular maka akan di eksekusi, permainan di lakukan di lapangan basket dalam waktu 20 menit."