Gara, cowok dengan semangat ugal-ugalan, jatuh cinta mati pada Anya. Sayangnya, cintanya bertepuk sebelah tangan. Dengan segala cara konyol, mulai dari memanjat atap hingga menabrak tiang lampu, Gara berusaha mendapatkan hati pujaannya.
Tetapi setiap upayanya selalu berakhir dengan kegagalan yang kocak. Ketika saingan cintanya semakin kuat, Gara pun semakin nekat, bahkan terlibat dalam taruhan konyol.
Bagaimana kekocakan Gara dalam mengejar cinta dan menyingkirkan saingan cintanya? Akankah Gara mendapatkan pujaan hatinya? Saksikan kisah cinta ugal-ugalan yang penuh tawa, kejutan, dan kekonyolan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Hadiah Sederhana
Gara menghela napas panjang dan menggeleng pelan. "Bro, jangan sembarangan menuduh tanpa bukti. Itu jatuhnya fitnah, loh. Ingat, fitnah itu lebih kejam dari membunuh. Lagipula, lihat dong helm gue ini! Ini helm gas melon! Masa orang kayak gue yang pakai helm ini bisa merencanakan sesuatu yang sekompleks itu? Ini bukan 'aksi pembunuh berantai', ini cuma 'insiden dikeroyok lembah!' Yoyok yang kena musibah, malah elu tuduh sabotase."
Dion terdiam sejenak, bingung dengan argumen Gara yang konyol tapi logis. Mahasiswa lain di sekitar mereka mulai tertawa, dan suasana jadi semakin ringan. "Lo bener-bener berani ya, Gara?"
Gara mengangkat bahu dengan santai. "Bro, yang jelas gue bukan pelaku yang dituduh. Gue hanya penikmat drama kampus yang kadang terjebak di tengah keributan. Kalo lo mau, tanya aja sama si Yoyok, dia yang lebih konyol dari semua ini!"
Suasana semakin ceria, dan Dion merasa terpojok. Dengan wajah frustrasi, dia akhirnya menjauh sambil menggerutu, "Lo bakal menyesal, Gara!"
Begitu Dion pergi, tawa mahasiswa semakin kencang. Gara tersenyum lebar, merasa lega karena berhasil keluar dari situasi yang menegangkan dengan cara konyol dan penuh tawa.
***
Gara duduk santai di warung kopi Mas Jon, masih terpingkal-pingkal mengenang insiden konyolnya bersama Anya. Ia mengambil napas dalam-dalam sebelum mulai bercerita. "Jadi, guys, kemarin gue lagi ngobrol sama Anya di taman, eh tiba-tiba aja muncul suara kentut yang kayaknya berasal dari gas beracun. Dia sampe menutup hidung, dan gue? Ya ampun, malu setengah hidup! Gue langsung mikir, ‘Jangan-jangan dia mengira itu dari gue!’"
Semua orang di warung tertawa terbahak-bahak, kecuali **Yoyok**, yang hanya duduk diam sambil menyesap kopinya. Gara melanjutkan, "Gue sampai bilang, ‘Mungkin itu karena gue kemarin makan tahu tempe berbau tajam!’ Anya justru ngakak, dan suasana jadi konyol banget. Eh, perutnya mual gara-gara gas beracun gue!"
**Darto** tidak bisa menahan tawa, "Gara, lo emang konyol! Tapi itu lucu sih, bro!"
Gara menyadari ada yang aneh, melihat Yoyok yang diam dan hanya tersenyum kecil. "Eh, Yoyok, lo kenapa? Kenapa lo malah diem?"
Yoyok mengangkat bahunya, tetap tenang. "Gue lagi merenung aja, jangan ganggu."
Darto menjawab dengan nada menggoda, "Lo jangan-jangan malu, ya? Kan, lo juga pernah kejadian yang sama?"
Gara menatap Yoyok penasaran. "Masa sih? Cerita, Yok!"
Darto mulai menceritakan, "Jadi, kemarin Yoyok juga mengalami insiden konyol. Dia lagi ngopi di warung ini, eh tiba-tiba ada suara mirip kentut dari arah dia! Semua orang langsung melirik, dan Yoyok cuma bisa senyum konyol. Siapa sangka, ternyata itu suara dari kursi yang dia duduki!"
Semua orang di warung langsung terbahak-bahak. Gara melihat ke arah Yoyok, yang kini tampak merah padam. "Yoyok, serius? Gila, lo bikin gue terinspirasi! Kita memang tersinkronisasi dalam hal kegagalan konyol, ya?"
Yoyok akhirnya tidak bisa menahan tawa, "Iya, iya, oke! Cukup, cukup! Kita semua emang sama-sama konyol!"
Suasana di warung pun penuh tawa, menjadikan hari itu semakin ceria dengan cerita-cerita konyol mereka.
***
Beberapa hari setelahnya, Gara memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Tidak ada lagi aksi heboh, kejutan besar, atau rencana aneh yang berpotensi mempermalukan dirinya sendiri. Kali ini, dia ingin melakukan sesuatu yang lebih sederhana dan tulus, sesuatu yang benar-benar memperhatikan apa yang Anya sukai.
Gara teringat percakapan mereka beberapa waktu lalu, ketika Anya bercerita tentang kecintaannya pada tanaman hias. Dia menyebutkan bahwa dia suka tanaman yang mudah dirawat, karena waktu luangnya sangat terbatas. Gara memikirkan itu selama beberapa hari dan akhirnya mendapatkan ide: sebuah tanaman sukulen. Tanaman itu tidak membutuhkan banyak perhatian, hanya sesekali disiram, dan tetap bisa tumbuh indah.
Di hari yang cerah, dengan perasaan lebih tenang dari biasanya, Gara membawa pot kecil berisi tanaman sukulen ke taman kampus. Dia tahu Anya sering duduk di sana setelah kelas, menikmati waktu luangnya. Gara sengaja datang lebih awal, menunggu dengan harapan sederhana, tanpa harapan besar atau ekspektasi berlebihan.
Ketika Anya muncul di kejauhan, Gara berdiri dan tersenyum sambil memegang pot kecil itu. "Hai, Anya," sapa Gara dengan nada santai namun tulus. "Gue bawa sesuatu buat lo."
Anya menatapnya dengan kening sedikit berkerut, penasaran, tapi tetap tersenyum. "Apa itu, Gar?"
Dengan hati-hati, Gara menyerahkan pot tanaman sukulen kecil itu. "Gue inget lo bilang lo suka tanaman hias, tapi nggak punya banyak waktu buat ngerawatnya. Jadi gue mikir, lo mungkin suka yang ini. Sukulen gampang banget dirawat, lo cuma perlu siram sekali-sekali."
Anya melihat pot itu dengan mata yang mulai melembut. Dia tampak terkejut dan tersentuh oleh perhatian Gara yang sederhana namun sangat tepat. Dia mengangkat tatapannya pada Gara, dan senyum tulus terukir di wajahnya. "Makasih, Gara. Ini manis banget, dan ... gue suka perhatian kayak gini. Nggak ada kejutan besar, nggak ada drama. Ini beneran dari hati."
Gara mengangguk dengan perasaan lega. "Gue ngerti sekarang. Mungkin yang lo butuhin bukan hal-hal besar, tapi hal kecil yang tulus."
Mereka berdua kemudian duduk di bangku taman, kembali mengobrol seperti biasa. Obrolan mereka ringan, santai, dan alami, tanpa tekanan untuk mengesankan atau membuat momen dramatis. Sesekali obrolan mereka diwarnai gelak tawa keduanya karena tingkah gara yang konyol. Gara menyadari, untuk pertama kalinya, dia merasa nyaman berada di dekat Anya tanpa harus memikirkan rencana-rencana rumit atau berusaha menjadi seseorang yang bukan dirinya.
Selama percakapan mereka, Anya sering melirik pot sukulen di tangannya, terlihat sangat menghargai perhatian sederhana dari Gara. Dia bahkan menyebutkan beberapa hal lucu tentang bagaimana tanaman itu mengingatkannya pada dirinya sendiri, tangguh, tapi tetap butuh sedikit perhatian. Dan saat Anya tertawa kecil sambil bercanda tentang tanaman itu, Gara merasakan sesuatu yang berbeda. Tidak ada lagi rasa cemas atau takut ditolak. Dia hanya menikmati momen bersama seseorang yang dia sukai, dengan cara yang lebih sehat dan tulus.
Seiring berjalannya waktu, Anya mulai melihat Gara dari perspektif yang baru. Bukan lagi sebagai orang yang selalu berusaha mengesankan dia dengan cara-cara gila, tapi sebagai seseorang yang bisa tulus dan perhatian. Percakapan mereka sore itu terasa ringan dan menyenangkan, tanpa beban atau ekspektasi berlebihan.
Saat mereka mengakhiri obrolan di taman, Anya tersenyum pada Gara sebelum pergi. "Makasih, Gara. Beneran, gue suka ini. Gue senang bisa ngobrol kayak gini, santai, dan lo tahu ... lo nggak perlu berubah jadi orang lain buat bikin gue tertarik."
Gara mengangguk, menahan senyum. "Iya, gue ngerti sekarang. Gue nggak perlu jadi orang lain, cukup jadi diri sendiri. Dan itu, ternyata, jauh lebih menyenangkan."
Ketika Anya pergi, meninggalkan Gara dengan perasaan hangat di dadanya, dia tahu bahwa dia telah mengambil langkah yang benar. Tidak ada lagi usaha untuk mencuri perhatian Anya dengan cara yang dramatis. Kini, dia bisa mengekspresikan perasaannya dengan cara yang lebih dewasa dan tulus. Dan di matanya, itu adalah kemenangan yang jauh lebih besar dari apa pun yang pernah dia rencanakan sebelumnya.
Dari kejauhan, Dion berdiri dengan ekspresi yang jelas menunjukkan ketidaksenangan. Dia memperhatikan Gara dan Anya yang tampak semakin dekat, tertawa ringan bersama di taman. Setiap kali Anya tersenyum atau tertawa, Dion merasakan dadanya sesak. Anya memang terlihat nyaman saat bersama dirinya, tetapi saat bersama Gara, dia terlihat benar-benar bahagia. Senyuman dan tawa Anya bersama Gara membuat Dion merasa semakin gelisah.
Dalam hati, Dion merasa cemburu. "Kenapa mereka makin dekat?" pikirnya sambil mengepalkan tangan. Dia merasa bahwa perhatian Anya, yang dulu selalu ia harapkan, kini lebih sering diarahkan kepada Gara. Meskipun Dion selama ini selalu berusaha menjaga hubungan yang baik dengan Anya, kehadiran Gara seolah menjadi penghalang yang tak ia duga.
Melihat pemandangan itu, Dion bertekad untuk tidak tinggal diam. "Gue nggak bisa biarin ini terus-terusan," gumamnya pelan. Perasaan Dion yang campur aduk mulai berubah menjadi dorongan untuk bertindak. Apa pun yang terjadi, dia tidak akan menyerah begitu saja pada persaingan ini.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued