Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siapa Kamu Sebenarnya?
"Selamat pagi, Pak!" Sapa Zanya saat Marlon dan Radit keluar dari kediaman Marlon. Seperti biasa, setiap pagi Radit selalu membantu Marlon bersiap.
Marlon hanya mengangguk sebagai jawaban dari salam Zanya. Melihat sikap Marlon yang dingin, Zanya melirik Radit, dan menggerakkan matanya seolah bertanya 'Ada masalah apa?'. Radit hanya mengedikkan bahunya sebagai jawaban. Mereka berdua pun mengikuti Marlon dari belakang.
"Apa saja agendaku hari ini?" Tanya Marlon setelah mereka masuk ke ruangan CEO.
"Anda ada janji makan siang dengan tim produksi, Pak. Saya sudah pesan tempatnya dan juga menunya." Jawab Radit.
"Dan ada janji untuk menemui Bu Gustia pukul 2 siang, Pak." Zanya membacakan jadwal Marlon yang ada di tabletnya.
Marlon mengangguk. "Radit, kirimkan alamat tempat makan siangnya kepada Zanya, nanti kamu menyusul kesana bersama dengan tim produksi. Dan Zanya, kamu ikut aku pagi ini, kita akan bertemu Pak Dwi sekarang." Titah Marlon.
"Baik, Pak!" Jawab Zanya dan Radit bersamaan.
Marlon keluar dari ruangannya, diikuti oleh Zanya yang berjalan dengan tergesa-gesa karena harus menyamai langkah dari kaki marlon yang jenjang.
***
Zanya dan Marlon tiba di restoran tempat mereka makan siang bersama tim produksi. Restoran itu bernuansa hangat dan elegan, ditata dengan konsep interior yang sederhana namun tetap berkelas.
Zanya menghampiri sang greater dan menanyakan reservasi.
"Silahkan lewat sini, Kak." Sang greater mempersilahkan Marlon dan Zanya masuk ke sebuah ruangan dengan desain semi outdoor yang luas dan nyaman. Desain ruangan dengan pencahayaan alami memberi kesan segar, ditambah desain interiornya yang sederhana namun apik, membuat ruangan itu terasa nyaman seperti rumah sendiri.
Radit dan yang lainnya belum tiba di restoran, sehingga Marlon dan Zanya harus menunggu sampai mereka datang, baru makanan akan dihidangkan. Marlon mengambil kursi paling ujung, dan Zanya duduk di hadapan Marlon.
Zanya menatap Marlon yang sedang fokus dengan ponselnya, ia sepertinya sedang kalut, wajahnya terlihat murung sejak tadi. Tadi saat bertemu Dwi, Zanya diminta menunggu di luar ruangan, sehingga Zanya tidak tahu apa pembicaraan mereka, dan itu membuat Zanya penasaran.
Tak lama, rombongan tim produksi bersama Radit pun datang. Radit duduk di samping Marlon, dan semua orang pun mengambil tempat duduk masing-masing.
"Hai, Za!" Sapa seseorang, lalu duduk di samping Zanya.
Zanya menoleh, dan ternyata orang itu adalah Razka. Zanya merasa risih, orang yang ingin ia hindari justru duduk di sampingnya.
"Oh, Hai, Razka!" jawab Zanya.
"Terimakasih Pak Marlon, atas traktirannya!" ucap Razka.
Marlon tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban untuk Razka.
Makanan pun dihidangkan, Zanya mengambil beberapa lauk dan sayur ke piringnya. Dilihatnya Marlon bergeming, masih fokus dengan ponselnya.
"Pak, Anda ingin lauk apa? Biar saya ambilkan." Zanya menawarkan bantuan.
Marlon menyimpan ponselnya, lalu menatap lauk-lauk yang asa di depannya.
"Boleh, ambilkan apa saja." Jawabnya.
"Biar saya yang ambilkan, Pak." Radit berinisiatif mengambil piring Marlon dan mengisinya dengan berbagai macam lauk. Saat Radit akan mengambilkan udang goreng mentega, Zanya terkesiap.
"Dit! Jangan udang! Pak Marlon alergi udang." Ujarnya setengah berteriak.
"Oh, gitu ya? Maaf, Pak, saya gak tau." Ujar Radit merasa bersalah.
"Iya, gak apa-apa." Jawab Marlon.
"Pak Marlon alergi udang, sama kayak kamu, ya, Za?" celetuk Razka.
Zanya tersenyum tipis dan mengangguk, lalu ia mulai makan. Marlon menatap Zanya dengan tajam. Dari mana gadis ini tahu ia alergi udang?
Selesai makan, Zanya pergi ke toilet. Ternyata letak toilet restoran itu agak jauh dari ruang VIP yang mereka pesan. Selesai mencuci tangan dan merapihkan riasannya, Zanya keluar dari toilet wanita.
"Hei, Za!"
Zanya terkejut melihat Razka yang tiba-tiba berada di depannya. Sepertinya ia juga baru selesai dari toilet, atau bisa jadi baru akan ke toilet, pikir Zanya.
"Za, aku minta nomor kamu, dong!" Razka mengeluarkan ponselnya.
"Maaf, aku gak bisa kasih nomor ponselku." Jawab Zanya.
"Kenapa? Aku pengen kita berteman lagi, gak ada salahnya kita berteman, apalagi sekarang kita satu kantor."
"Kita satu kantor, tapi kita gak ada hubungan kerja, Razka. Jadi kita gak perlu saling menyimpan nomor ponsel."
"Kan kamu asisten Pak Marlon, dan aku kadang harus bertanya beberapa hal tentang produksi kepada Pak Marlon. Kalau Pak Marlon sedang sibuk, aku kan bisa ngehubungin kamu. Bukannya salah satu tugas asisten itu mempermudah urusan bosnya? Ayo, ketik nomor kamu!" Desak Razka sambil menyodorkan ponselnya.
Zanya mendorong tangan Razka pelan. "Aku memang asisten Pak Marlon, tapi urusan yang berhubungan dengan Great Corps adalah tanggung jawab Radit, bukan aku. Silahkan kamu minta nomor Radit aja." Zanya melangkah pergi. Namun tiba-tiba Razka menarik tangannya, dan membuat Zanya nyaris kehilangan keseimbangan.
"Apa mau kamu, Razka?!" desis Zanya.
"Kamu kan udah dengar tadi, apa mauku. Aku cuma minta nomor kamu, udah, itu aja! Tapi sekarang kamu sombong rupanya, mentang-mentang jadi asisten CEO. Asal kamu tau, jasi asisten seorang CEO gak akan merubah siapa kamu yang sebenarnya!" Razka bicara setengah membentak.
Marlon mencuci tangannya mendengarkan pembicaraan dua orang yang ada di depan pintu toilet itu, wastafel yang berdekatan dengan pintu toilet pria membuat Marlon bisa mendengar suara mereka dengan jelas.
Zanya melepaskan tangannya dari cekalan Razka dengan kasar. "Terserah kamu mau bilang apa! Aku gak mau berurusan dengan orang seperti kamu!" Ujarnya,lalu pergi meninggalkan Razka yang masih emosi. Tak lama, Razka pun menyusul kembali ke ruang VIP setelah ia meredakan emosinya.
"Teman-teman semua, terimakasih atas kerja keras kalian selama ini, yang telah membuat perusahaan kita terus maju dan berkembang karena ide-ide brilian kalian. Makan siang ini adalah sebagai ucapan terimakasih saya. Semoga teman-teman menikmati makanannya. Lain kali kita akan adakan makan malam, dan jika semua project kita bulan ini lancar, kita akan adakan gathering khusus untuk tim produksi." Ujar Marlon lantang, di sambut tepuk tangan dan sorak gembira dari 30 orang dari tim produksi.
Marlon keluar dari ruang VIP diikuti oleh Zanya, mereka berdua langsung menuju kantor Gustia.
"Aku kira kamu gak akan datang, aku hampir pulang cepat karena lelah." Ujar Gustia dengan gaya manja yang dibuat-buat.
"Untungnya Anda masih berbaik hati menunggu saya, Bu Gustia." Marlon tersenyum sambil menyalami tangan wanita itu.
"Jadi, apa yang akan kita bahas kali ini?" tanya gustia sambil duduk di sofa dan menyilangkan kakinya. Tangannya memberi isyarat agar Marlon duduk di depannya. Marlon pun duduk, sementara Zanya masih tetap berdiri.
"Hai, cantik! Duduk sini." Gustia menepuk-nepuk tempat kosong di sofa panjang yang ia duduki.
"Tidak apa-apa, Bu. Saya berdiri saja." Tolak Zanya dengan kikuk.
"Aku memaksa, ayo duduk!" Gustia mengulangi menepuk-nepuk sofa.
Zanya menatap Marlon untuk meminta pendapat, Marlon memberi isyarat agar ia nenuruti Gustia. Zanya pun duduk di samping Gustia.
"Aku harap, aku masih semuda kamu, supaya aku bisa menggaet pemuda-pemuda tampan seperti yang ada di depanku ini." Ujar Gustia sambil menatap sayu ke arah Zanya.
Zanya salah tingkah, ia menyunggingkan senyum kaku Ia merinding karena teringat perlakuan wanita ini pada Marlon di malam pesta waktu itu.
"Hahaha...! Imut sekali dia." Gustia bicara pada Marlon sambil tertawa. Marlon hanya tersenyum menanggapi candaan Gustia.
"Maaf, aku terlalu banyak ngomong yang gak penting. Maklum, gak ada yang bisa aku ajak bicara." Ujar Gustia setelah menghentikan tawanya.
"Sayang, kamu boleh nunggu di luar, aku mau bicara berdua Marlon." Gustia meminta Zanya keluar ruangan.
"Baik, Bu, kalau begitu saya permisi." Zanya menganggukkan kepalanya, kemudian berjalan menuju pintu untuk keluar ruangan.
"Kalau akhirnya gue mau disuruh keluar, ngapain gue disuruh duduk segala?" Gerutu Zanya dalam hati.
Ia pun duduk di kursi dekat meja sekretaris Gustia, setelah sang sekretaris mempersilahkan.
***
"Jadi, apa yang bisa aku bantu?" Tanya Gustia sambil menatap Marlon serius.
"Kapan anda akan mengakuisisi PT. Makmur Bersama?" Tanya Marlon, langsung pada intinya.
"Kamu tahu hal itu dari mana? Aku rasa, Pak Gilang gak akan memberitahukan hal ini pada siapapun, apalagi kepada calon menantunya." Gustia menatap curiga.