"Mengemislah!"
Awalnya hubungan mereka hanya sebatas transaksional diatas ranjang, namun Kirana tak pernah menyangka akan terjerat dalam genggaman laki-laki pemaksa bernama Ailard, seorang duda beranak satu yang menjerat segala kehidupannya sejak ia mendapati dirinya dalam panggung pelelangan.
Kiran berusaha mencari cara untuk mendapatkan kembali kebebasannya dan berjuang untuk tetap teguh di tengah lingkungan yang menekan dan penuh intrik. Sementara itu, Ailard, dengan segala sifat dominannya terus mengikat Kiran untuk tetap berada dibawah kendalinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lifahli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Tamparan Untuk Si Pria Dominan
...Happy reading!...
...•••...
Perlu waktu tiga hari untuk membuat Kiran bertenaga kembali untuk beraktivitas, sebelumnya ia hanya melakukan beberapa pekerjaan kecil selain mengurus adiknya.
Kiran tersenyum tipis saat melihat Tian yang kini sudah beranjak remaja, tubuhnya lebih tinggi dan wajahnya semakin dewasa. Rasanya waktu berlalu begitu cepat. Masih teringat jelas di benaknya, bagaimana Tian dulu selalu merengek meminta digendong, dan kini adiknya sudah bisa mengurus dirinya sendiri.
Namun Bagi Kiran, Tian tetaplah adik kecilnya dan satu-satunya keluarga yang tersisa, orang yang harus dijaga dengan sepenuh hati.
"Hari ini kamu punya kegiatan apa, Tian?" tanya Kiran, mencoba mengalihkan perasaan nostalgianya.
Tian menatap Kiran dengan senyum hangat. "Nggak banyak, Mbak. Cuma ada latihan basket sama tugas sekolah. Mbak udah baikan? Jangan terlalu dipaksain ya, masih perlu istirahat."
Kiran mengangguk, merasa lega melihat perhatian Tian. "Mbak sudah lebih baik. Kamu tenang saja, oh iya Mbak dengar kamu sudah pandai cari uang ya?"
Tian bersama dengan Kiran duduk saling berhadapan, mereka senang sekali bisa berkomunikasi begini.
"Jadi gini Mbak, aku punya akun jualan gitu di salah satu platform belanja online. Nah kebetulan disana aku jual produk ibu lho, roti buatan ibu. Banyak sekali Mbak yang beli, tapi... sayangnya ibu sudah tidak ada sekarang. Aku juga tidak pandai membuat roti seenak buatan ibu, ya cuma Mbak sih yang pandai. Jadi Mbak, kamu mau ngga berbisnis bareng aku, sekalian aku juga belajar dari Mbak. Nanti keuntungannya kita bagi dua, lumayan lho Mbak buat nambah uang jajan" Tian menawari, tentu saja membuat Kiran tersenyum bangga
"Mbak senang lho dengarnya kamu seantusias ini pengen jadi pengusaha muda," ia mengacak rambut Tian hingga berantakan. "Mbak bisa aja, cuma Mbak perlu pikirkan dulu ya, kamu mau tunggu keputusan Mbak tidak?"
Tian tertawa kecil saat Kiran mengacak rambutnya, lalu dengan senyum yang masih tersungging di bibirnya, dia menjawab, "Tentu aja, Mbak! Aku bakal tunggu keputusan Mbak. Kita bisa sukses bareng-bareng kok, asalkan Mbak setuju." Ia juga tak lupa menyelipkan rauyan terakhir di kalimatnya agar Mbaknya itu mau berkerjasama dengannya.
Kiran merasa hatinya hangat. Dia bangga melihat adiknya tumbuh menjadi remaja yang bertanggung jawab dan penuh semangat. Meski sempat khawatir tentang bagaimana Tian akan menghadapi masa depan tanpa orang tua mereka, hari ini Kiran merasa lebih yakin bahwa adiknya bisa menghadapinya.
"Oke, Tian. Mbak pikir-pikir dulu ya. Tapi kamu harus janji, jangan sampai mengorbankan sekolahmu. Pendidikan tetap nomor satu."
Tian mengangguk penuh semangat. "Tenang aja, Mbak. Aku janji!"
Kiran tersenyum puas kemudian mengacak-acak rambut adiknya, ah tetap saja ia tak menyangka Tian sudah sedewasa ini.
•••
"Iya itu permukaan atasnya di olesi kuning telur dek."
Mereka tengah berkutat di dapur setelah Kiran memberikan keputusan bahwa ia akan berkerjasama dengan adiknya untuk berbisnis kecil-kecilan, terlebih lagi adiknya ini sudah memiliki banyak pelanggan yang setia membeli roti buatan ibu mereka, sayang kalau tiba-tiba berhenti begitu saja.
Saking sibuknya di dapur menyiapkan berbagai macam roti, Kiran dan Tian hampir tak sadar bahwa hari sudah semakin sore. Aroma harum roti yang dipanggang memenuhi ruangan, membawa sedikit kehangatan di tengah hati mereka yang masih berduka. Tumpukan adonan yang siap dipanggang tersusun rapi di meja dapur, sementara oven terus bekerja tanpa henti.
"Yang varian matcha sudah pas sesuai pre-order, Mbak, ini memang yang paling banyak dipesan," Tian mengingatkan sambil menata loyang berisi roti matcha ke dalam oven.
"Kalau yang tiramisu kurang berapa lagi?"
"Dua puluh dua lagi, Mbak. Sama ini yang terakhir rasa original, kurang dua belas. Yang lainnya udah siap,"
Kiran menghela napas lega, meski lelah, mereka hampir selesai. "Oke, kita harus gercep, biar semuanya selesai tepat waktu."
Tian mengangguk, lalu memeriksa timer. "Kalau kayak gini terus, kita bisa mulai ekspansi kecil-kecilan, Mbak. Siapa tahu nanti bisa buka toko roti sendiri."
Mendengar itu, Kiran tersenyum. “Amin. Mbak yakin, usaha ini bisa jadi besar kalau kita tekun. Untuk Ibu juga.”
"Heem Mbak, Amin."
Begitu pekerjaan mereka yang dikerjakan dari pukul sebelas siang itu akhirnya selesai juga pukul delapan malam, mereka berdua lega sekali juga senang karena banyak yang menyukai kue buatan ibu mereka.
"Kamu mandi dulu sana, udah bau banget telur." Kata Kiran menyuruh adiknya itu untuk segera membersihkan diri.
"Ye...Mbak sipaling harum karena udah lebih dulu mandi!"
Kiran tertawa kecil mendengar protes Tian. "Ya, kan Mbak duluan yang selesai beres-beres. Lagian, Mbak nggak seterburu-buru kamu tadi."
Tian hanya menggeleng dengan senyum di wajahnya. "Iya, iya, Mbak. Aku mandi sekarang deh, sebelum kamu bilang aku kayak adonan yang nggak jadi."
Kiran tersenyum puas sambil memandang punggung adiknya yang berjalan menuju kamar mandi.
Setelah memastikan dapur bersih, Kiran duduk sejenak di meja makan. Rasa lelahnya mulai terasa, tetapi di dalam hatinya ada kebanggaan dan rasa syukur saat ia bisa merasakan mendapatkan uang dengan cara yang benar seperti ini, setidaknya tanpa harus merendahkan diri dibawah kendali pria itu.
Ngomong-ngomong soal dia, Kiran belum memeriksa handphonenya lagi. Setelah lima hari, ia sengaja mematikan ponselnya untuk menenangkan diri. Namun, karena merasa sudah waktunya akhirnya ia mengambil ponsel di kamarnya. Dengan perasaan yakin, Kiran menyalakan ponselnya dan melihat layar mulai menyala, notifikasi bertubi-tubi masuk—pesan-pesan dari teman, keluarga ibunya, serta pesan spam dan beberapa panggilan telepon dari Ailard.
Ia sempat ragu untuk membuka pesan itu. Namun akhirnya ia membuka juga. Begitu membaca semua text-nya, Kiran menghela nafas panjang, begitu rentetnya segala macam perintah, pemaksaan dan kata-kata kasar yang Ailard layangkan untuknya.
Mas Ailard
Saya ada didepan rumah kamu.
Begitu pesan baru masuk, Kiran segera bergegas mengintip dibalik jendela dan benar saja ada mobil pria itu didepan pekarangan rumahnya.
Kirana Cahyaning
Iya Mas, aku keluar sekarang.
Kirana segera masuk kedalam mobil Ailard begitu pria itu memberikan pertanda, dengan langkah yang berat akhirnya ia mengikuti keinginan pria itu.
"Enak ya malas-malasan tidak bekerja?" Begitu Kiran masuk, ia segera ditodong pertanyaan oleh Ailard dengan nada suara tak bersahabat begitu juga dengan sorot mata tajamnya.
"Aku sudah meminta izin sama ibu Tiara, Mas, jadi ngga ada tuduhan yang seharusnya kamu layangkan sama aku."
"Fuck you Kirana, berani kamu jawab saya seperti itu?!" Nada suaranya mengeras kala perempuan itu berani terang-terangan menggunakan nama ibunya untuk beralasan. Ailard sangat marah lantaran Kiran tidak lebih dulu meminta izin padanya, juga perempuan ini yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar sepeninggal ibunya perempuan ini.
"Maaf Mas."
"Jangan beralasan, saya tidak memiliki toleransi untuk menerima semua macam tingkah laku kamu Kirana. Sekarang saya tanya, apa kamu tahu salah kamu dimana?" Ia menekan dengan pertanyaan yang tentunya sudah Kiran antisipasi akan ditanyakan Ailard.
"Iya Mas, maaf karena aku tidak meminta izin lebih dulu sama kamu."
"Kamu pikir dengan maaf saja cukup, begitu?"
"Mas maunya apa?"
Ailard ini seperti sedang diuji seorang perempuan yang sedang ia sukai saja padahal aslinya tidak seperti itu. Ia mengeraskan rahangnya hingga urat-urat lehernya kentara kala Kiran benar-benar mempermainkannya.
"Apa kamu lupa siapa yang menggaji kamu, Kirana? Siapa yang memastikan kamu bisa membayar hutang keluargamu itu?"
Kiran menatap lurus ke depan, berusaha tetap tenang. "Aku tahu, Mas. Tapi Aku cuma minta waktu untuk berduka setelah kehilangan ibuku, apa itu terlalu banyak?"
"Berduka? Lima hari, Kirana. Lima hari tanpa kabar! Kamu pikir saya ini bisa dipermainkan?!" Nada suaranya makin tinggi, napasnya terdengar berat.
"Aku butuh waktu Mas."
Ailard mendekat, menatapnya dengan tajam. "Melunjak kamu ini ya? Sudah lama tidak saya beri hukuman keras sama kamu huh?"
"Sex kasar? Itu hukuman kamu? Merendahkan aku sebagai perempuan rendahan, begitu?" Ia menjeda ucapannya kala bicaranya sudah mulai berani didepan pria dominan ini, saat ia berpikir ketika semuanya sudah tidak artinya lagi dipekerjakan rendahan begini ia jadi lebih berani. "Aku bilang aku butuh waktu Mas."
"What do you say?" Tangan Ailard bergerak dan akhirnya mencengkram dagu Kiran cukup kuat. Emosinya semakin terpancing karena memang sedang dalam keadaan tidak baik suasana hatinya, dimulai sejak Kirana tidak berada berkeliaran disekitarnya selama lima hari terakhir.
Kiran menatap mata Ailard, dan untuk pertama kalinya, ia tidak merasa takut. Ada sesuatu dalam dirinya yang meletup-letup, mungkin rasa lelah yang telah menumpuk atau rasa muak yang tak lagi bisa ia bendung. "Aku hanya ingin dihormati, atas waktuku Mas. Iya aku tahu, aku berkerja sama kamu tapi ngga dengan cara kamu yang selalu seenaknya."
Ailard mendengus, tangan yang mencengkram dagu Kiran semakin kuat hingga ia hampir merasa kesakitan. "Dihormati? Kamu ini sudah gila karena sepeninggal ibu kamu huh? Lima hari tidak saya awasi jadi punya nyali kamu berkata seperti ini?"
"Iya, lagipula aku ngga salah kan mengambil hak libur yang sudah diberikan Bu Tiara?"
Ailard semakin berang dengan tingkah laku perempuan ini yang berubah liar dalam waktu yang sangat cepat. "Ini kamu berani sekali bicara seperti ini, Kirana. Kamu pikir kamu siapa?" Ailard melepaskan cengkramannya dengan kasar, membuat Kiran tersentak mundur di kursi.
Kiran, meskipun merasa takut, mersa tak ingin kembali ke posisinya semula, terintimidasi oleh Ailard. “Aku tahu siapa aku, Mas. Aku bukan boneka yang bisa kamu tarik ulur semau kamu,” jawabnya dengan suara gemetar tapi penuh tekad. “Aku cuma minta hakku sebagai manusia yang berduka. Kalau Mas ngga bisa hargai itu, mungkin kita memang harus bicarakan ulang semua ini.”
Mata Ailard semakin menyipit, amarahnya tampak semakin memuncak. "Bicarakan ulang?Are you stupid Kirana?"
"Ya, kita bisa bicarakan ulang tentang semuanya, tentang Mas juga yang suka berlaku seenaknya padaku." Jawabnya dengan tenang, itu justru yang membuat Ailard semakin terpancing.
"Cih! Jadi sekarang kamu ada kekuatan untuk mengancam saya? Kamu lupa siapa yang punya kuasa di sini, Kirana? Saya bisa menghancurkan kamu kapan pun saya mau."
Kiran menahan napas, ia tahu betapa berbahayanya ucapan Ailard ini. Pria itu tak pernah main-main dengan ancamannya, dan ia benci sekali jika merasa diabaikan atau dikalahkan. Namun, di balik semua ketakutan itu, ada keyakinan yang mulai tumbuh dalam dirinya.
Kiran menatapnya dengan tatapan penuh kepastian. "Aku ngga mengancam, Mas. Aku cuma minta dihargai. Aku tahu kamu berkuasa atas diriku yang sudah menjual diri sama kamu, tapi itu ngga bikin kamu benar untuk memperlakukan aku seenaknya Mas!"
Ailard menahan napasnya, entah kenapa ia harus menahan emosinya ini lebih dulu padahal selain Kirana ia pasti sudah memberikan perhitungan yang tegas, namun dengan perempuan ini ia ingin banyak bersitegang, ingin tahu sebesar apa nyali yang dimiliki Kirana.
"Kamu benar-benar lupa diri, ya? Perempuan rendahan yang dengan wajah memelas memohon pada saya untuk membeli harga diri dan tubuh kamu? Lupa kalau kamu ini jalang saya yang kamu sendiri meminta untuk diperlakukan selayaknya seorang pelacur?"
Kiran tahu, dengan setiap kata yang keluar dari mulutnya, ia sedang mengadu nasibnya dengan pria yang tak pernah menerima kekalahan atau tantangan terhadap otoritasnya. Tapi kali ini, dia sudah tak bisa lagi diam dan terus menunduk.
"Iya Mas aku tahu, aku sangat ingat bagaimana aku bisa terikat sama kamu tapi bisakah aku memohon kali ini saja aku butuh waktu sendiri? Aku bakal balik setelah waktuku pas satu Minggu memulihkan diri."
Kiran sadar ia baru saja menentang pria ini. Mungkin dia baru saja memulai pertarungan yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri, tapi untuk pertama kalinya, dia merasa punya kekuatan untuk tidak bisa dikendalikan oleh Ailard.
Dan ekspresi pria ini sangat tidak diduga-duga, tadinya ia mengeras dan kali ini ia terkekeh pelan, tidak itu adalah aura yang sangat berbeda dari sebelumnya. Ailard melepaskan ketegangan di wajahnya dengan senyum yang aneh, senyum yang membuat Kiran merasa merinding.
Ailard sendiri menatap wajah perempuan yang sudah berani membangkang dirinya, ia tatapi seluruh bagian dan sudut wajah Kirana, hingga sampailah dititik bagian yang membuatnya ingin merasakan perempuan ini lagi setelah ia tak merasakannya selama beberapa hari belakangan.
"Kamu pikir kamu bisa lari dari saya begitu saja, Kirana?" tanyanya pelan, suaranya rendah namun penuh ancaman. "Kamu bisa meminta waktu, kamu bisa memohon, tapi ingat... saya tidak pernah membiarkan apa pun berjalan sesuai kehendak orang lain, terutama kamu."
Kiran menahan napas, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Senyum Ailard yang tiba-tiba itu hanya membuat perasaannya semakin tidak nyaman.
"Kalau begitu aku bolehkah ambil waktuku sendiri tanpa harus diganggu Mas dulu kan? aku harap Mas bisa mengerti, apalagi sudah ada janji berupa waktu yang diberikan ibunya Mas Ailard."
Kirana ini memang sudah melewati batas yang Ailard miliki dan ia sudah muak sekali melihat tingkah belaga perempuan ini, tanpa meminta izin dan memang kebiasannya yang seenaknya sendiri ia bungkam bibir rendahan milik Kirana, menunjukkan padanya siapa yang masih berkuasa.
"Hmphhh...Mas...stop..."
Kiran berusaha menahan tangis saat pria ini berhasil kembali menyentuhnya. Hanya dalam beberapa detik, rasa takut yang sempat hilang kembali muncul. Dia berusaha melepaskan diri dari cengkraman pria itu, namun kekuatannya tak sebanding.
"Mas, tolong..." suara Kiran terdengar putus asa.
Ailard berhenti sejenak, menatap mata Kiran yang penuh ketakutan. "Kamu harus ingat tempatmu, Kirana. Tanpa saya kamu itu akan jadi pelacur yang menjajakan tubuhnya di dekapan banyak pria hidung belang!"
Kiran terdiam. Kali ini, ia menyadari bahwa meski ia ingin melawan, situasinya tak akan mudah. Ailard bukan hanya pria yang dominan, tapi juga tak kenal ampun ketika merasa kekuasaannya terganggu.
Namun, begitu Ailard akan mengeksekusi kembali bibirnya, tangan Kiran bergerak keras menampar wajah Ailard dengan sekuat tenaga yang ia miliki. Dentuman suara tamparan itu terdengar keras di dalam mobil, membuat suasana tiba-tiba hening.
Ailard terdiam, matanya terbelalak karena tidak percaya bahwa perempuan yang selama ini dia kontrol dengan mudah, berani melawan untuk pertama kalinya dengan menggerakkan tangannya menampar Ailard.
"Mas... A-aku ngga sengaja aku sungguhan..."
Ailard menyentuh pipinya yang memerah, dan dalam sekejap amarahnya membara. Rahangnya mengeras, napasnya memburu. "Kamu berani...," katanya pelan namun mengandung ancaman yang nyata. "Berani sekali kamu menampar saya, Kirana!" Pekik pria itu keras sekali hingga membuat Kirana kembali menyadari bahwa ia baru saja berbuat masalah besar dengan pria ini.
"Keluar dari mobil saya sekarang!"
"Mas aku—"
"Fuc*ing you slut*y!"
Kirana segera keluar dari sana begitu raut wajah Ailard begitu suram serta emosinya seperti terlihat akan meledak. Namun, setelah Kirana keluar dari mobil Ailard, bukan rasa takut yang memenuhi dirinya, melainkan kelegaan yang tiba-tiba menyeruak. Dan ia tahu, pria itu ada di titik yang mana.