Marriage Is Scary...
Bayangkan menikah dengan pria yang sempurna di mata orang lain, terlihat begitu penyayang dan peduli. Tapi di balik senyum hangat dan kata-kata manisnya, tersimpan rahasia kelam yang perlahan-lahan mengikis kebahagiaan pernikahan. Manipulasi, pengkhianatan, kebohongan dan masa lalu yang gelap menghancurkan pernikahan dalam sekejap mata.
____
"Oh, jadi ini camilan suami orang!" ujar Lily dengan tatapan merendahkan. Kesuksesan adalah balas dendam yang Lily janjikan untuk dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma Syndrome, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di bawah Bulan
“Kamu suka nyanyi dari kecil?” tanya Calvin yang kini sudah duduk disamping Agatha setelah Agatha menyelesaikan satu lagu.
“Nggak,” kata Agatha sambil menggeleng.
“Terus?”
“Aku suka main gitar gara-gara mantanku.”Selama berpacaran, Barra dengan sabar mengajari Agatha bermain gitar. Dia selalu meyakinkan Agatha jika bermain gitar bisa menghilangkan kesedihan.
Calvin tampak tertarik dengan cerita Agatha. “Gamon?” ujarnya.
Agatha hanya meringis sambil meletakkan gitarnya. Dia meluruskan kaki sambil memandang kosong ke arah langit. Kenangan pahitnya mendadak berputar, memaksa Agatha untuk berperang dalam kekalutan.
“Aku pacaran sama cowok selama tiga tahun, tapi kalah sama cewek yang dia kenal satu minggu,” ujar Agatha mulai membuka suara.
“Selama pacaran, dia baik banget. Nggak pernah aneh-aneh sama sekali. Bahkan, kita udah ada rencana buat tunangan.”
“Tapi, semuanya berubah waktu di tempat kerjanya ada anak baru.” Agatha memejamkan matanya sekilas, lalu menelan ludah dengan susah payah. Dia memaksa ingatannya mundur kebelakang, mengingat semua kejadian pahit yang membuatnya begitu membenci Barra.
Calvin terus mendengarkan cerita Agatha tanpa berniat memotong ucapannya. Dia sendiri penasaran dengan Agatha. Di balik sosoknya yang ceria dan ceplas-ceplos, ternyata Agatha menyimpan luka yang tak biasa.
“Akhirnya, pertunangan kita batal karena dia ketahuan nginep di hotel.”
“Sama anak baru itu?” tebak Calvin yang memang tepat sasaran.
“Hmm,” gumam Agatha. Matanya terus memandang kosong ke arah langit.
“Sampe sekarang aku masih suka mikir. Aku kurang apa ya buat dia? Sampe dia selingkuh padahal hubungan kita udah tiga tahun.”
“Dia rela ninggalin aku demi cewek yang baru dikenal seminggu,” lirih Agatha dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Jika mengingat kejadian itu, rasa sakit di dada Agatha masih saja tersisa.
Agatha tidak menangisi orangnya, tapi dia menangisi dirinya sendiri.
“Kamu nggak kurang apa-apa, dia aja yang nggak bersyukur,” kata Calvin. Sudut matanya menangkap mata Agatha yang sudah berkaca-kaca. Dia sangat yakin, dalam waktu beberapa detik lagi, air matanya akan tumpah.
Benar saja, air mata Agatha tumpah begitu saja. Dia menangis dalam belaian malam dan kehampaan udara. Jejak memori yang begitu menyakitkan membuatnya tak berdaya.
Lucas yang sedang asik melukis mendadak menoleh, mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saat melihat Agatha menangis, dia kembali fokus pada lukisannya. Bukan karena tidak peduli, tapi dia paham dengan apa yang sedang terjadi.
Calvin mengangkat tangan, mengelus kepala Agatha dengan lembut. Dia bingung harus berkata apa karena kisah cintanya bahkan lebih tragis dari kisah Agatha.
Agatha mendongak, menepis tangan Calvin lalu menghapus sisa-sisa air matanya.
“Maaf, reflek suka ngelus.”
“Maksudnya, nenangin kalo ada yang nangis,” sambung Calvin salah tingkah.
“Ck, buaya banget. Pasti jadi pahlawan kalo ada cewek rapuh,” ejek Agatha.
“Lagi sedih aja mulut kamu pedes!” seru Calvin sambil melirik sebal. Dia beranjak berdiri, mengambil air mineral dan menyerahkannya kepada Agatha.
“Nggak usah sedih lagi, kamu harusnya bersyukur karena dijauhkan dari cowok brengsek itu.”
Agatha menerima air mineral itu, lalu meneguknya dengan perlahan.
“Bukannya semua cowo brengsek ya?” tanya Agatha.
“Nggak kok. Kalo cowok udah jadi ayah pasti tobat.”
“Nggak juga, tetanggaku udah punya anak tetep aja gila. Ya gila cewe, gila judi, bahkan gila segalanya.”
Calvin mendengus, lalu berkata, “kan tetanggamu, tetanggaku nggak.”
“Intinya semua cowok brengsek,” balas Agatha seraya meletakkan botol tak jauh darinya.
“Bapak kamu termasuk?”
“Kecuali dia.”
“Sodara kamu?”
Agatha menghela napas kasar, “kecuali mereka!”
“Kata kamu semuanya,” goda Calvin.
“Nggak tau! Ngeselin banget, sih, jadi cowok! Dah, aku mau tidur,” kata Agatha seraya berdiri hendak masuk ke dalam rumah.
“Good night, semoga nggak mimpi mantan,” ledek Calvin saat Agatha mulai berjalan memasuki rumah.
“Amit-amit!” seru Agatha dengan sedikit keras lalu berlalu tanpa menoleh lagi ke arah Calvin. Tapi, entah kenapa Agatha merasa sedikit lega setelah mengeluarkan isi hatinya pada Calvin.
***
Setelah kepergian Agatha, Calvin memilih untuk menyusul Lucas dan mengamati lukisan Lucas yang tampak begitu indah.
“Jasmine?” tanya Calvin saat melihat lukisan seorang wanita cantik sedang duduk di bawah terangnya bulan.
Lucas menggeleng, lalu menaruh kuasnya di atas palet.
“Masih inget sama Jasmine?” tanya Calvin lagi, seolah tidak menyerah pada rasa penasarannya.
Lagi-lagi Lucas hanya menggeleng perlahan, tanpa memberikan sepatah katapun.
“Oh, Kakak kamu?” tebak Calvin yang saat ini memang benar.
“Hmm,” gumam Lucas sekilas.
Sejak setengah jam yang lalu, Lucas sedang memikirkan sang Kakak sekaligus mantan kekasihnya. Dia tidak akan lupa dengan hari Kamis, hari dimana kakaknya mengalami kecelakaan dan meninggal, serta hari dimana Jasmine, sang kekasih, memilih selingkuh dengan lelaki lain.
Peristiwa itu begitu menyesakkan, hingga hampir membuat Lucas gila. Dia harus kehilangan dua wanita sekaligus, tanpa terkecuali.
“Nggak mau cari cewek lagi?” Calvin menyandarkan punggungnya pada kursi, lalu menatap bulan yang tampak begitu cerah dan indah.
“Belum. Kamu sendiri gimana?” tanya Lucas balik.
Calvin menggeleng, menandakan jika dirinya belum mau mencari kekasih. Dia masih mengingat jelas wajah kekasihnya yang meninggal dua tahun lalu. Hingga saat ini, Calvin tidak pernah berpacaran lagi meskipun banyak wanita di hidupnya.
Calvin dan Lucas memang sama-sama pemain wanita. Mereka sering meniduri wanita-wanita cantik tanpa memiliki perasaan. Tapi, soal cinta, keduanya tampak mati rasa.
Cinta Lucas habis termakan oleh rasa sakit. Sedangkan cinta Calvin habis terbawa oleh kematian.
“Mungkin suatu saat nanti,” ujar Calvin setelah beberapa saat keduanya bungkam.
“Hm, mungkin suatu saat nanti,” jawab Lucas singkat. Jawaban itu lebih tepat untuk dirinya sendiri.
Lucas meraih gelas, menyesap sisa kopi pahit yang sudah dingin. Dalam pahitnya rasa, Lucas memejamkan mata dan menelan kepahitan itu.
“Aku penasaran,” kata Calvin membuat Lucas menoleh ingin tahu.
“Apa Isaac benar-benar berubah?” taya Calvin.
Lucas menghela napas kasar. Ingatannya kembali pada saat di Virgo club, saat dirinya melihat Isaac bersama wanita lain masuk ke dalam kamar. Tapi, dia juga melihat bagaimana Isaac dengan sabar merawat istrinya setelah kecelakaan.
Lucas juga melihat bagaimana Isaac sudah berubah menjadi lebih baik, setidaknya hingga sekarang.
“Aku yakin dia berubah,” kata Lucas mantap, namun hatinya ada secuil keraguan.
“Aku ragu,” kata Calvin, namun hatinya sedikit yakin.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, keduanya kembali terdiam, sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Malam semakin pekat dan dingin, bulan sedikit tertutup oleh awan membuat Lucas memberesi alat lukisnya. Sementara itu, Calvin memberesi meja dan bersiap untuk tidur.
Malam ini menjadi malam terindah bagi mereka berlima, meski ada secuil keraguan terhadap hati yang mereka miliki. Setidaknya, kebahagiaan sempat mereka genggam, tanpa tau kapan harus terlepas.
biar semangat up aku kasih vote utkmu thor