Ini kisah tentang kakak beradik yang saling mengisi satu sama lain.
Sang kakak, Angga Adiputra alias Jagur, rela mengubur mimpi demi mewujudkan cita-cita adik kandungnya, Nihaya. Ia bekerja keras tanpa mengenal apa itu hidup layak untuk diri sendiri. Namun justru ditengah jalan, ia menemukan patah hati lantaran adiknya hamil di luar nikah.
Angga sesak, marah, dan benci, entah kepada siapa.
Sampai akhirnya laki-laki yang kecewa dengan harapannya itu menemukan seseorang yang bisa mengubah arah pandangan.
Selama tiga puluh delapan hari, Nihaya tak pernah berhenti meminta pengampunan Angga. Dan setelah tiga puluh delapan hari, Angga mampu memaafkan keadaan, bahkan ia mampu memaafkan dirinya sendiri setelah bertemu dengan Nuri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Perut yang lapar sudah terisi dan kini masing-masing orang kembali pada urusannya. Paman bibi pulang ke rumahnya, sementara Angga dan Nuri bergantian membersihkan diri. Ibu belum beranjak tidur karena masih ingin menemani tamunya sampai memasuki kamar. Ibu terlibat obrolan di ruang tamu bersama Aji sembari menunggu Angga dan Nuri kelar bebersih.
Nuri datang lebih dulu.
"Mbak Nuri, jika berkenan pakai saja baju ganti milik adiknya Angga. Ini ibu cari ada yang masih baru belum dipakai sama sekali. Apakah Mbak Nuri mau?" tanya ibu memastikan, takut Nuri tak nyaman.
"Saya mau Bu. Baju yang saya pakai sudah kotor, tidak nyaman lagi kalau terus dipakai."
Ibu mengangguk lega seraya tersenyum. Beliau menyerahkan baju yang masih baru milik Nihaya. Hanya satu yang ibu sisakan setelah dibagi-bagikan kepada orang lain.
Tidak lama Angga datang menyusul.
"Ibu, Mas Angga, apa boleh saya tidur di kamar Nihaya?" pinta Aji dengan penuh harap.
Ibu, Angga dan Nuri praktis menoleh kepada Aji. Permintaan Aji menautkan alis mereka, lantaran jarang ada yang request kamar ketika numpang menginap. Untuk beberapa saat ibu dan Angga masih terdiam. Andai saja yang menginap hanya Aji seorang, Angga dan Ibu sudah pasti mengiyakan dengan senang hati. Yang menjadi pertimbangan mereka adalah Nuri.
Nuri tadinya mau ditempatkan di kamar Nihaya, dan Aji bakal tidur bersama Angga di kamarnya. Tetapi karena Aji meminta kamar Nihaya, Angga jadi memutar otak. Tidak mungkin kan Aji dibiarkan tidur bersama Nuri mengingat mereka hanya sepupu dari pihak ibu. Takut terjadi apa-apa.
Sebenarnya mudah. Berikan saja kamar Angga kepada Nuri, dan Angga tidur bersama Aji di kamar Nihaya. Semacam tuker kamar saja. Tetapi yang menjadi permasalahan ada di Angga sendiri. Ibu tahu putranya tidak mudah membiarkan orang lain tanpa dirinya masuk ke dalam kamarnya. Jadi ibu tidak bisa membuat keputusan kecuali Angga sendiri yang mempersilahkan.
Angga yang menggosok-gosok rambut basahnya dengan handuk menjadi pusat perhatian. Terlalu lama tak ada jawaban akhirnya Nuri berinisiatif mengomentari sepupunya. Nuri hanya kepengen tahu reaksi Angga.
"Tidur di depan tivi saja Ji, temani Mbak."
Aji baru mau menjawab, langsung dipotong Angga. "Nggak, Aji boleh kok tidur di kamar Nihaya. Kamu tidur di sana aja Ji, gak apa-apa. Saya dan Ibu mengijinkan. Iya kan bu?"
"Iya le. Nak Aji boleh beristirahat di kamar itu. Ayo ibu tunjukkan."
Ibu dan Aji pergi menyisakan dua insan yang saling terdiam.
"Mbak tidur di kamarku saja. Biar aku sama Aji." Ujar Angga memecah keheningan.
"Baiklah kalau begitu."
"Tapi aku mau Mbak tunggu sebentar disini dulu." Angga buru-buru masuk ke dalam kamarnya. Ia membereskan kekhawatiran, sekaligus penyebab kenapa ia tidak mau ada orang lain berbeda gender masuk ke dalam kamar pribadinya.
Angga terpaku melihat kasurnya yang tak lagi sempurna. Dia mengambil bedcover untuk melapisi atas kasur yang bergerinjul, serta mengambil selimut baru di dalam lemari untuk Nuri pakai. Selimut yang bolong-bolong dia sembunyikan di dalam lemari.
Gantungan di belakang pintu dia periksa. Meja dan lantai tidak luput dari perhatiannya. Sela-sela pinggiran tempat tidur juga dia longok khawatir ada benda privasi macam kolor dan semvak berserak disana. Tapi itu tidak mungkin, karena Angga bukan tipe orang yang jorok seperti itu. Angga hanya kelewat kritis pada dirinya sendiri hingga barang-barang yang dia punya butut semua. Dia selalu mengutamakan kepentingan keluarga.
Sudah beres, tak lupa Angga menyemprotkan sedikit minyak wangi ke atas tempat tidur. Itu bukan minyak wangi sungguhan, melainkan kispray yang diberi air. Kamar sudah sempurna untuk disinggahi Nuri. Angga pun ingin segera memberitahu wanita itu kalau urusannya sudah selesai. Baru berbalik badan menuju pintu, Angga terjingkat. Nuri ada di ambang pintu yang lupa ditutup sembari menyilangkan tangan. Ia tersenyum kepada Angga.
Angga garuk-garuk kepala, salah tingkah, tersenyum canggung, dan entah apalagi.
...****...
Di dalam kamar Nihaya.
Aji terbaring menyamping ke arah tembok memunggungi Angga. Punggung Aji Prasetyo bergetar. Isakan tangis pun samar-samar terdengar menyesakkan. Kalau saja tidak ada Angga bersamanya, Aji sudah berbicara sendiri mengungkap kerinduan sekaligus penyesalan karena gagal melindungi Nihaya. Tanpa Aji sadari, sesungguhnya ada yang lebih menyesal ketimbang dirinya. Orang lebih menyesal itu mengepalkan tangan erat-erat.
"Ikhlaskan saja apa yang sudah pergi. Kita hanya bisa mendo'akan, serta mencari keadilan untuknya."
Aji yang terisak menjawab petuah Angga, "nggih Mas. Aku.. maaf, aku hanya ingin menumpahkan rasa yang---hiks.. hiks.. hiks.. " Aji kembali menangis, tidak bisa melanjutkan kalimatnya.
Sementara di kamar sebelahnya, Nuri tidak bisa tertidur. Wanita itu malah berkeliling kamar memperhatikan benda yang ada. Ia menatap samurai yang terpajang di tembok. Pedang juga tak luput dari perhatian, serta ada banyak belati berjejer dari berbagai ukuran. Nuri mengeryitkan dahi, penasaran kepada Angga laki-laki seperti apa dirinya?
Ketika menyusuri meja, Nuri menemukan sebuah buku yang cukup menyita perhatian. Buku itu bersampul hitam tebal, diluar ada tulisannya jangan dibuka. Nuri pun mengerti, sehingga ia tidak membukanya karena etika. Tetapi.. Nuri sangat penasaran akan sosok Angga.
Dia pun memilih menaruh buku itu kembali lalu berbalik badan merebahkan tubuhnya di kasur yang harum dan nyaman. Terlalu di pinggir, buku yang Nuri letakkan jatuh dengan posisi terbuka seakan-akan semesta ingin Nuri membaca buku tersebut.
Sekilas isinya mirip buku diary. Dan yang paling menyita atensi Nuri adalah keinginan Angga membunuh seseorang. Di tulisan itu juga menyebutkan kalau Angga tidak peduli dengan nasibnya yang akan berakhir di penjara sekalipun. Angga ingin Balong tiada.
Semoga Balong tiada, tapi bukan kamu yang membunuhnya Mas. Aku berusaha memastikan itu.
.
.
.
Bersambung.