Samuel adalah seorang mantan atlet bela diri profesional, selain itu ia juga bekerja paruh waktu sebagai kurir makanan, namun semuanya berubah saat kiamat zombie yang belum di ketahui muncul dari mana asalnya membawa bencana bagi kota kota di dunia.
Akankah Samuel bertahan dari kiamat itu dan menemukan petunjuk asal usul dari mana datangnya zombie zombie tersebut?!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baby samuel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berlari dari maut
Samuel menahan napas saat pintu apotek berderit terbuka. Udara pagi yang segar menerpa wajahnya, membangunkan inderanya setelah kegelapan malam yang menakutkan. Namun, tidak ada rasa nyaman yang menyelimuti mereka; di luar, dunia telah berubah menjadi neraka. Di sebelahnya, Darius berdiri dengan tameng kayu di tangan kirinya, pisau belati militer di tangan kanannya. Mereka telah bertahan cukup lama di apotek itu, tetapi dunia luar menawarkan sedikit harapan. Hanya 500 meter lagi, mereka harus mencapai swalayan besar yang menjadi target mereka berikutnya. Di sana mungkin ada lebih banyak makanan, senjata, atau mungkin—hanya mungkin—tempat berlindung yang aman.
“Kita harus bergerak sekarang,” bisik Samuel, menatap jalan sepi yang membentang di depan mereka.
Darius mengangguk tanpa bicara, dan mereka berdua mulai berlari. Cahaya matahari pagi mulai menyinari jalanan yang hancur, dengan mobil-mobil terbalik, sampah berserakan, dan beberapa tubuh tak bernyawa yang berserak di trotoar. Suara burung yang bernyanyi terdengar aneh di tengah kehampaan, seolah-olah alam berusaha melanjutkan hidupnya meski dunia telah runtuh.
Mereka berlari tanpa suara, hanya napas mereka yang terdengar. Tangan Samuel menggenggam erat tombak kayu di tangan kanan, sedangkan perisai kayu yang ia bawa siap di tangan kirinya. Meskipun ia tidak pernah terbiasa dengan senjata primitif seperti ini, mantan juara bela dirinya mampu beradaptasi dengan cepat. Setiap langkah terasa seperti pertarungan untuk tetap hidup, dan Samuel tahu bahwa mereka harus terus bergerak.
Namun, hanya beberapa ratus meter dari swalayan, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Darius, dengan semua kekuatannya yang melebihi rata-rata manusia biasa, terpeleset. Kakinya kehilangan keseimbangan ketika dia menginjak sesuatu yang licin—darah beku yang tertinggal di aspal. Dalam sekejap mata, tubuh besarnya jatuh dengan keras ke sisi sebuah mobil. Bunyi benturan logam dan daging terdengar jelas, diikuti oleh bunyi **"HONK!"** yang menusuk telinga.
Mobil itu—sebuah sedan tua—membunyikan klakson darurat dengan keras dan panjang, menghancurkan keheningan pagi. Samuel terdiam sejenak, matanya melebar saat mendengar suara yang membangunkan kembali kengerian yang telah tertidur. Dalam satu detik yang terasa seperti selamanya, dia tahu apa yang akan terjadi.
Zombie.
Dari setiap sudut, dari celah-celah yang tersembunyi di antara bangunan dan reruntuhan, suara rintihan yang rendah dan menyeramkan mulai terdengar. Samuel menoleh ke arah Darius, yang terbaring meringis kesakitan di samping mobil. Zombie-zombie itu bisa mendengar mereka sekarang. Mereka akan datang.
“Darius! Bangun!” teriak Samuel dengan nada terdesak.
Darius meringis, berusaha bangkit. Tetapi sebelum ia berhasil sepenuhnya berdiri, Samuel sudah melihat bayangan pertama—gerombolan mayat hidup berlari dengan cepat ke arah mereka.
“Cepat, mereka datang!” Samuel melangkah maju, bersiap menahan serangan pertama jika diperlukan. Perisainya terangkat, tombaknya siap menusuk apa pun yang mendekat.
Darius akhirnya berdiri, wajahnya berkerut menahan sakit dari benturan tadi. "Sial... aku terlalu ceroboh," gumamnya.
Zombie-zombie itu semakin dekat, dan Samuel tahu bahwa pertempuran ini akan menjadi lebih buruk daripada yang mereka hadapi di apotek.
Darius melangkah ke samping Samuel, tameng kayu diangkat tinggi-tinggi. Mereka tahu melawan tidak mungkin berhasil jika mereka terjebak di tempat ini. Mereka harus menuju swalayan, tempat yang lebih strategis.
**"Kita lari!"** seru Samuel, tetapi sebelum mereka bisa bergerak, seorang zombie besar berwajah hancur berlari ke arah Darius, tangannya yang berdarah mengulurkan jari-jari tajam.
Dengan refleks cepat, Samuel mengayunkan tombaknya, menusuk tepat di leher zombie itu. Mayat hidup itu terjatuh, menggelepar di tanah. Samuel tidak berhenti untuk melihat. “Lari!”
Mereka berdua mulai berlari lagi, tetapi gerombolan zombie itu sekarang tak terhitung jumlahnya. Samuel bisa mendengar suara langkah kaki berat dan rintihan keras mereka yang mengikuti dengan cepat.
Salah satu dari mereka—seorang wanita zombie dengan rambut kusut dan pakaian robek—melompat dari samping bangunan dan hampir menabrak Darius. Dengan gerakan cepat, Darius menangkis dengan tameng kayunya, memukul zombie itu ke tanah dan menusuknya dengan pisau belatinya. Darah hitam muncrat, tapi Darius tak lagi memperhatikannya. Mereka harus terus berlari.
Jarak ke swalayan semakin dekat, tapi setiap langkah terasa seperti seribu.
“Kau yakin ini tempatnya aman?” tanya Darius, napasnya tersengal-sengal.
“Tidak ada yang aman sekarang,” jawab Samuel sambil mengelak dari serangan zombie yang berlari dari kanan. Dia menghantam perisainya dengan kuat ke kepala zombie itu, meremukkan tengkoraknya.
Di depan mereka, swalayan besar itu berdiri—bangunannya besar, dengan pintu kaca yang terbuka sebagian, mungkin hancur karena kerusuhan sebelumnya. Tetapi apa pun yang ada di dalam, itu adalah harapan terakhir mereka.
Beberapa langkah lagi. Samuel bisa mendengar suara zombie yang semakin mendekat, rintihan yang lebih menyeramkan, dan bayangan mereka yang menjulang di bawah sinar matahari pagi. Setiap napas terasa berat. Setiap langkah seolah melawan dunia.
Saat mereka mencapai pintu swalayan, Samuel dengan cepat mendorong pintu kaca yang tersisa, masuk ke dalam dan berbalik untuk menunggu Darius. Darius berlari menyusul, tetapi saat ia hampir sampai, satu zombie berlari dengan kecepatan mengejutkan dari belakang, menubruk punggung Darius.
Darius terjatuh ke lantai swalayan, terlempar oleh kekuatan benturan. Zombie itu segera mencoba menggigitnya, tetapi Darius, dengan tangannya yang masih memegang pisau, menikam perut mayat hidup itu tanpa ragu. Zombie itu jatuh mati di sebelahnya.
Samuel segera membantu menarik Darius bangun, sementara zombie lain sudah mulai menabrak pintu.
“Cepat!” Samuel mendesak, mereka berdua mendorong rak besar di dekat mereka untuk menghalangi pintu. Zombie-zombie itu menghantam kaca, tetapi rak dan barang-barang yang mereka tumpuk cukup kuat untuk menahan sementara.
Napasan mereka terengah-engah di dalam swalayan yang luas dan terang. Mereka sudah selamat—untuk saat ini.
“Kau hampir membunuh kita dengan bunyi klakson tadi,” Samuel menatap Darius dengan sedikit tawa pahit.
Darius tersenyum tipis, napasnya masih berat. “Aku tahu... aku tahu.” Dia mengusap keningnya yang masih berdarah sedikit akibat jatuh tadi.
“Kita harus mencari barang-barang yang berguna di sini,” Samuel melanjutkan, matanya menyapu ruangan yang terang dan berantakan. “Mungkin ada makanan, air, atau senjata. Kita butuh semuanya.”
Darius mengangguk, meski rasa lelah mulai merayap di tubuhnya. Di luar, rintihan zombie masih terdengar, mengancam di balik dinding kaca swalayan. Mereka mungkin selamat dari serangan pagi ini, tapi kiamat ini belum selesai.
Samuel menatap jauh ke dalam kegelapan swalayan, seolah-olah ada sesuatu di sana yang mengintai mereka—sesuatu yang lebih berbahaya daripada zombie di luar. Dan dengan detak jantung yang cepat, dia tahu satu hal pasti: mereka masih dalam bahaya.