Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Langit mulai menunjukkan warna oranye keemasannya ketika saya memutuskan untuk menunda meeting yang seharusnya berlangsung sore itu. Sumi, menatap dengan rasa penasaran yang mendalam.
"Mau bertemu siapa sih, Ran? Kok serius banget?" tanyanya, tidak bisa menyembunyikan keingintahuannya.
"Ada deh, gak papa kan sore ini di ganti besok pagi," balas ku cepat, berusaha menyembunyikan senyum.
"Iya gak papa," sahut Sumi sambil tersenyum lebar, seolah-olah ia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekedar pertemuan biasa.
Tanpa membuang waktu, aku bergegas menuju parkiran dan langsung meluncur ke mobil ku. Segera setelah pintu tertutup, aku mengambil ponsel dari tas dan menekan nama Kevin.
Sambil menunggu sambungan telepon, jantung ku berdegup kencang, antara gugup dan bersemangat.
["Hey, Kevin, aku bisa ketemu kamu di kafe, aku lagi otw?"] kata saya begitu Kevin mengangkat telepon.
Tidak butuh waktu lama bagi Kevin untuk menjawab,[ "oke siap, aku sudah di sini. Aku tunggu ya." ]
Matahari terbenam semakin dalam, mewarnai langit dengan nuansa merah dan ungu saat aku mengemudikan mobil menuju kafe tersebut.
Pikiran ku melayang, memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi malam ini. Kevin selalu punya cara untuk membuat hati ini berdebar.
Membelah jalanan ibu kota dengan kecepatan sedang, aku fokus mengendarai mobil sambil sekaligus mengirim pesan suara kepada Naura. Aku memintanya untuk pergi bersama bibik ke rumahnya lebih dulu, mengingat aku akan pulang malam nanti.
Tak ingin membuat bibik merasa khawatir dan tertekan, mengingat dia juga memiliki keluarga yang perlu diberi perhatian. Setibanya di kafe, aku memarkirkan mobil lalu melangkah menuju tempat tersebut.
Saat memasuki kafe, aku segera menghubungi Kevin melalui pesan untuk mengetahui meja di mana ia berada. Tanganku asyik memegang ponsel, menunggu balasan dari Kevin.
["Meja nomor tiga belas,"] jawab Kevin. Setelah itu, aku segera menyimpan ponselku dan berjalan mencari meja nomor tiga belas yang telah disebutkan Kevin.
Entah mengapa, ada perasaan berdebar di dadaku. Mungkin karena setelah sekian lama, aku akan bertemu dengan Kevin lagi.
Tak butuh waktu lama, mataku menemukan meja yang dimaksud. Benar saja, Kevin ada di sana. Begitu tampan dengan kaos oblong dan celana pendek yang dikenakannya.
Senyumku tak bisa terbendung saat melihat sosoknya. Aku pun bergegas menghampirinya, siap memulai percakapan kami..
"Sejujurnya, aku tidak menyangka kamu akan datang," ucap Kevin dengan sedikit terkejut.
Aku hanya tersenyum sembari duduk di sebelahnya. "Sebenarnya aku sempat ragu, tapi aku berusaha untuk datang demi teman," jawabku tulus.
Kevin tersenyum hangat, "Terima kasih, Rania. Sudah mau meluangkan waktu untuk bertemu denganku." Lalu dia menawarkan, "Kamu mau pesan apa? Aku yang akan traktir."
"Jus strawberry saja, dan tambahkan potato wedges," pesanku.
Kevin mengangguk dan segera memanggil pelayan yang melintas. Setelah Kevin memesan minuman dan cemilan untuk kami berdua, pelayan itu berlalu sambil berkata, "Baik, tunggu sebentar ya."
"Iya," jawab aku dan Kevin serentak. Kami tertawa kecil melihat kekompakan kami.
"Baiklah, Rania," ucap Kevin serius, "mari kita bicara langsung pada topik pertemuan kita."
Aku mengangguk, penuh penasaran, "Oke, Kev. Ayo, ceritakan semuanya."
"Apa kamu mau jadi pacar pura-puraku?" seru Kevin.
"Apa!" Kagetku bukan maiin.
"Aku tahu kamu pasti kaget, Rania. Tapi, tolong, ini demi ibuku," ucapnya.
"Tapi, Kevin, aku..." sempat bergumamku.
"Iya, aku tahu kamu istri orang, tapi hanya kamu yang bisa aku minta tolong untuk menyelamatkanku," ujarnya dengan wajah bersungut-sungut.
Sedangkan di dalam hatiku, aku berkata, "Sebenarnya, aku bukan istri orang, karena suamiku tak pernah perduli padaku." Aku tersenyum sendu memikirkan nasibku yang malang.
Kevin menatapku dengan tatapan yang bingung dan malu. "Aku tahu ini gila, Rania. Tapi, ibuku sedang sakit, dan dia ingin aku punya pasangan," ucapnya dengan nada putus asa.
Aku tersenyum dan mencoba mencairkan suasana. "Gak laku, ya, Kevin?" godaku sambil tertawa.
Wajah Kevin langsung merah karena malu. Aku tahu banyak perempuan di luar sana yang mau bersama Kevin, mungkin dia belum menemukan yang cocok untuknya.
"Aku cuma bercanda, Kevin," ucapku sambil tersenyum. "Lagian, kamu aneh minta tolong padaku, banyak kan yang suka sama kamu, Kevin. Mereka pasti mau membantu kalau kamu minta."
"Iya, tapi aku nyaman sama kamu," ungkapku tanpa berpikir.
"Ha?" Kevin terkejut.
"Eh, bukan maksudnya kamu pasti sudah berpengalaman untuk ngomong sama ibuku," jelaskan Kevin dengan wajah salah tingkah.
Tak lama pesanan kami datang, Kevin langsung menyeruput jus alpukatnya dengan lahap, seolah-olah sangat haus.
"Pelan-pelan, Kevin. Aku nggak akan minta kok," godaku.
"Loh?" Kevin heran, lalu menatapku bingung.
"Maksudku, minumnya semangat banget," lanjutku seraya tertawa. Kami pun menikmati minuman dan cemilan yang sudah kami pesan.
Setelah menikmati suasana yang cukup hangat, Kevin akhirnya menyampaikan maksudnya. "Jadi, gimana Rania? Apakah kamu mau membantuku?" tanyanya.
Aku merenung sejenak, lalu menjawab, "InsyaAllah, Kevin. Memangnya aku harus gimana?"
Kevin menjelaskan rencananya, "Jadi, besok kamu ikut aku ke rumah untuk bertemu dengan ibuku." Aku mengangguk, "Oalah, oke deh."
Kemudian, Kevin teringat sesuatu dan menambahkan, "Eh, tapi aku minta izin suami dulu ya? Takut kalau dia salah paham."
Aku langsung menanggapi, "Gak perlu, Gak penting."
Kevin menautkan kedua alisnya, merasa penasaran namun dia memutuskan untuk tidak terlalu mencampuri masalah rumah tanggaku.
Dia lebih memilih untuk tetap menikmati obrolan kita yang mengalir begitu saja. Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, hari semakin malam dan kami pun telah mengobrol cukup lama.
"Kevin, ayo pulang yuk?" Ajakku dengan rasa lelah, sekaligus ingin menyudahi pembicaraan yang terasa semakin menyentuh masalah pribadi.
"Ayok, kasian Naura nungguin di rumah," jawab Kevin, setuju dengan ajakanku dan memikirkan keselamatan anaku.
Aku pun segera mengambil tas dan berdiri dari kursi, diikuti oleh Kevin yang juga sudah bersiap untuk pulang. Kami melangkahkan kaki meninggalkan kafe yang telah menjadi saksi percakapan panjang kami.
Namun, sesaat setelah keluar dari kafe, aku tidak menyangka bahwa malam ini akan menjadi semakin buruk. Saat kami melangkah ke luar, aku tiba-tiba berpapasan dengan Adnan, suamiku, yang sedang bersama wanita yang telah menjadi selingkuhannya.
Mereka terlihat sangat mesra; Adnan memeluknya erat sambil tersenyum, dan wanita itu, Sandra, terlihat begitu manja dalam pelukannya. Hatiku seperti tersayat melihat pemandangan itu.
Perasaan marah, benci, dan kecewa bercampur menjadi satu. Aku merasa terhina, dikhianati oleh orang yang seharusnya menjadi pilar kehidupanku.
Sembari menahan tangis, aku berkata pada diriku, "Bagaimana mungkin orang yang telah bersama selama ini, tega melakukannya padaku? Apakah semua janji dan cinta yang pernah ia ucapkan hanyalah kebohongan belaka? Aku harus bisa menghadapinya, entah bagaimana, demi diriku dan anakku yang akan terus membutuhkan kekuatanku."
****