NovelToon NovelToon
CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

CAMARADERIE (CINTA DAN PERSAHABATAN)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Cinta Murni
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Leova Kidd

Guliran sang waktu mengubah banyak hal, termasuk sebuah persahabatan. Janji yang pernah disematkan, hanyalah lagu tak bertuan. Mereka yang tadinya sedekat urat dan nadi, berakhir sejauh bumi dan matahari. Kembali seperti dua insan yang asing satu sama lain.

Kesepian tanpa adanya Raga dan kawan-kawannya, membawa Nada mengenal cinta. Hingga suatu hari, Raga kembali. Pertemuan itu terjadi lagi. Pertemuan yang akhirnya betul-betul memisahkan mereka bertahun-tahun lamanya. Pertemuan yang membuat kehidupan Nada kosong, seperti hampanya udara.

Lantas, bagaimana mereka dapat menyatu kembali? Dan hal apa yang membuat Nada dibelenggu penyesalan, meski waktu telah membawa jauh kenangan itu di belakang?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leova Kidd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Si Alim nan Gemes

 

 

Setelah seminggu menghilang, suatu pagi Raga datang, lagi-lagi berdua dengan Kevin. Aku juga tidak tahu, kenapa belakangan itu si Kevin kerap muncul? Tak sadarkah dia bahwa kehadirannya cukup membuatku gundah gulana?

Melihat mereka duduk bersebelahan, kebimbangan yang kurasakan sama halnya seperti saat Ibu masak oseng terong, sementara Bapak membelikan sate ayam. Di satu sisi, kangen banget pada Raga dan merasa seakan ada yang hilang ketika dia tidak lagi menungguiku pulang sekolah. Di sisi lain, pesona seorang Kevin menciptakan sebentuk kegalauan.

“Kek mana cowok kemarin? Sudah jadian?” sindir Raga to the point.

“Cowok siapa?” Dahiku mengerut. Dasar ingatan payah. Bisa-bisanya lupa sempat membuat Raga merajuk beberapa waktu lalu.

“Itu... yang katanya suka....”

“Oooh,” sergahku cepat seraya tertawa lebar. “Sudah aku bereskan.”

“Loh?”

“Kenapa loh?”

“Sudah jadian, terus putus?”

“Siapa yang jadian?” Seketika aku meradang, menanggapi pertanyaan santai tersebut dengan jawaban sewot. “Kan sudah aku bilang, aku nggak suka dia.”

Raga menghela napas, dan sejurus kemudian menyunggingkan senyum manis di wajah orientalnya. Sekilas, dia melirik Kevin melalui ekor mata. Ketika dilihatnya sang teman asyik bermain tamagotchi, tatapannya kembali kepadaku.

“Jadi kamu nolak dia?” tegas Raga kemudian. “Kemarin katanya nggak tega mau nolak.”

“Memang.”

“Lah, gimana?”

Aku terkekeh lirih. Kubiarkan Raga terlantar bersama segudang pertanyaan yang terbias melalui sorot mata. Tak perlu dia tahu bagaimana sadisnya caraku menampik cinta yang Rahman tawarkan. Andai tahu, mungkin dia juga akan kabur.

Kalau dipikir-pikir, si Rahman sabar sekali menghadapi aku. Aku minta dia datang ke rumah hanya untuk mendapat penolakan, bonus satu tamparan di pipi kiri. Sudah seperti itu pun, dia balas perlakuan burukku dengan senyuman. Bahkan setelahnya kami masih berteman baik.

Jika disebut bucin, aku rasa apa yang Rahman lakukan bukan sikap bucin. Lebih tepat apabila disebut ‘berjiwa besar’ atau ‘sikap dewasa’. Pada saat mengetahui dirinya sedang dipermainkan, dia membalas dengan legowo, gentle, dan stay positif. Terlepas dari perasaan secara pribadi, aku suka sifatnya.

Sewaktu Rahman menanyakan jawaban, aku memberinya sebuah tantangan. Kuminta dia datang ke rumahku pada hari dan jam yang aku tentukan, tidak boleh terlambat satu menit pun. Jika terlambat, maka jawabanku adalah ‘tidak’. Jika bisa datang tepat waktu atau sebelum waktu yang ditentukan, maka aku akan menerimanya.

Hanya berbekal alamat yang kuberi dan petunjuk arah dari Mbak Lista, cowok itu nekat berangkat, dan betul-betul tiba di rumahku. Sayangnya, dia terlambat lima menit dari waktu yang aku tentukan.

“Beri hukuman saja, karena ini salahku,” ujarnya pasrah ketika melihat aku merengut.

Padahal, aku merengut bukan akibat dia datang terlambat. Aku bete karena cowok itu berhasil menemukan rumahku.

“Hukuman apa?” sambutku cuek.

“Apapun.”

“Boleh aku tampar?”

“Silakan!”

“Tapi hukuman nggak akan mengubah keputusan. Kesepakatan awal kita adalah terlambat satu menit pun, aku nggak bisa menerima kamu.”

“Aku tahu.”

Plakkkk!

Telapak tanganku mendarat dengan mulus di pipi kirinya. Dia tersenyum, lalu pamit pulang.

Keesokan paginya, saat berangkat sekolah, Mbak Lista sengaja menungguku di terminal dan menyambut kedatanganku dengan heboh. Katanya, sepulang dari rumahku, si Rahman langsung ke rumah dia dan bercerita dengan girang karena pipinya dipegang oleh Nada.

Ada gila-gilanya juga tuh bocah! Sampai-sampai Mbak Lista dan keluarganya menyangka kami jadian, gara-gara cerita yang mengada-ada tersebut.

 

🍁🍁

 

 

“Jadi kesimpulannya... sampai sekarang kamu belum punya pacar. Betul?” kejar Raga begitu tahu bahwa aku menolak cowok yang aku ceritakan.

“Masih sekolah tuh mikirin pelajaran, bukan pacaran,” sahutku sok alim.

Dalam hati aku mengutuki diri sendiri.

“Bener!” celetuk Kevin tiba-tiba. Cowok itu tidak sadar dialah penyebab aku menjadi brengsek. Karena dia juga, aku memberi jawaban munafik seperti barusan. “Aku setuju!”

“Tuh! Koko aja setuju!” timpalku.

“Pacaran yang sehat, lah!” dalih Raga tak mau kalah.

“Mana ada pacaran sehat!” Kevin kembali mendebat.

“Pacarannya sambil olahraga bareng?” Aku mendukung dia.

“Bisa aja, ‘kan? Pacaran, tapi tujuannya meningkatkan prestasi. Pacaran yang hanya melibatkan komitmen, bukan hal-hal secara fisik. Pacaran untuk saling memotivasi.”

“Ck, omong kosong!” Si Suppapong Udomkaewkanjana keukeuh mempertahankan pendapat. “Pacaran itu hanya pembenaran dari perbuatan memanfaatkan orang.”

“Loh, sebenarnya tujuan pacaran apa, sih? Untuk saling mengenal, bukan?”

“Kalau prinsipnya begitu, mending bersahabat saja! Bersahabat juga bisa untuk saling mengenal,” tukasku mematahkan argumen Raga.

“Iya, sih.” Akhirnya Raga menyerah.

Pokoknya, saat itu aku berakting menjadi gadis alim yang anti cinta. Padahal, hanya ingin mengikuti gaya berpikir si Kevin saja.

Aku amati, sepertinya dia memang tidak mau mengenal seorang gadis secara berlebihan. Buktinya, dia paling anteng pada saat kawan-kawannya heboh membahas perempuan. Gelagatnya seperti tidak memiliki minat terhadap lawan jenis.

Alim-alim gemes, gitu.

 

 

🍁🍁

 

 

 

Hari-hariku kembali berjalan normal. Bersekolah seperti biasa, berangkat dan pulang masih pada jam yang sama. Raga pun hampir setiap hari menunggu di samping ruko yang posisinya tepat di sebelah rumah.

Ruko tersebut menghadap jalan raya, sedangkan rumahku menghadap ke jalan gang. Dulu, di situ merupakan tempat servis komputer sekaligus menjual aksesorinya—sejenis hard disk, keyboard, disket, CD-RW, mouse, dan sebagainya. Ini komputer jenis PC ya, bukan laptop. Waktu itu belum ada laptop.

Hampir setiap sore aku menghabiskan senja bersama Raga. Dia menemaniku menyiram tanaman sembari berbincang, lantas pamit pulang jika jarum jam sudah menunjuk angka 5 lewat 30 menit. Dalam satu minggu, enam hari kami bertemu. Hanya Selasa atau Rabu sore saja—salah satu di antaranya, kami tidak bertemu sebab pada hari tersebut rumahku akan cukup ramai dipenuhi para calon TKI dan keluarga yang mengantar. Calon-calon pahlawan devisa tersebut biasa menginap di rumah yang sebetulnya merupakan kantor, sebelum keesokan paginya pukul 4 berangkat menuju BLK di Sidoarjo.

Suatu hari—aku lupa waktu itu hari libur atau hari Minggu, kami sedang tidak bersekolah. Raga dan semua kawan-kawannya datang ke rumahku. Seperti biasa, kalau ada Taufik dan Ronald kehebohan tak dapat terelakkan. Mereka ibarat kucing dan tikus. Sehari tak berkelahi, bisa rusak tatanan dunia. Tentu saja pertengkaran dalam konteks canda.

Di antara serunya obrolan mereka, ada dua orang yang sejak awal hanya diam menyimak. Aku dan Kevin. Entah kenapa hari itu aku malas sekali menimpali percakapan. Yang kulakukan hanya duduk diam di sofa panjang paling pinggir dan paling pojok. Sebelahku persis ada Satria, dan di sebelahnya lagi si Raga tengah asyik memetik senar gitar. Kevin berada di hadapanku, duduk di sofa tunggal, berseberangan dibatasi oleh meja. Ronald di sebelahnya, di sofa tunggal juga. Sedangkan Taufik berada di paling ujung, duduk di kursi plastik sendirian.

Posisiku yang berhadapan langsung secara linear dengan Kevin, membuat kami sesekali melakukan kontak mata secara tak sengaja. Jadi, sementara yang lain asyik bercengkerama dalam canda dan tawa, aku memilih untuk diam-diam menikmati keberadaan pemuda itu.

Awalnya dia tak acuh, tenggelam bersama mainan tamagotchi dalam genggamannya. Sampai pada satu detik tertentu, saat sepasang mataku terpaku pada wajahnya, mendadak cowok pemilik hidung mancung itu mengangkat muka. Tatapannya yang setajam mata pedang baru diasah, menusuk tepat di kedalaman telaga mataku. Seketika aku dilanda panik. Refleks, kualihkan pandangan untuk menghindar. Entah bagaimana rupa kulit wajahku. Rasanya seperti terpanggang bara api.

Sesaat aku berusaha membaur bersama gurauan Ronald, Satria, dan Taufik. Seolah memahami apa yang mereka bicarakan, tawaku berderai tatkala ketiganya mengurai tawa—sesekali Raga ikut juga. Padahal, aku tidak paham apa yang tengah mereka bahas di balik senandung ‘Dua Sejoli’ yang Raga dendangkan sayup-sayup bersama irama gitar.

Setelah merasa kondisi mulai aman terkendali, aku memberanikan diri untuk kembali melirik Kevin. Apa yang terjadi? Ternyata pemuda itu tengah melotot ke arahku dengan ekspresi datar. Jelas saja aku kelimpungan, menutupi malu sebab ketahuan curi pandang.

“Hei! Kamu kenapa?” tegurnya tiba-tiba, lumayan keras.

Seluruh pasang mata langsung beralih memperhatikan kami. Bahkan Raga menghentikan petikan gitar demi melongok ke arahku yang terhalang badan besar Satria.

Aku gelagapan, semakin panik. Kubalas satu persatu tatapan mereka yang memandangiku penuh tanya. Sementara sang pembuat onar, dengan wajah tak bersalah kembali berucap, “jangan ngelamun! Nanti ayam tetangga mati!”

“Emangnya Nada punya tetangga yang piara ayam?” sergah Taufik dengan keluguan yang natural.

“Perumpamaan, kunyuk!” tukas Ronald seraya menoyor kepala sahabatnya.

“Siapa tahu memang beneran punya ayam. Nggak ada yang tahu, ‘kan?”

“Tetep aja bukan itu maksud Sinyo!”

“Eh, lagian tetangga sebelah kan Kepsek kita, ya? Masa dia piara ayam?” Taufik masih nekat nyerocos dengan gaya polosnya.

“Coba kau tanya sana!”

“Ogah! Kamu aja sendiri.”

Sementara mereka berdua terus berdebat, meributkan sesuatu yang tak penting sama sekali, Raga mengajak Satria bertukar tempat duduk. Setelah berada di sebelahku, cowok itu bertanya lirih, “Kamu kenapa? Ada masalah?”

“Nggak,” bisikku.

“Terus? Mikirin apa?”

Aku tertawa kecil. “Kenapa jadi ke mikirin apa, sih?”

“Kenapa ngelamun?” Raga mencecarku.

“Siapa yang ngelamun!” seruku lirih. Beberapa pasang mata kembali berpusat kepadaku. Ronald dan Taufik seketika menghentikan perdebatan. “Udah ya, cukup! Aku tuh nggak pa-pa, nggak lagi kenapa-napa, dan sedang baik-baik saja.”

Tawa Kevin menyembur mendengar perkataanku. Aku dan Raga beralih menatapnya secara bersamaan. Cowok itu terlihat menahan tawa, tapi mata dan perhatiannya terpusat kepada benda kecil yang dia pegang menggunakan dua tangan. Apa lagi kalau bukan tamagotchi.

“Ada apa, Nyo?” Raga penasaran.

“Hah?” Kevin mengangkat wajah dan menatap Raga dengan mata yang bersinar innocent. “Apa?”

“Ngapain kau ketawa sendiri? Lagi berkurang satu ons, kah?”

“Siapa?”

“Pak erteee!” seru Raga kesal.

Kevin tersenyum dengan menaikkan sudut bibir atas yang sebelah kiri. Tetap saja itu tak menjawab pertanyaan Raga. Rasa penasaranku juga.

Hari itu, aku merasa sikap Kevin aneh. Dia memang aneh, tapi maksud aku... pada hari itu, keanehannya terasa lebih aneh. Bingung juga cara menjelaskannya. Intinya, Kevin tak seperti biasanya.

Aku bisa merasakan ketika diam-diam dia memperhatikanku. Beberapa kali terjadi, saat aku menunduk memainkan kuku atau tengah fokus pada gurauan Ronald dan Taufik, seperti ada mata yang tengah menatap dari arah depan. Begitu pandanganku beralih mencari pelaku, kutemukan Kevin tengah belingsatan berusaha menghindariku.

Aneh, bukan? Tak biasanya dia begitu.

 

 

 

🍁🍁

1
leovakidd
👍
Mugini Minol
suka aja ceritanya
leovakidd: masya Allah, makasih kakak 😍
total 1 replies
Kiran Kiran
Susah move on
leovakidd: pasukan gamon kita
total 1 replies
Thảo nguyên đỏ
Mendebarkan! 😮
leovakidd: Thanks
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!