Aina Cecilia
Seorang gadis yatim piatu yang terpaksa menjual keperawanannya untuk membiayai pengobatan sang nenek yang tengah terbaring di rumah sakit. Tidak ada pilihan lain, hanya itu satu-satunya jalan yang bisa dia tempuh saat ini. Gajinya sebagai penyanyi kafe tidak akan cukup meskipun mengumpulkannya selama bertahun-tahun.
Arhan Airlangga
Duda keren yang ditinggal istrinya karena sebuah penghianatan. Hal itu membuatnya kecanduan bermain perempuan untuk membalaskan sakit hatinya.
Apakah yang terjadi setelahnya.
Jangan lupa mampir ya.
Mohon dukungannya untuk novel receh ini.
Harap maklum jika ada yang salah karena ini novel pertama bagi author.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kopii Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
GBTD BAB 26.
Terang berganti gelap, siang berganti malam. Setelah makan malam usai, Aina kembali ke kamar dan menidurkan Aksa di pelukannya.
Arhan masih di bawah bersama Airlangga. Setelah membicarakan persiapan pernikahan, keduanya melanjutkan pembicaraan mengenai perusahaan.
Aina menyanyikan lagu pengantar tidur untuk buah hatinya, tak terasa air matanya jatuh berderai mengingat sosok kedua orang tuanya. Dulu sebelum tidur, dia juga sering dinyanyikan ibunda tercintanya.
"Ayah, Bunda, Aina rindu kalian." Aina semakin larut dalam kesedihannya.
"Aina sudah memiliki putra, cucu kalian. Dia sangat tampan, sama seperti Ayah. Kalian melihatnya kan?"
Aina bergelut dengan perasaan yang berkecamuk di hatinya. Jika saja kedua orang tuanya masih hidup, mereka pasti sangat bahagia melihat cucu laki-lakinya.
Setelah Aksa tertidur, Aina mengangkat tubuhnya dan memindahkannya ke dalam box bayi.
Aina duduk di balkon kamar dengan derai air mata yang tak terbendung. Rasa rindunya semakin memuncak, kemana rasa itu akan dia lepaskan.
Aina terisak membayangkan kisah masa kecilnya, kebahagiaan yang datang hanya sekejap saja. Takdir merenggut nya hingga menyisakan luka yang begitu dalam di hatinya.
Disaat semua teman-temannya membanggakan kedua orang tua mereka, Aina malah menelan tangisannya. Hanya Neneknya yang menguatkan dirinya kala itu.
Aina menekuk kakinya di atas kursi, dia memeluk tulang keringnya erat. Wajahnya tenggelam diantara sepasang lututnya.
"Kenapa kalian meninggalkan Aina secepat ini? Aina tidak punya siapa-siapa lagi di sini."
Isak Aina semakin menjadi-jadi, rasa rindu itu membuat dadanya sesak.
Arhan masuk ke dalam kamar, dia terkejut melihat ranjang yang masih kosong. Saat melangkahkan kakinya, matanya bergerak ke sana kemari mencari keberadaan Aina. Setelah berjalan ke arah balkon, Arhan membuka matanya lebar.
Dari arah belakang, Arhan terperanjat kaget. Kakinya melangkah dengan cepat dan duduk di samping Aina yang masih terisak.
"Aina, apa yang terjadi sayang?" tanya Arhan cemas, kemudian mengusap kepala Aina pelan.
Aina tak menjawab. Jangankan untuk berucap, bernafas saja dia sudah kesulitan. Yang terdengar hanyalah sedu sedan yang tak beraturan.
Arhan menarik Aina dan membawanya ke dalam dekapan dadanya. Dia mengusap punggung Aina perlahan, bermaksud menenangkan ibu dari anaknya itu.
"Aina, jangan menangis lagi sayang! Abang di sini," Arhan semakin kebingungan, matanya berbinar melihat tangisan Aina yang sudah tak terkendali.
Aina membenamkan wajahnya di dada Arhan, kemudian mencengkram lengan Arhan kuat. Dia sudah berusaha menahan isaknya, namun semua itu begitu sulit baginya.
……………
Hampir setengah jam Aina tenggelam di dalam dekapan Arhan, kini isaknya mulai mereda. Arhan menyeka wajah Aina yang sudah sembab, kemudian mengecup pucuk kepala Aina dengan sayang.
"Sudah sayang, jangan menangis lagi!" Arhan mempererat pelukannya dan membiarkan bibirnya menempel di kening Aina.
Setelah Aina cukup tenang, Arhan mengangkat tubuhnya dan membopongnya ke kamar mandi.
Arhan menurunkan Aina di dekat wastafel, kemudian menyalakan kran. Arhan menampung air dengan tangannya, lalu membasahi wajah Aina sedikit demi sedikit.
Aina tak bereaksi, dia hanya diam layaknya sebuah patung. Tatapannya tampak sendu memandangi pantulan tubuhnya sendiri di depan cermin.
Arhan meraih handuk kecil, lalu mengelap wajah Aina hingga kering. Aina menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Jangan memandangi Abang seperti itu!" gumam Arhan, kemudian melabuhkan kecupan sayang di pipi Aina.
Aina mundur satu langkah, kemudian berjalan meninggalkan Arhan sendirian.
Arhan membuang handuk tadi ke sembarangan tempat. Dia berlari kecil menyusul Aina yang sudah hampir tiba di dekat ranjang, kemudian memeluknya dari belakang.
"Aku capek, aku mau tidur." ucap Aina dingin.
Arhan melepaskan pelukannya, kemudian berpindah ke hadapan Aina.
"Apa kamu tidak mau menceritakan apa yang terjadi pada Abang?" tanya Arhan sembari menyentuh pipi Aina lembut.
"Tidak ada yang perlu diceritakan," jawab Aina datar, kemudian melanjutkan langkahnya.
Aina membaringkan tubuhnya di atas kasur, kemudian memejamkan matanya perlahan.
Arhan mengusap wajahnya kasar, hembusan nafasnya terdengar berat. Dia melangkah menghampiri Aina dan berbaring di sebelahnya.
Dari arah belakang, Arhan melingkarkan tangannya di pinggang Aina, lalu mengecup kepala Aina lembut.
"Tidak apa-apa jika kamu tidak mau mengatakannya pada Abang. Tapi jika kamu butuh teman curhat, Abang siap menjadi pendengar setia."
"Kalau ada masalah jangan dipendam sendirian, takutnya jadi penyakit! Apapun itu, belajarlah terbuka pada Abang."
"Abang bukan orang lain, Abang calon suami Aina. Pria yang akan menjaga Aina dengan sepenuh hati." gumam Arhan, dia mengusap kepala Aina tanpa henti.
Sentuhan tangan Arhan yang lembut membuat mata Aina terasa semakin berat, tidak lama dia pun tertidur menikmati itu.
……………
Pukul 4 dinihari, Aina terbangun saat mendengar tangisan Aksa. Sesaat Aina tergugu melihat Arhan yang masih memeluknya. Senyumannya sedikit terangkat menatap wajah Arhan. Dalam tidurpun wajah pria itu masih terlihat tampan.
Aina menyentuh tangan Arhan dan memindahkannya pelan. Dia bergeser hingga menyebabkan Arhan terkejut dan membuka matanya perlahan.
"Mau kemana sayang?" tanya Arhan, kemudian menahan tangan Aina.
"Aksa bangun, mungkin dia haus." ucap Aina, dia menarik tangannya dari genggaman Arhan. Kemudian mengambil Aksa dari dalam box bayinya.
Arhan ikut bangun dan duduk di samping Aina. Dia menemani Aina menyusui Aksa.
"Abang tidur saja, tidak perlu menemani kami!" ucap Aina dengan tatapan tak biasa.
"Kenapa akhir-akhir ini kamu seperti menghindar dari Abang, apa salah Abang Aina?" tanya Arhan menuntut penjelasan.
Aina memalingkan wajahnya, dia juga menutupi dadanya agar Arhan tak melihatnya.
"Sudah berapa kali aku katakan pada Abang, jangan berharap lebih dari hubungan ini! Aku bertahan di sini hanya demi Aksa, aku tidak mau dia kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya seperti aku."
Arhan mengusap wajahnya kasar, rahangnya mengerat kuat saking kesalnya mendengar ucapan Aina.
"Lalu bagaimana dengan Abang, apa kamu tidak memikirkan perasaan Abang?" tanya Arhan yang mulai tersulut emosi.
"Tidak ada perasaan apa-apa diantara kita. Kalaupun ada, itu hanyalah perasaan bersalah semata." ketus Aina.
Setelah selesai menyusui Aksa, Aina bangkit dari duduknya dan kembali menaruhnya di dalam box bayinya.
Aina melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, namun Arhan dengan sigap meraih tangannya dan mendorongnya hingga terjatuh di atas kasur.
Arhan mengunci Aina di bawah kungkungan nya, tatapan matanya sangat tajam layaknya seekor serigala yang siap melahap mangsanya.
"Abang, apa yang kamu lakukan? Cepat lepaskan aku!" bentak Aina ketakutan.
Arhan tak mengindahkan ucapan Aina. Dengan deru nafas yang kian memburu, Arhan membenamkan wajahnya di leher Aina. Mengecupnya dan menjilatinya bertubi-tubi.
Aina terbuai dalam sentuhan Arhan. Dia ingin sekali menolaknya, namun batinnya berkata lain. Aina justru memejamkan matanya saat bibir Arhan sudah berada di belahan dadanya.