**Sinopsis:**
Luna selalu mengagumi hubungan sempurna kakaknya, Elise, dengan suaminya, Damon. Namun, ketika Luna tanpa sengaja menemukan bahwa mereka tidur di kamar terpisah, dia tak bisa lagi mengabaikan firasat buruknya. Saat mencoba mengungkap rahasia di balik senyum palsu mereka, Damon memergoki Luna dan memintanya mendengar kisah yang tak pernah ia bayangkan. Rahasia kelam yang terungkap mengancam untuk menghancurkan segalanya, dan Luna kini terjebak dalam dilema: Haruskah dia membuka kebenaran yang akan merusak keluarga mereka, atau membiarkan rahasia ini terkubur selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alim farid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15
"Apa kau sudah benar-benar kehilangan akal sehatmu, kevin? Bagaimana mungkin kau bisa mempermainkan perasaan seorang wanita hanya untuk mengetahui apakah gadis yang sebenarnya kau cintai juga merasakan hal yang sama?" dion masih tak percaya dengan rencana licik yang diatur sahabatnya itu. dion semula berpikir bahwa kevin benar-benar memiliki ketertarikan pada nadia ketika ia menyatakan cinta kepada gadis itu. Namun, realitasnya jauh dari itu—semua hanya sebuah permainan untuk memancing reaksi dari gadis yang sebenarnya ia dambakan.
kevinnnn, sejak awal, sudah terpesona pada luna—gadis yang kerap kali ia temui dalam berbagai kesempatan, namun yang selalu bersikap acuh tak acuh terhadapnya. Ketidakpedulian luna menimbulkan teka-teki dalam benaknya. kevin tak mampu menahan rasa penasarannya—apakah luna benar-benar tak melihatnya sebagai seorang pria, atau hanya berpura-pura tak peduli? Demi menjawab pertanyaan itu, kevin merancang sebuah skenario di mana ia berpura-pura menaruh hati pada nadia, sahabat baik luna, dengan harapan dapat melihat reaksi sebenarnya dari gadis yang selama ini mengisi benaknya. Keyakinannya bertambah setelah ia beberapa kali menangkap basah luna yang tampaknya mencuri pandang ke arahnya.
"Aku tahu ini rencanaku berhasil," ujar kevin sambil tersenyum penuh kemenangan. "Aku lihat wajah luna berubah muram saat aku menggenggam tangan nadia dan menyatakan perasaanku. Itu berarti besar kemungkinan dia juga menyimpan perasaan padaku."
Namun, dion hanya bisa menggeleng tak percaya, "Ada banyak cara lain yang bisa kau coba tanpa harus menggunakan taktik yang sebodoh ini," protesnya.
"Tidak ada ide lain yang terlintas di kepalaku malam itu. Semuanya terjadi begitu saja," kevin menjawab dengan nada santai seolah yang baru saja ia lakukan adalah hal yang sepele.
"Dan sekarang bagaimana dengan nadia? Gadis itu sekarang menjadi pacarmu, dan semua orang di kampus ini mengetahuinya. Apa rencanamu berikutnya?" tanya dion, menatap kevin dengan pandangan penuh tanya.
"Aku akan mencari alasan untuk putus dengannya. Mungkin aku akan mengatakan kalau malam itu aku sedang mabuk," jawab kevin tanpa sedikit pun rasa bersalah dalam suaranya.
"Kau benar-benar gila. Kau hanya akan mempermalukan nadia di hadapan banyak orang. Apa kau tidak punya hati untuk menyakiti perasaan seorang wanita sebaik dia?"
kevin hanya mengangkat bahu acuh tak acuh, "Lebih baik dia tahu sekarang daripada terus berada dalam hubungan dengan seseorang yang tidak mencintainya," katanya dengan nada ringan, seakan-akan masalah ini tak lebih dari sekadar rutinitas. dion hanya bisa menghela napas panjang, menyadari bahwa sahabatnya ini benar-benar tak memahami dampak dari perbuatannya.
"Sudahlah, lakukan apa yang kau mau. Aku sudah muak mencampuri urusanmu," katanya dengan nada malas.
Tiba-tiba, sebuah suara memanggil dari kejauhan, "kevin!" kevin dan dion menoleh secara bersamaan, mendapati nadia yang sedang berjalan mendekati mereka dengan luna di sampingnya. Mata kevin seketika terpaku pada luna, meskipun gadis itu jelas-jelas berusaha menghindari kontak mata dengannya. Sebuah senyum tipis terangkat di sudut bibir kevin, seolah menikmati permainan kecil ini.
"Jaga matamu, kevin. Ingat, nadia ada di sini," bisik dion memperingatkan. kevin segera mengalihkan pandangannya ke nadia, berusaha menampilkan senyum yang terlihat tulus.
"Kalian tidak ada kelas sekarang?" tanya nadia dengan nada sedikit malu-malu. Meski ia berusaha bersikap biasa saja, ada rasa bangga sekaligus tak percaya bahwa kini ia berpacaran dengan pria paling populer di kampus. Ia tahu banyak gadis yang iri padanya.
"Ada, tapi masih tiga puluh menit lagi," jawab kevin, meski pandangannya kembali mencuri ke arah luna yang pura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Hai, luna," kevin memulai percakapan. Mendengar namanya disebut oleh kevin membuat luna sedikit tersentak. Ia pikir ia sudah berhasil mengubur perasaannya terhadap kevin setelah mengetahui pria itu telah berpacaran dengan sahabatnya, namun kenyataannya tidak demikian. Meski ia berusaha keras untuk meyakinkan diri bahwa kevin sekarang sudah menjadi milik orang lain, perasaan itu masih belum sepenuhnya hilang.
"Ha... Hai..." balas luna dengan nada gugup, lalu kembali berpura-pura sibuk dengan ponselnya.
nadia yang melihat interaksi antara kevin dan luna mulai merasa ada yang aneh. Sejak mereka resmi berpacaran, kevin tampak semakin jauh dan cuek. nadia mencoba untuk berpikiran positif, berharap mungkin saja kevin sedang menghadapi masalah lain yang membuatnya bersikap seperti itu.
"Oh ya, Sabtu besok teman-teman dari klubku akan mengadakan acara bakti sosial di beberapa panti asuhan. Kalian mau ikut? luna juga ikut," tawar nadia dengan nada penuh harap. Dalam hatinya, nadia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk lebih dekat dengan kevin. Meskipun mereka sudah resmi berpacaran, hubungan mereka masih terasa canggung dan belum benar-benar dekat.
"Aku ikut. Bagaimana denganmu?" kevin menoleh ke dion sebelum menerima tawaran tersebut.
"Terserah, tapi aku tidak bisa janji," jawab dion dengan nada tak acuh.
"Oke, kami berdua ikut," kata kevin, yang disambut dengan sorakan kecil di dalam hati nadia. Ini adalah kesempatan emas baginya untuk membuat kevin semakin menyukainya. Meskipun ada perasaan tak nyaman yang mengganjal, nadia berharap hubungan mereka tidak akan berakhir begitu saja.
"Kalian sudah makan?" tanya kevin lagi, meskipun kali ini ia lebih tertarik untuk mendengar jawaban dari luna.
"Belum. luna, tadi kamu bilang lapar, kan?" kata nadia sambil menoleh ke arah luna, yang terlihat bingung. Kapan dia bilang lapar? Bukankah tadi ia berencana untuk segera kembali ke tempat magangnya?
"Kalo gitu, ayo kita cari makan di kantin," ajak dion. luna sebenarnya ingin menolak, tapi nadia sudah lebih dulu menariknya.
"Please, temanin aku. Aku masih gugup kalau berdua saja sama Kak dion," bisik nadia dengan nada memohon. luna akhirnya menyerah, meski ia sebenarnya ingin menghindari situasi canggung ini. Ia sudah bertekad untuk melupakan perasaannya pada kevin karena ia tidak ingin terlibat dengan pacar sahabatnya sendiri.
luna tetap diam, seperti biasanya ketika berada di dekat kevin. "Mau makan apa?" tanya kevin lagi.
"Aku nasi goreng aja. Min, kamu pesan apa?" tanya nadia.
luna hendak menjawab, tapi ponselnya tiba-tiba berdering. "Kakakku menelepon, aku angkat dulu," katanya sebelum menjawab panggilan dari Iren.
"Iya, Kak? Di kampus. Sudah, sebentar lagi aku pulang. Hah? Nggak apa-apa, aku bisa pulang sendiri kok. Tapi..."
Panggilan terputus, membuat luna kesal. Iren bilang bahwa damon, kakak iparnya, akan menjemputnya karena ada rapat dekat kampus. luna langsung menolak, tapi Iren tak memberi kesempatan untuk berargumen dan malah memutuskan panggilan. Sial, pikir luna. Apa sebaiknya aku kabur saja dan bilang sudah naik taksi? damon terlalu menakutkan. Pria itu selalu punya cara untuk membuatnya tak berkutik, jadi satu-satunya cara adalah menghindarinya.
"Kakakmu bilang apa?" tanya nadia, membuat kevin dan dion menatap luna dengan rasa penasaran.
"Tidak penting, hanya ingin menjemput," jawab luna dengan nada datar.
"Oh."
"Jadi, bagaimana pesanannya? nadia nasi goreng, kamu apa?" tanya kevin sambil menatap luna dengan intens. kevin merasa semakin terpesona oleh kecantikan gadis itu. Dalam benaknya, luna harus menjadi miliknya.
"Mm, aku bakso aja, Kak," jawab luna dengan suara lembut.
"Baik," sahut kevin sebelum berjalan ke arah kasir kantin untuk memesan makanan. nadia merasa sangat senang, terutama ketika ia melihat para gadis lain di kantin mencuri pandang ke meja mereka, mungkin dengan perasaan iri.