NovelToon NovelToon
The Disgusting Beauty

The Disgusting Beauty

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: アリシア

Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.

Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.

Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.

Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.

Bagaimana Lail menghadapi semua itu?

"Menyesal? Aku gak yakin."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CH.16 - Manipulasi Atau Sugesti?

Bunyi bel meringing halus saat Lail mendorong pintu kafe. Sebenarnya hari ini dia tak punya jadwal belajar dengan Wiyan, tetapi Delia lagi-lagi menjadikan dirinya babu. Anehnya, meski kesal, Lail tak bisa menolak permintaan kakaknya.

“Wah...! lucu banget!”

Pekikan gemas di sebelah Lail mengalihkan perhatiannya. Itu berasal dari seorang gadis yang bersama pacarnya (mungkin). Gadis itu memegang gantungan kunci dengan karakter berbentuk salah satu menu kopi di sini. Itu memang lucu, apalagi dengan tempelan stiker mata dan mulut.

“Lihat apa?”

Lail menoleh ke meja kasir, ada Regas di sana bersama seorang lainnya yang bertugas menjaga kasir.

“Gantungan.” Lail menjawab singkat.

“Ouh...”

“Kak... ” Lail menggigit bibir bawahnya. “Itu E di nama Kakak dibaca kayak beli atau kayak bebek?”

Regas tertawa halus, “Kayak bebek.”

“Oh! Kak Regas, itu gantungannya hadiah ‘kah?” Lail bertanya lagi.

“Yeah... cuma buat yang beli menu spesial aja. Entar dalam satu kali pembelian bakal dapet satu stiker. Kalau udah kekumpul sepuluh, ditukar sama gantungan kunci. Bebas mau yang mana aja.” Papar Regas.

Lail mengangguk paham. Dia tidak akan beli pesanan lain selain yang dipesan kakaknya. Upah yang diberikan Delia akan dia gunakan untuk membeli samir yang gerobaknya ada di seberang kafe ini. Si mamang sudah hapal betul jika arena skate itu akan penuh saat liburan.

Lail melangkah melintasi trotoar yang bersih tanpa sampah sedikitpun. Tapi langkahnya terhenti kala jalannya sedikit tertutupi oleh seseorang. Dari postur tubuhnya, dia mungkin adalah siswi SMP. Dia tengah jongkok di belakang semak sambil memotret seorang pemuda di arena skate.

Kali ini pandangan Lail terarah pada si pemuda yang tersorot kamera. Dia sedang menonton anak-anak lain seumurannya yang bermain skateboard, sesekali dia menyemangati mereka juga. Di sampingnya ada gelas kertas berisi kopi dari kafe yang barusan Lail datangi.

“Hei,” tegur Lail pada gadis itu.

Gadis itu tersentak, dia menengok pada Lail sambil tergugu. Refleks tangannya begitu cepat untuk menyembunyikan ponselnya ke dalam saku. Jelas saja responsnya ini membuat Lail yang awalnya ingin berpikir positif malah tidak jadi.

Lail tidak mengatakan apa pun, dia hanya diam menatap lurus gadis itu.

"Aku gak ngapa-ngapain kok!” ucapnya membela diri.

Lail mengenyit.

“Aku gak bilang apa-apa tuh...” Lail merespons dengan nada bingung yang dibuat-buat.

Gadis itu makin panik, dia menggenggam kuat ponselnya di belakang badan sebagai antisipasi bilamana Lail mengambilnya.

Tring!

Sebuah benda kecil terjatuh dari saku rok gadis itu. Gerakan Lail lebih cepat. Lail langsung menyambar benda milik gadis itu yang terjatuh. Setelah dilihat dengan seksama, rupanya ini adalah gantungan kunci berbentuk kopi.

Mendadak wajah gadis itu berubah semakin pucat.

“Jadi... sepuluh hari, ya? Ouh, atau lebih?” Lail tersenyum miring, dia menggoyang-goyangkan gantungan kunci itu tepat di depan mata pemiliknya.

Gadis itu tampak jengkel. Dia menggertakkan gigi-giginya. Tangannya terkepal sangat kuat, bersiap memberikan wajah Lail kejutan.

“BALIKIN, GAK?!”

Belajar dari kasus Marina, kini Lail jauh lebih siap menerima serangan kejutan. Kaki Lail mundur dua langkah, menjauhkan wajahnya dari bogem mentah si penguntit cantik ini.

Teriakan barusan mengundang perhatian banyak orang, terutama para remaja yang berada di sekitaran arena skate. Lail sampai mengumpat terus-terusan dalam hatinya karena benci menjadi pusat perhatian.

Alamak! Jangan-jangan nih anak mau playing victim lagi!

“Jangan deket-deket, atau aku laporin ulah kamu ke kantor polisi. Yang tadi udah kurekam loh~” Lail masih berusaha stay cool, dia menunjukkan ponselnya pada gadis itu sebagai bentuk ancaman.

Gadis itu makin geram.

“Bukannya kamu ke kafe setiap hari, pesan kopi yang sama kayak dia terus milih gantungan kunci yang sama biar kayak couple sama dia?” Lail menyeringai. “Kalau suka bilang donk! Ini malah jadi stalker.”

Wajah gadis itu memerah menahan malu, apalagi dia dicemooh Lail di depan banyak orang. Mereka yang melihat kejadian itu pun nampak mulai berbisik-bisik, mengomentari kegilaannya. Semakin tak tahan, gadis itu menyambar gantungan kunci di tangan Lail dan berlari pergi meninggalkan kerumunan.

Padahal aku cuma ngada-ngada soal videonya.

Satu demi satu orang yang menyaksikan keributan barusan kembali mengerjakan kegiatan masing-masing, begitu juga dengan Lail. Dia harus segera pulang sebelum kakaknya mengamuk–

Tap!

Tepukan di pundak Lail membuatnya membalikkan badan ke samping. Itu si pemuda yang direkam, sang korban.

“Lo manipulasi dia, ya?”

Pertanyaan yang mencuat begitu saja dari mulut si korban ini membuat Lail berkedut kesal. Bukan ucapan terima kasih apalagi traktir makanan, dia malah mendapatkan pertanyaan semacam ini. Apa bocah ini tak merasa bersyukur karena sudah ditolong olehnya?

Lail mengempaskan tangan pemuda itu dari pundaknya. “Itu namanya sugesti.”

“Gimana lo bisa tahu kalau dia udah nguntit gue lebih dari sepuluh hari?” cecarnya, nampaknya dia tak peduli jika Lail tak menjawab pertanyaan yang sebelumnya.

Lail mendengus, “Gantungan kunci.”

“Cuma dari itu lo bisa tahu?”

Lail mengembuskan napas lelah, “Itu cuma tebakan beruntung. Mana kutahu kalau mulai dari sana dia nguntit kamu. Bisa aja kalau dia emang pelanggan di sana terus ketemu kamu, eh... cinlok deh. Semua bisa jadi kemungkinan.”

“Soal videonya?”

“Bohong.” Jawab Lail dengan cepat. “Oh ya, aku buru-buru. Bye!”

Gak ada rasa terima kasih banget! Tau gitu gak bakal kutolong!

...****...

“KAK!”

Wiyan berdecak, sesi belajar mandirinya selalu saja terganggu. Tahu begini, dia akan meminta Lail untuk belajar bersama setiap hari. Apalagi wawasan Wiyan tentang materi eksak jadi lebih banyak setelah berhari-hari. Yah, meski ada satu hal yang tak dia suka karena ada. Inilah sebab utama kenapa hari ini Wiyan meliburkan sesi belajar bersama.

“Kak?!” teriak Rivan dari luar perpustakaan.

“Apa?” Wiyan berdecak sebal.

Rivan berlari ke kursi di samping kakaknya, “Aku ada cerita!”

“...."

“Tadi ada cewek yang nolongin aku dari stalker, tadinya mau bilang terima kasih... eh, gak jadi.” Rivan mulai bercerita sambil mengabaikan wajah jengah kakaknya.

Wiyan mengangkat sebelah alisnya.

"Dia manipulator.”

“Oh ya?”

“Iya dia nolongin aku, tapi ‘kan dia pake cara kotor. Kata dia sih cuma sugesti. Mana dia bohong soal ngerekam bukti kejahatan tuh stalker lagi.”

Wiyan melempar adiknya dengan sebatang pensil. Setidaknya, jika dia memang benar memakai cara kotor untuk menolong Rivan, tapi intinya adalah Rivan selamat. Lagi pula jika untuk menolong orang, itu bukan disebut cara kotor, melainkan cara pintar.

“Gak tau diri.” Cibir Wiyan.

Rivan mendengus, rupanya kakaknya punya pemikiran yang berbeda dengannya atas permasalahan yang satu ini. Padahal menurut Rivan, Wiyan

ini orang yang memancarkan aura positif, meski tidak 100%. Wiyan itu dididik untuk menjadi sosok yang bijaksana, punya empati tinggi dan tidak asal dalam menyerap informasi baru. Terdengar sempurna? Tapi nyatanya tidak.

“Pokoknya dia tuh aneh, Kak. Aku yakin Kakak juga pasti gak bakal suka sama dia.”

...****...

Manipulasi? Itu tak ada di dalam kamus Lail. Yang Lail tahu, itu hanyalah upayanya agar sesuatu bisa berjalan sesuai keinginannya dengan cara memengaruhi orang lain. Semudah itu.

Bagi Lail itu tidak jahat. Tapi, setiap orang punya cara berbeda dalam menyikapi moralitas dan kode etik. Ketika A mengatakan itu dilarang, mungkin saja bagi B itu adalah kegiatan umum yang dilakukan sehari-hari.

Untuk Lail, manipulasi hanyalah nama lain dari persuasi.

“Ouh...”

Lail mendongak ke salah satu batang pohon yang dihiasi jaring laba-laba. Namun bukan jaring itu yang menjadi fokus Lail. Melainkan kupu- kupu yang terjerat di untaian jaring.

“Itu disebut kebaikan kalau kamu nyelamatin sesuatu yang indah.”

“Kalau nyelamatin yang gak indah, gimana?”

“Itu namanya...”

Lail terdiam beberapa saat. Ia melangkah mendekati batang pohon tempat di mana jaring laba-laba berada. Dengan gerakan tangan yang sangat hati-hati, Lail berusaha melepaskan kupu-kupu yang terjerat tanpa merobek sayapnya yang rapuh.

Setelah berhasil melepaskannya dari jeratan jaring laba-laba, Lail menerbangkannya kembali ke langit lepas. Sudut bibir Lail tertarik ke atas. Meskipun sepele, dia telah melakukan satu kebaikan hari ini. Dua jika dihitung dengan aksi penyelamatan dari stalker barusan.

Yap, Lail punya prinsip untuk selalu berada di zona nyaman dan hidup damai tanpa mencampuri urusan orang lain. Tapi dalam beberapa kasus, ada yang Lail kecualikan. Dia hanya akan turun tangan kalau masalah itu bisa berakibat buruk dalam jangka panjang.

Untuk masalah-masalah yang akibatnya hanya berjangka pendek, Lail akan menutup mata dan berpura-pura buta. Dia ‘kan pembohong ulung. Dan cara Lail mengetahui apakah masalah itu akan berdampak buruk untuk jangka panjang atau jangka pendek, itu rahasia perusahaan.

“Eh, Manda, pacar lo jalan ke arah sini. Buruan pergi!”

“Serius? Anjir!”

Suara bisikan diikuti oleh umpatan terdengar dari sisi lain semak-semak. Lail mengintip. Tiga orang gadis dan dua pria duduk mengampar di atas tikar plastik. Yang tadi berbicara adalah kedua gadis. Sekarang ini mereka buru-buru bubar, merapikan sisa-sisa berkumpul mereka sampai tak ada yang tertinggal.

Apa ini? Pacarnya mau dateng tapi malah bubar jalan? Selingkuh 'kah?

Masing-masing dari mereka pun mulai gencar berlari ke berbagai arah demi menyembunyikan diri. Salah satu dari para gadis, Lail mengenalinya. Sial, dia bergerak ke pohon berbatang besar yang menjadi tempat Lail mengintip saat ini.

Srek!

Gadis itu, Amanda berlari melewati semak belukar, berusaha bersembunyi di balik batang pohon.

“Hah?” Amanda terkesiap, dia tak tahu kalau ada Lail di sini. “La- Lail...”

Mereka sempat bersitatap. Berbeda dengan Lail yang menatap datar, Amanda cenderung was-was dan gelisah. Tanpa babibu, Amanda menarik lengan Lail untuk ikut menyembunyikannya.

“Woi–!”

“Ssst...!” Amanda meminta Lail untuk diam tak bersuara. Lail mendengus.

Gelak tawa penuh kegembiraan menghampiri keduanya. Segerombolan pria yang Lail tebak usianya di atas 20 tahun, berjalan begitu saja tanpa memedulikan kehadiran Lail yang agak aneh. Sebab saat ini yang Lail lakukan hanyalah berdiri mematung di samping pohon besar. Setelah mereka agak jauh, terdengar suara Amanda yang menghela napas lega.

Tanpa mengatakan apa pun, Amanda berlari ke arah yang berlawanan dari gerombolan barusan.

Apa pun itu, Lail telah memberinya sedikit bantuan.

Tapi Lail jelas enggan menyebut itu sebagai kebaikan ketiganya hari ini.

Karena itu...

“Itu namanya kejahatan.”

TBC

1
anggita
like👍☝iklan utk Lail.. moga novelnya sukses thor.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!