"Kamu tidak perlu tahu bagaimana luka ku, rasa ku tetap milik mu, dan mencintai tanpa pernah bisa memiliki, itu benar adanya🥀"_Raina Alexandra.
Raina yatim piatu, mencintai seorang dengan teramat hebat. Namun, takdir selalu membawanya dalam kemalangan. Sehingga, nyaris tak pernah merasa bisa menikmati hidupnya.
Impian sederhananya memiliki keluarga kecil yang bahagia, juga dengan mudah patah, saat dirinya harus terpaksa menikah dengan orang yang tak pernah di kenal olehnya.
Dan kenyataan yang lebih menyakitkan, ternyata dia menikahi kakak dari kekasihnya, sehingga membuatnya di benci dengan hebat. padahal, dia tidak pernah bisa berhenti untuk mencintai kekasihnya, Brian Dominick.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mawar jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa lagi tuhan?
"part yang tak kalah menyakitkan adalah, saat kamu menyaksikan orang kamu cintai, bersanding dengan orang lain, dan terlihat sangat bahagia. Sementara kamu, tertinggal dalam hampa.🥀"
Kedua matanya tak bisa terpejam sama sekali, tempat tidur itu nyaman, malah sangat nyaman. Jauh sekali jika di bandingkan dengan kamarnya sebelumnya, kasur yang sangat lembut, juga suhu yang bisa di sesuaikan dengan keinginannya, aroma, serta nuansa yang sangat cocok dengannya.
Akan tetapi, tetap saja, Raina tidak bisa terlelap sama sekali. Dia bahkan tidak berani keluar kamar itu sama sekali, Bara berpesan, agar dia tidak kemanapun sebelum Bara datang.
Tetapi, Bara pergi sudah hampir dua jam lamanya, malah ini sudah larut malam." kemana dia pergi?" ucap Raina dengan gelisah.
Tak lama setelah itu, terdengar suara pintu terbuka. Dan menampilkan wajah Bara yang sangat berantakan. Jemari Bara bahkan berdarah, Raina yang melihatnya menjadi panik seketika.
"astaga, " ujar Raina dengan segera menghampiri Bara.
"ada apa?" tanya Raina yang panik.
"aduh, kenapa berdarah beginii?di mana kotak obat?" Raina justru semakin panik. Raina yang tidak tahu apapun di sana, segera meraih tisu gang ada di atas meja. Sedangkan Bara, tidak bergeming sama sekali, dia bahkan terlihat sangat kacau. Pandangannya hanya lurus, dia seperti tidak mendengar Raina yang terus bertanya kepadanya sejak pertama dia datang.
"ah," desis bara pelan, ketika dia menyadari lukanya ternyata terasa sakit.
"maaf, sebentar. Aku tidak tahu di mana letak kotak obat?" ujar Raina dengan mengulang kalimat yang sama, sementara kedua tangannya membersihkan luka di tangan Bara. Tanpa bersuara, Bara menunjukan kepada Raina, dimana letak kotak obat itu di kamarnya. Raina yang melihat Bara menunjuk suatu tempat, dengan reflek kedua matanya mengikuti kemana arah Bara menunjuk.
Bara menunjuk pada lemari, yang cukup besar di sana. Dengan segera, Raina beranjak dan mencoba mencari di mana bara menunjukan tempat itu. "laci nomor dua dari bawah, kotak batik." ujar Bara dengan pelan.
Raina segera mengerti, dan mencoba membuka laci itu, dan benar saja, ada kotak itu di sana. Dengan cekatan, Raina mengobati luka di tangan Bara, sesaat kemudian selesai.
"kenapa masih belum tidur?" tanya Bara pelan.
"gak bisa tidur, kita bisa pulang saja tidak?" tanya Raina dengan memelas.
"tidak bisa, tunggu sampai besok, tidak sampai acara selesai. Tunggu orang-orang serakah itu puas, kita bisa pergi tanpa perlu kembali." ujar Bara dengan membuang nafasnya kasar.
"maaf jika lancang, sebenarnya ada apa?" tanya Raina dengan takut.
"tidak papa, kalau tidak ingin menjawab, aku akan coba untuk tidur." sambung Raina lagi, ketika melihat wajah bara Bara yang cukup berantakan saat ini.
Kedua tangan Raina segera mengemasi kotak obat itu, dan kedua kakinya segera melangkah meletakan kotak obat itu ketempat asalnya.
Tanpa menjawab, Bara segera masuk ke kamar mandi. Tak lama, terdengar suara kemricik air, entah apa yang sedang di lakukan Bara, mungkin mandi, atau sekedar membersihkan tubuhnya.
Raina yang masih menatap punggung Bara beberapa saat lalu, menghembuskan nafasnya kasar."sabar ku selama ini, sepertinya belum cukup, aku harus bersabar lagi, menghadapi orang sepertinya, jika tidak bisa gila aku." ujar Raina dengan hampir menangis, dan menghempaskan tubuhnya kasar ke ranjang.
"siapa yang gila?" tiba-tiba suara itu mengejutkan Raina, bahkan bahu Raina sempat terangkat karena terkejut. Ternyata, Bara hanya membersihkan beberapa bagian tubuhnya, termasuk mencuci wajahnya.
"aku."
"aku merasa tidak lama lagi, akan gila." jawab Raina dengan asal.
"kamu benar, kamu memang harus terbiasa dari sekarang, karena semua orang di sini memang gila." ucap Bara dengan membuka dasi di lehernya, dan melepas kemejanya. Lalu, dia meraih kaos yang ada di sana, dengan sekejap dia memakainya. Tak lama kemudian, dia melemparkan tubuhnya dengan kasar keranjang itu.
Melihat itu, Raina merasa bingung, jika Bara tidur di sana, dia akan tidur dimana."aku tidur di mana? kalau kamu tidur di sini juga," tanya Raina dengan datar.
"sudah, jangan banyak bicara. Kepala ku sudah akan meledak rasanya." jawab Bara, dengan membuka matanya sebentar, lalu dia kembali memejamkan kedua matanya.
Tak lama kemudian, terdengar deru nafasnya yang teratur, Raina hanya menggelengkan kepalanya pelan. Bagaimana bisa dia tidur begitu cepat, setelah apa yang terjadi, dia bahkan terluka, dan juga belum memakan apa pun sejak siang.
Meskipun Raina tidak mengenal Bara sebelumnya, dan keduanya sudah menikah saat ini, Raina pernah diberi nasihat oleh ibu panti, dan hingga saat ini, Raina masih mengingat dengan baik pesan itu.
"Meski kita merasa hidup tidak pernah adil terhadap kita, jangan pernah melampiaskan rasa kesal itu kepada orang lain. Kita berbuat baik saja, terkadang masih ada yang tidak suka, apa lagi jika kita berbuat buruk. Jangan pernah bosan untuk berbuat baik, dan mengalah, manusia kuat itu adalah dia yang bisa mengalahkan egonya untuk orang lain."
Raina juga tidak tahu, bagaimana nasibnya kedepannya. Dirinya bahkan baru saja menikah, tetapi sudah merasa aneh pada keluarga seseorang yang bergelar suaminya saat ini.
Raina tidak berharap banyak, Raina hanya berharap dia bisa tetap menjalani hidupnya dengan sebagaimana mestinya, tanpa merugikan siapa pun.
"tok!"
"tok!"
"tok!"
Saat sedang asik dengan kemelut isi kepalanya sendiri, pintu kamar itu terdengar di ketuk dari luar. Segera Raina tersadar dari lamunannya.
"Noah,"
"Noah, kamu di dalam?" tanya seseorang dari dalam. Kalau tidak salah ingat, Raina mendengar suara itu beberapa waktu lalu.
Dengan segera, kedua kaki Raina beranjak, dan mencoba membuka pintu itu, dan benar saja, orang itu adalah ayah Bara yang melihat Raina dan Bara, sebelum Bara sempat membawanya kembali ke apartemen Bara.
"Hai, Raina. Noah ada?" tanyanya dengan tersenyum.
"em, Bara, eh maksudnya Noah sudah tidur." jawab Raina dengan gugup.
"oh begitu, padahal kami ingin mengajaknya makan malam bersama. Kalau begitu, kamu saja, mari makan malam bersama." ucapnya dengan tersenyum, Raina terdiam sebentar, kemudian dia mencoba menolaknya dengan lembut.
"em, maaf ya ayah, bukan tidak mau. Tapi, mas Bara sudah tidur, lagi pula, saya sudah makan sama Ana tadi di belakang. Terimakasih, mungkin nanti bisa bergabung lagi." jawab Raina dengan hati-hati.
"Ana?"ulangnya lagi.
"kenapa kalian makan bersama Ana?" tanyanya dengan heran.
"ah, tadi aku meminta Ana untuk menemani berkeliling sebentar, tetapi Ana sedang menyiapkan makan, jadi aku mencicipinya, eh malah makan banyak." jawab Raina dengan pelan, dan sedikit canggung.
"oh begitu, baiklah. Selamat beristirahat Raina." ujarnya dengan tersenyum, sebelum akhirnya berlalu pergi.
Raina hanya mengaguk pelan," dia terlihat baik, jadi sebenernya siapa yang memakai topeng di sini." ujar Raina dengan bingung.
Raina masih juga tidak bisa terlelap, dia juga merasa bosan jika terus di kamar. Pelan, dia mencoba keluar dari kamar itu, cahaya tampak remang, karena beberapa lampu sudah di matikan.
Wajar saja, karena memang sudah larut malam. Raina samar mendengar orang berbicara, tetapi tidak tahu siapa yang sedang berbicara. Tak lama kedua matanya menemukan sosok yang sedang berbicara. Rupanya, dia sedang berbicara melalui telepon miliknya.
"kangen, kita besok kembali bertemu, lagi pula, hanya tersisa berapa jam lagi." ujarnya dengan pelan.
Kedua mata Raina segera membulat dengan sempurna, ketika sosok itu berjalan ke arahnya, lebih tepatnya wajahnya tersinari oleh cahaya, sehingga Raina bisa melihat siapa dia.
'apa lagi ini?' batin Raina setelah berhasil kembali memasuki kamar Bara, tubuhnya luruh di balik pintu itu.