Rumah tangga yang sudah lama aku bina, musnah seketika dengan kehadiran orang ketiga di rumah tanggaku..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Malam itu di pasar malam, lampu-lampu berwarna-warni yang tergantung di setiap sudut menciptakan semburan cahaya yang meriah dan hidup. Suasana riuh dengan suara tawa dan teriakan kesenangan yang berasal dari berbagai penjuru, terutama dari area permainan dimana Kevin dan Naura berada.
Keduanya berdiri di depan stan permainan cincin, dengan tangan Naura penuh dengan cincin plastik berwarna-warni yang siap dilemparkan ke leher botol yang jajar rapi.
Ketika cincin dilempar, suara cincin yang bertabrakan dengan botol kaca menghasilkan dentingan yang khas, menambahkan irama pada keramaian pasar malam.
Di sekitar mereka, anak-anak berlarian dengan wajah yang berseri-seri, orang tua menggandeng tangan anak-anaknya sambil menunjuk ke arah permainan atau makanan yang menggugah selera.
Aroma manis dari kapas gula yang baru saja dipintal tercium oleh Naura saat mereka berjalan melewati sebuah stan yang penuh dengan gulali berwarna-warni.
Sementara itu, suara musik dari pengeras suara yang dipasang di setiap sudut pasar malam menambah semangat dan kegembiraan yang terasa di udara.
Kevin dan Naura terus bergerak dari satu permainan ke permainan lain, tertawa dan bersorak setiap kali berhasil memenangkan sebuah hadiah kecil.
Cahaya lampu-lampu berkelap-kelip dari berbagai wahana pasar malam tampak menyilaukan mata, namun tidak sebanding dengan kelelahan yang terasa merayapi setiap sudut tubuhku.
Kevin dan Naura, tampaknya masih penuh energi, berlari kesana kemari, tertawa riang tanpa beban. Tanganku terasa lengket dan kaki ini seperti dipenuhi timah, namun Naura dan Kevin masih bersemangat mengajakku ke wahana selanjutnya.
"Nak, udah ya mainannya mamah capek, lapar juga," keluhku, berharap mereka akan mengerti.
"Yeah mamah, cemen banget ya om, baru gitu saja sudah capek," celetuk Naura dengan mata berbinar, seakan menemukan kesenangan baru dalam menggoda.
"Iya mamah kamu sangat cemen Naura," sahut Kevin, menambahkan garam pada luka.
"Kevin ih," rasa kesal ku campur aduk dengan lelah, membuat suaraku terdengar lebih tinggi dari biasanya.
Naura dan Kevin saling berpandangan, sepertinya ada kode tak terlihat yang mereka bagikan, sebelum kembali fokus padaku dengan senyum nakal mereka.
"Yaudah kita cari makan dulu, kasian mamah kamu Naura nanti pingsan," kata Kevin akhirnya, nada suaranya lirih, seakan-akan dia berusaha menenangkan suasana, sambil melirik ke arahku, memperhatikan raut lelah yang pasti sudah tergambar jelas di wajahku.
Langkah mereka sedikit melambat, menyesuaikan dengan irama langkahku yang semakin lama semakin berat. Di balik gurauan dan ejekan tadi, aku tahu, di hati kecil mereka, Kevin dan Naura mengkhawatirkanku.
Meski Naura masih kecil, ia tahu kapan harus berhenti dan bagaimana cara membuat hati ini, meski lelah, merasa sedikit lebih ringan dengan kepedulian mereka yang tulus.
aku, Naura, dan Kevin berjalan menyusuri pasar malam yang ramai. Lampu-lampu berkelipan dari kedai-kedai yang berjejer, menciptakan suasana yang meriah.
Suara orang berbicara, tawa, dan musik dari beberapa sudut pasar malam terdengar menggema.
Kami melangkah menuju kedai bakso yang sudah cukup terkenal di kalangan pengunjung. Sebelum memasuki kedai, aku menoleh ke Kevin, khawatir dia merasa kurang nyaman.
"Kevin, kamu gak papa makan bakso di sini?" tanyaku dengan nada ragu. Kevin, yang terbiasa dengan hidangan mewah, mungkin akan merasa janggal makan di tempat yang sederhana ini.
Kevin hanya tersenyum lebar, menepis kekhawatiranku dengan jawaban yang mengejutkan. "Loh, emang kenapa, Rania? Aku suka makan di tempat seperti ini kok, apalagi di warteg eeem rasanya sangat lezar ran," ujarnya dengan antusias. Senyumnya yang cerah menambah semangatku.
"Baiklah kalo begitu," balasku, lega dan senang melihatnya bersemangat.
Di depan kami, Naura putri kecilku sudah tidak sabar. Dia berlari kecil mendahului kami, hampir sampai di kedai bakso. Tiba-tiba, dia berbalik dan berteriak, "Mamah, om Kevin sini!" Suaranya melengking kegirangan, memanggil kami untuk segera menyusul.
Kamipun segera mengikuti langkah Naura yang telah menemukan tempat duduk di kedai bakso tersebut.
Aroma bakso yang menggugah selera tercium begitu kami mendekat, dan kami pun siap untuk menikmati malam dengan semangkuk bakso hangat yang lezat di tengah keramaian pasar malam.
"Om Kevin, aku akan menyimpan boneka ini," ucap Naura lembut, seraya menciumi boneka yang diberikan oleh Om Kevin.
"Oke, Naura," jawabnya dengan senyum. Aku merasa bahagia melihat Naura begitu senang, dan pada saat yang bersamaan, kami saling mengobrol.
Dalam beberapa menit, aku memesan tiga mangkok bakso yang baru saja tersedia. Tidak lama kemudian, pesanan bakso kami datang dan aroma harumnya sudah sangat terasa.
Kami bertiga menikmati bakso tersebut, yang benar-benar lezat dan tentu saja menghangatkan tubuh di malam yang dingin ini.
Naura, sambil menyuap bakso, tiba-tiba menatap Om Kevin dan bertanya dengan polos, "Om, kapan nih Naura diajak ke kantor Om?" Om Kevin tersenyum sambil berkata,
"Eeeem, kapan-kapan ya, Naura. Kita atur waktu yang pas, ya?"
"Oke, Om!" balas Naura dengan meringis.
Setelah selesai menikmati bakso bersama, kami segera memutuskan untuk pulang mengingat waktu sudah semakin malam dan esok hari Naura harus kembali bersekolah.
Di dalam hati, aku merasa sangat bersyukur dan haru melihat hubungan erat antara Naura dan Kevin, meskipun mereka bukanlah bapak anak kandung.
"Ini tanda kasih sayang yang sungguh tak ternilai," gumamku dalam hati.
"Om Kevin, gendong dong," pinta Naura dengan nada manja.
Kevin pun tersenyum lebar dan dengan senang hati menggendong Naura. Di satu sisi, aku sangat bahagia melihat kedekatan mereka, namun di sisi lain, ada rasa cemas yang mulai menghantui pikiranku.
"Semoga Naura tidak berharap lebih kepada Kevin, semoga dia tidak berharap Kevin menjadi ayahnya kelak," batin aku khawatir.
Aku menyadari betul bahwa Kevin dan aku sejatinya berbeda jauh. Pangkatnya di kepolisian sudah tinggi, sementara aku hanyalah seorang desainer yang merintis usahaku dari nol.
Selain itu, keluargaku tidaklah mampu, berbanding terbalik dengan Kevin yang merupakan anak dari keluarga terpandang.
"Dia tidak pantas untukku. Tapi, apakah dia juga merasa demikian?" tanya hatiku yang mulai terjebak dalam keraguan.
Kevin dan Naura berjalan di depanku, kebahagiaan yang belum pernah aku dan Naura rasakan sebelumnya dengan adnan.
kami masuk kedalam mobil, Kevin melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang membelah jalanan ibu kota.
Naura ketiduran di jog belakang karena kecapekan di pasar malam ke sana kemari riang gembira.
****
kebahagian mu rai...ap lg anak mu mendukung ?
bahagia dan hidup sukses ...