Gema Tangkas Merapi, siswa tampan dan humoris di SMA Gajah Mada, dikenal dengan rayuan mautnya yang membuat banyak hati terpesona. Namun, hatinya hanya terpaut pada Raisa Navasya, kakak kelas yang menawan. Meski Gema dikenal dengan tingkah konyolnya, ia serius dalam mengejar hati Raisa.
Setahun penuh, Gema berjuang dengan segala cara untuk merebut hati Raisa. Namun, impiannya hancur ketika ia menemukan Raisa berpacaran dengan Adam, ketua geng sekolahnya. Dalam kegalauan, Gema disemangati oleh sahabat-sahabatnya untuk tetap berjuang.
Seiring waktu, usaha Gema mulai membuahkan hasil. Raisa perlahan mulai melunak, dan hubungan mereka akhirnya berkembang. Namun, kebahagiaan Gema tidak berlangsung lama. Raisa terpaksa menghadapi konsekuensi dari pengkhianatannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
penyerangan
“Jadi gitu,” ucap Gema sambil duduk, salah satu kakinya dilipat. Namun, ponselnya tiba-tiba berbunyi.
Ding!
Gema mengeluarkan ponselnya dan membaca notifikasi pesan dari Dean: "Gem, udah selesai kelilingnya? Opornya udah mateng nih."
“Lah, cepet amat,” batinnya. Dia melihat jam di layar ponselnya; ternyata sudah setengah jam berlalu sejak mereka berkeliling di makam.
Tanpa banyak bicara, Gema memasukkan ponselnya ke dalam kantong celana dan menggenggam tangan Raisa dengan lembut namun mantap. “Ayo masuk, Kak. Mas Dean udah selesai masak.”
Raisa terkejut sesaat dengan gestur tersebut, tapi dia tidak keberatan. Mereka berjalan beriringan menuju rumah yang jaraknya sekitar 300 meter dari makam. Suasana di sekitar sunyi, hanya langkah kaki mereka yang samar terdengar di atas rerumputan yang basah oleh embun pagi.
Setelah beberapa saat, Raisa memberanikan diri memecah keheningan yang mulai terasa canggung. “Gem...” suaranya pelan namun jelas di tengah sepinya jalan setapak yang dikelilingi pohon-pohon tinggi.
Gema menoleh. Senyuman tipis masih menghiasi wajahnya, tetapi tatapannya kini lebih lembut, berbeda dengan suasana di makam yang terasa berat sebelumnya. Dia seolah kembali menjadi dirinya yang ceria.
Raisa menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. “Kamu nggak ada niatan buat cari orang tua kamu yang asli?” tanyanya hati-hati.
Sekejap, senyum Gema memudar. Pandangannya kembali lurus ke depan, kosong, sementara keheningan menggantung di antara mereka. Raisa merasa bersalah melihat perubahan ekspresi itu dan buru-buru meminta maaf. “Maaf ya... Aku nggak bermaksud nyinggung,” suaranya melemah, khawatir telah melukai perasaan Gema.
Namun Gema hanya terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana. “Nggak kok, gua malah kehibur ngeliat muka lucu lu,” ucapnya sambil mencubit pelan pipi Raisa. Raisa tersipu, meski hatinya sedikit lega.
Setelah jeda beberapa saat, Gema akhirnya berbicara lagi dengan nada yang lebih serius. “Awalnya gua pengen cari mereka,” katanya tenang, “Tapi setelah dipikir-pikir, hidup gua sekarang udah cukup. Gua takut kalau gua ketemu mereka, malah kehilangan hal-hal yang gua punya sekarang.”
Raisa mengernyit bingung. “Maksud kamu?”
Gema tersenyum samar. “Siapa tahu orang tua asli gua nggak asik. Gua nggak bakal ketemu Dava, Kian, Tara, dan... mungkin gua juga nggak bakal ketemu lu.”
Raisa terdiam, wajahnya sedikit memerah mendengar kata-kata Gema. “Tapi, kamu nggak penasaran gimana sebenarnya mereka?” tanya Raisa lagi, mencoba memahami perasaan Gema.
Gema menggeleng sambil tersenyum kecil. “Kadang gua mikir, hidup gua udah cukup beruntung dengan apa yang gua punya sekarang. Gua bisa bebas, bisa jadi diri gua sendiri.”
Raisa menatap Gema dengan perasaan campur aduk, ada sedikit rasa iri di hatinya. “Bebas, ya? Emang Mas Dean sama Papa kamu sebebasin itu?” tanyanya.
Gema mengangguk, tawanya kecil namun tulus. “Iya, walaupun... kalau gua ngomong sekasar sekarang, Papa pasti langsung matahin tangan gua sih. Dulu gua pernah coba nyanyiin intro sinetron Si Doel, eh Papa langsung marah. Katanya, ‘Jangan ngomong kayak gitu, nggak sopan,’” kenang Gema sambil tertawa kecil.
Raisa ikut tertawa, tapi di balik tawanya ada sedikit kesedihan yang ia sembunyikan. “Enak ya, kamu bisa bebas banget,” gumamnya pelan.
Gema menengok ke arah Raisa, mendengar nada suara itu, ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan. “Lah, emang dulu lu nggak bebas?”
Raisa menghela napas, sebelum akhirnya membuka diri. “Nggak... Papa aku punya pangkat tinggi di pemerintahan, dan dia sering ngurus kriminal besar. Karena itu, Papa punya banyak musuh... Aku, sebagai anak cewek pertama dan satu-satunya, harus selalu dilindungi. Nggak bisa ke mana-mana. Sekolah juga di rumah, nggak pernah main sama teman-teman,” ucap Raisa dengan suara getir.
Gema terdiam mendengar cerita Raisa. “Gila... kalo papanya kak Raisa tau kerjaan keluarga gua, auto disuruh jauhin kak Raisa,” pikirnya.
“Tapi akhirnya, setelah bertahun-tahun minta izin, Papa ngizinin aku sekolah biasa. Tapi ada satu syarat...” Raisa melanjutkan. “Aku harus belajar bela diri dari anak buah Papa, dan dilatih setiap hari. Setelah lulus ujian dari mereka, barulah Papa kasih izin gua masuk SMP negeri. Sejak itu, gua baru bisa ngerasain punya teman.”
“Wah... mirip Rapunzel, ya,” ucap Gema dalam hati, mencoba membayangkan kehidupan Raisa yang begitu terisolasi.
......................
Di tempat lain, Adam, pria berwajah Eropa, duduk di sofa kulit yang sudah sobek-sobek. Rokok di tangannya mengeluarkan asap yang mengaburkan pandangan matanya terhadap pemandangan kota dari jendela bangunan terbengkalai.
Ding!
Adam melirik ponselnya yang tergeletak di meja. Notifikasi pesan dari Raka muncul, lengkap dengan video yang membuat alisnya berkerut. “Raka? Ngapain dia ngirimin video?” pikir Adam.
Dengan rasa penasaran, Adam memutar video itu, lalu hatinya mendidih melihat Gema disuapi oleh Raisa, pacarnya. “Bangsat!” Adam bangkit dari sofa, menendang meja hingga botol-botol minuman keras jatuh berantakan.
Dengan muka memerah, Adam langsung menelpon Raka. “Iya Bos, kenap-” suara Raka terdengar dari seberang telepon terpotong.
“Suruh kumpulin anak-anak sekarang juga! Tempat biasa! CEPET!” potongnya tanpa memberi kesempatan pada Raka untuk menjawab lebih banyak.
Kini, di rumah, Gema dan Raisa sudah berada di ruang tamu. Dean, yang awalnya hanya mengenakan kemeja putih dan celana slim-fit, kini sudah rapi dengan hoodie tebal dan celana pendek sedengkul.
“Gimana, Ra? Udah selesai keliling?” Dean menghampiri Gema dan Raisa. Raisa mengangguk pelan. “Udah, Mas.”
“Yaudah, opornya ada di panci. Gua mau keluar dulu,” ucap Dean, berjalan ke arah pintu.
“Mau ke mana, Mas?” tanya Gema, menahan rasa penasaran.
Dean berbalik di ambang pintu. “Ada yang harus gua urusin di Rusia. Oh iya, Anita kemungkinan pulang dua atau tiga hari lagi,” katanya ringan.
“Koper Mas mana?” tanya Raisa, bingung karena Dean tidak membawa apapun kecuali yang melekat di tubuhnya.
“Gua ada rumah di sana, jadi nggak perlu bawa koper,” jawab Dean singkat.
“Kok cepet banget lu masaknya, Mas? Biasanya Mami masak opor lama,” ucap Gema heran.
“Anita udah bikin bumbunya, gua tinggal masak aja,” jawab Dean sambil tertawa kecil. “Udah, jangan banyak tanya lagi. Gua berangkat dulu. Assalamualaikum!”
Dean membuka pintu dan melangkah keluar. “Waalaikumsalam,” sahut Gema dan Raisa bersamaan.
“Ayo makan, laper gua,” ajak Gema sambil menarik tangan Raisa ke ruang makan sekaligus dapur.
“Tapi bentar...” Raisa menghentikan langkah mereka. “Kenapa?” tanya Gema bingung.
“Aku harus pulang. Udah jam lima, takut Bi Nara udah masakin aku makan,” jawab Raisa dengan wajah tak enak.
“Yaelah, tinggal wa Bi Nara doang apa susahnya. Udah, ayo. Gua laper banget nih,” Gema memaksa. Raisa akhirnya mengalah, mereka kembali berjalan menuju ruang makan.
“Duduk di sini,” titah Gema sambil menunjuk kursi tengah. Gema mengambil piring, lalu mengisinya dengan nasi dan opor ayam yang sudah dimasak Dean.
“Nih,” Gema memberikan satu piring ke Raisa. “Makasih,” Raisa tersenyum dan menerima piring itu.
Udah doa belom?" tanya Gema tiba-tiba, menghentikan sendok yang hampir saja sampai di depan mulut Raisa.
Raisa langsung menaruh sendoknya dan mulai berdoa. "Perasaan, lu lupa doa mulu, deh," ucap Gema, sambil ikut berdoa setelahnya.
Setelah itu, mereka mulai makan dengan tenang. Gema terlihat fokus menikmati makanannya, sementara Raisa lebih sibuk dengan ponselnya. Jari-jarinya terus bergerak, membuka satu per satu pesan. Saat itu, sebuah pesan dari Christina, adiknya, muncul di layar.
...Kitty❤️...
Kitty❤️:
Kak Raisaaa! Dedek kangen sama kakak 😭
Kakak, lagi pacaran ya?
Raisa sedikit terkejut. "Hah? Kok Christina tahu gua udah punya pacar?" batinnya.
Dia segera membalas pesan itu.
^^^Raisa:^^^
^^^Kamu tau dari mana kakak udah punya pacar?^^^
Kitty❤️:
Dari kak Andra.
Raisa mendesah, menepuk jidatnya. "Kurang ajar tuh anak," gumamnya.
Ding! Notifikasi baru masuk lagi.
Kitty❤️:
Oh iya kak, besok lusa aku sama Mami pulang ke rumah. 🤗
Raisa merasa hatinya berdebar.
^^^Raisa:^^^
^^^Serius?^^^
Kitty❤️:
Iya, serius! Pokoknya kakak jangan kemana-mana. Dedek kangen banget sama kakak 😔
^^^Raisa:^^^
^^^Aku juga kangen 😔^^^
Kitty❤️:
Nanti kenalin pacar kakak ke aku sama Mami ya.
Raisa menutup pesan itu dengan senyum tipis, tapi dia masih merasa sedikit canggung.
Gema, yang memperhatikan Raisa dari sudut matanya, akhirnya membuka suara, "Lagi chat-an sama siapa sih? Asik banget kayaknya."
Raisa tersentak sedikit, lalu tertawa kecil. "Oh, ini adik aku, Christina. Tapi sering dipanggil Kitty."
Gema mengangguk mengerti. "Oh, yaudah. Cepet makannya. Gua pengen nganterin lu pulang."
Raisa hanya mengangguk, lalu fokus menyelesaikan makannya.
Dalam perjalanan pulang, suasana di antara mereka terasa ringan.
Gema terus bercanda, melempar lelucon-lelucon kecil, namun Raisa hanya menanggapi seadanya, pikirannya masih melayang pada pesan dari adiknya.
Setibanya di rumah Raisa, Gema mematikan mesin mobil dan berbalik ke arah Raisa. "Kak, nanti kapan-kapan main ke rumah ya. Bosen gua cuma di rumah doang sendiri."
Raisa tersenyum tipis, "Iya, nanti aku main. Hati-hati di jalan."
Raisa keluar dari mobil, melambaikan tangan sebelum berjalan memasuki rumah. Namun, tanpa mereka sadari, ada sekelompok pria berbaju hitam sedang mengawasi mereka dari kejauhan, tepatnya di sebuah ruko berjarak sekitar 600 meter.
"Dam, kayaknya itu mobilnya si Gema," bisik Samuel sambil menyipitkan matanya.
Adam, yang sebelumnya sedang menyender di rolling door ruko, langsung berdiri tegak, menaruh kaleng soda ke tong sampah. Tatapannya berubah penuh kebencian saat melihat mobil Gema.
"Si bangsat udah berani anter jemput Raisa. Ayo, kita hadang di pintu komplek, pukulin!" ucap Adam dengan nada penuh dendam. Dia langsung naik ke motornya, sementara anak buahnya mengikuti di belakang.
Gema dalam perjalanan pulang, namun tiba-tiba mobilnya terhenti saat melihat sekumpulan motor menghadang jalan yang sedikit lagi dekat dengan rumahnya.
Gema mengenali sosok Adam di antara mereka, dan dia menyadari situasinya bisa berbahaya. "Hah, si Adam. Siap-siap dikeroyok nih," pikirnya. Dia berpikir untuk meminta bantuan Tara, tapi kemudian dia memutuskan, "Bodo lah, nunggu dia keburu mobil gua diancurin."
Dengan keberanian yang tidak berkurang, Gema keluar dari mobilnya dan menyapa mereka dengan nada santai, "Assalamualaikum abang-abang ku sekalian, kenapa sih kalian mencegat saya?"
Para pemuda itu segera mengeluarkan tongkat baseball dan knuckle. Salah satu dari mereka, Raka, berkata sinis, "Halah, bacot nih bocah. Serang!"
Gema tersenyum miring, lalu memprovokasi mereka, "Yee! Lu pada ngeroyok gua pake senjata? Betitit lu?"
Provokasi itu hampir membuat salah satu anak buah Adam menyerang, tapi Adam segera menghentikan mereka. "Jangan ada yang nyerang!" perintahnya tegas.
Dengan tenang, Adam berjalan mendekati Gema, tatapannya penuh kemarahan yang terpendam. "Lu bilang kita nggak cowok gara-gara main keroyokan. Oke, kalau itu mau lu, lawan gua satu lawan satu," tantangnya.
Gema tersenyum miring. "Ayo, lu jual, gua beli."
bagus kok nevelmu
aku suka