Hubungan yang telah di jalani selama tiga tahun harus berakhir dengan kekecewaan. 2 tahun menjalin hubungan jarak jauh akibat pekerjaan, nyatanya tidak berakhir bahagia. Bahkan janji yang terucap sebelum perpisahan pun tidak bisa menjadi jaminan akan kesetiaan seseorang.
sakit hati Zea membuatnya berubah menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lijun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Joni dan Mimi pergi ke ruangan HRD dengan penuh semangat. Keduanya bahkan berjalan dengan sombongnya karena merasa apa yang mereka inginkan sudah berada di depan mata.
Tok tok tok
Suara sahutan yang meminta keduanya masuk terdengar dari dalam. Di dalam ruangan yang khusus kepala HDR hanya ada satu orang saja di sana.
"Silahkan duduk kalian berdua," kata pria yang usianya di perkiraan empat puluh an itu.
"Ada apa ya, Pak? Apa Bapak mau memberikan jabatan baru sama saya?" Tanya Joni dengan semangat.
Pria di depan mereka tampak mengerutkan kening bingung mendengar pertanyaan dari Joni.
"Maaf, maksud kamu apa ya? Jabatan apa?" Tanyanya.
"Jabatan sebagai Direktur baru perusahaan ini, atau paling tidak saya bisa menjadi wakilnya lah. Kan saya sebentar lagi akan menjadi menantu dari pemilik perusahaan ini," sahut Joni.
Kaca mata yang di kenakan pria itu sontak saja di turunkannya. Di letakkan di meja kerja yang ada di hadapannya. Kini ia mengerti jalan pikiran pasangan yang ada di hadapannya ini.
Keduanya mengira ia memanggil mereka untuk memberikan jabatan. Pada hal kenyataannya tidak begitu dan sangat berbanding terbalik sekali dengan pemikiran itu.
Namun pria yang ternyata masih saudara sepupu dari pak Loni itu jadi tahu apa tujuan utama Joni mendekati Mimi. Dan Mimi yang pemikirannya sudah di tutupi oleh cinta tentu saja tidak menyadari hal itu.
Atau mungkin saja Mimi memang menyadari hal itu, tapi ia membiarkan Joni melakukan hal itu agar ia juga bisa mendapatkan kekuasaan.
Sebenarnya Mimi sendiri tidak memiliki kekuasaan apa-apa di perusahaan papanya itu. Mimi bahkan merupakan setap biasa di perusahaan itu. Sesuai kemampuan dari Mimi sendiri tentunya.
"Bagaimana Pak? Kapan saya bisa mulai menempati posisi jabatan itu?" Tanya Joni yang sudah tidak sabar.
Sudah sepuluh menit pria bernama Roni itu diam sembari membatin dan berpikir sendiri mengenai keponakan perempuannya ini dan calon suaminya. Kini lamunannya harus buyar karena pertanyaan dari Joni sendiri yang sungguh tidak masuk akal baginya.
"kalian saya panggil ke sini bukan untuk jabatan atau lainnya yang berhubungan dengan jabatan," jelas pak Roni.
Joni dan Mimi saling pandang mendengar jawaban pak Roni yang tidak sesuai harapan mereka berdua.
"Maksud Bapak apa, ya? Lalu untuk apa kami berdua di panggil ke sini kalau bukan untuk jabatan? Apa mungkin gaji kami akan di naikkan? Berapa, Pak? Apa sampai seratus atau dua ratus juta sebulan? Atau satu milyar?"
Terasa sakit sudah kepala pak Roni mendengar kalimat Joni yang menebak sampai sejauh itu. Ia sendiri yang sudah lama bekerja di perusahaan yang sesungguhnya milik keluarga itu. Tidak pernah sekalipun terpikirkan olehnya untuk mendapatkan gaji sebanyak itu.
"Sepertinya kamu salah paham dengan maksud saya," kata pak Roni.
"Salah paham bagaimana ya, Pak?" Tanya Mimi gantian.
Sejak awal yang banyak bicara memang hanya Joni saja yang sudah mengkhayalkan akan kesuksesan di depan matanya. Pada hal kalau dari egi kemampuan sendiri, Joni tidak akan mampu mengemban tugas seorang pemilik perusahaan besar.
Karena dari semua nilai kinerjanya selama hampir tiga tahun di perusahaan itu. Semua nilainya standar saja dan tidak ada peningkatan apa pun. Malah akhir-akhir ini banyak sekali keluhan dari pekerja lain tentang tingkah Joni dan Mimi.
"Ini untyk kalian, silahkan keluar. Saya malas banyak bicara," ujar pak Roni seraya menyodorkan dua buah amplop pada pasangan di depannya.
Wajah bingung karena ucapan pak Roni tadi seketika berubah menjadi sangat sumringah. Keduanya mengambil amplop putih di meja dan segera berdiri. Bahkan kepergian mereka juga tidak pamit apa-apa pada pak Roni.
Pak Roni hanya bisa geleng-geleng kepala saja melihat tingkah pasangan itu.
"Botol ketemu dengan tutupnya, klop sudah." Pria itu bergumam sendiri lalu kembali melanjutkan aktivitasnya.
Tidak mau memikirkan kedua orang yang baru keluar dari ruangannya.
Mimi dan Joni sendiri berjalan dengan bahagia dan bangganya sembari memegangi kedua amplop di tangan mereka. Bahkan kedua amplop putih itu di pamerkan pada karyawan lain. Baik yang tidak sengaja bertemu di jalan menuju ruangan mereka.
Atau pada teman-teman di ruangan mereka sendiri. Karena ruangan keduanya berbeda, maka keduanya berpisah hanya yang satu ke kanan dan satu ke kiri.
"Lihat ini! Ini adalah surat kenaikan jabatan ku. Aku akan menjadi Direktur baru di perusahaan ini, dan kalian semua harus menuruti apa perintahku."
Joni yang sangat bahagia dengan apa yang menjadi pikirannya sendiri. Menunjukkan pada yang lainnya tentang keberadaan amplop putih yang di yakininya adalah surat kenaikan jabatan.
Orang-orang yang satu divisi dengan Joni menatap aneh pada pemuda itu. Bagaimana tidak aneh jika apa yang di pamerkan Joni itu benar.
Biasanya kenaikan jabatan menjadi yang tertinggi itu akan ada sesi promosi bagi siapa saja yang menjadi kandidat calon naik jabatan. Sedangkan Joni malah mendapatkan surat tanpa promosi dan lain sebagainya.
"Halu banget ya, dia."
Bisikan seorang wanita di divisi Joni terdengar, wanita ini tidak percaya dengan apa yang di katakan oleh Joni.
"iya, biarkan saja dia dengan ke haluannya yang sangat tinggi itu. Nanti kalau jatuh juga nangis sendiri," sahut yang lain.
"Biasanya kalau mau naik jabatan pasti ada pemberitahuan dari lama kan, ya? Kok sekarang langsung dapat suratnya?" Tanya seorang pemuda yang belum lama bekerja di sana.
"Dia itu calon suami dari anak pemilik perusahaan ini. Yang artinya dia calon menantu dari pemilik perusahaan. Hanya saja kinerjanya sangat standar dan gak cocok sama sekali kalau mau naik jabatan setinggi itu," sahut yang lainnya.
"ku tebak itu pasti isinya surat peringatan untuk dia. Secara kan sudah beberapa bulan ini dia sangat tidak tepat waktu. Bahkan selalu sesuka hatinya di kantor, apa lagi kalau sudah sama Mimi calon istrinya. Beh, jangan sampai kamu senggol kalau gak mau kena ancaman dari mereka."
"Memangnya ancaman apa?"
"Di pecat, tapi sampai sekarang gak ada yang di pecat kalau habis ribut sama dia. Perempuan-perempuan itu aman-aman saja sih."
Anggukan kepala di berikan yang lainnya memang benar apa yang mereka katakan kalau Joni dan Mimi selalu bertingkah sesuka hati mereka saja. Bahkan tak jarang keduanya sok bertingkah seperti bos besar pemilik perusahaan saja.
Joni yang sangat senang hati langsung saja mengambil ponselnya di dalam saku celananya dan menghubungi seseorang tanpa membaca isinya terlebih dahulu.
"Halo, Bu! Segeralah bersiap, pulang kerja nanti aku mau traktir kalian semua di restoran mahal," kata Joni yang ternyata menghubungi sang ibu.
Terlihat senyum sumringah pemuda itu kala selesai bertelpon. Ia tersenyum penuh kemenangan.
'Seandainya aku tetap bertahan sama Zea, entah kapan hidupku bisa sesukses ini. Sekarang pintu kekayaan sudah terbuka lebar, tinggal melangkah saja lagi ke depan dan semuanya akan menjadi milikku' batin Joni.
lanjut torrr