Dunia tak bisa di tebak. Tidak ada yang tau isi alam semesta.
Layak kehidupan unik seorang gadis. Dia hanyalah insan biasa, dengan ekonomi di bawah standar, dan wajah yg manis.
Kendati suatu hari, kehidupan gadis itu mendadak berubah. Ketika dia menghirup udara di alam lain, dan masuk ke dunia yang tidak pernah terbayangkan.
Detik-detik nafasnya mendadak berbeda, menjalani kehidupan aneh, dalam jiwa yang tak pernah terbayangkan.
Celaka, di tengah hiruk pikuk rasa bingung, benih-benih cinta muncul pada kehadiran insan lain. Yakni pemeran utama dari kisah dalam novel.
Gadis itu bergelimpangan kebingungan, atas rasa suka yang tidak seharusnya. Memunculkan tindakan-tindakan yang meruncing seperti tokoh antagonis dalam novel.
Di tengah kekacauan, kebenaran lain ikut mencuak ke atas kenyataan. Yang merubah drastis nasib hidup sang gadis, dan nasib cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M.L.I, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Banyak pakaian yang selalu ada kancing. [2]
✨AGAR MEMUDAHKAN MEMAHAMI ALUR, BACA
SETIAP TANGGAL, HARI, DAN WAKTU DENGAN
BAIK
✨PAHAMI POTONGAN-POTONGAN CERITA
✨BERTYPE ALUR CAMPURAN (MAJU DAN
MUNDUR)
^^^Kamis, 23 Juli 2023 (00.00)^^^
" Woi " Seseorang bersuara, dia seorang gadis, tampak tengah berlari ke dalam lapangan.
Yang berisikan dua laki-laki berpostur tinggi dan tengah memainkan olahraga bola basket saat itu.
" Cih, ngapain lu di sini. " Seorang laki-laki bersuara, sambil memantulkan bola ke lantai.
Tampak keringat bercucur di pelipis laki-laki tersebut ketika memandangi kedatangan gadis barusan, yang menandakan juga bahwa mereka sudah bermain cukup lama.
Gadis itu membalas sinis. " Sewot lu. Gue udah bolos nih, mana janji kalian yang mau ngajarin gue main basket lagi.
" Tangan gadis itu naik menunjuk, mencoba mengancam dengan rautnya yang menyipitkan mata. " Ingat ya, pertandingan kita terakhir kali itu ngga adil. "
Laki-laki lain di buntut tiba-tiba mengacak rambut gadis tersebut dari belakang, yang memang memiliki postur yang jauh tinggi dari tubuh gadis itu, jadi memudahkan dia untuk mengacak dari atas. " Yang kalah, ya tetep kalah aja. " Dia tersenyum usai melakukan aksinya.
Membuat gadis itu tersadar, langsung marah dan menepis dalam gejolak emosi. " Woi! Ni anak! Enak aja main ngacak-ngacak rambut gue. "
Laki-laki yang menjadi pelaku tak menjawab, hanya merespon dengan senyuman. Terlihat jika laki-laki itu sangat puas usai menganggu gadis yang kini berada di sebelahnya itu.
" Okey-okey. Dari pada lu banyak ngoceh, hari ini kita bakal tanding ulang. " Laki-laki yang memegangi bola semula bersuara lagi.
Di ikuti laki-laki di sebelah yang menimpali. Dia sempat mengangguk untuk setuju. " Boleh sih, tapi kalo lu kalah lagi kali ini, lu bakal jadi babu gue seumur hidup. "
Sengaja laki-laki tersebut mengerjai. Masih belum puas dengan kejailan dirinya yang tadi, kini kembali berulah dengan membuat taruhan.
Gadis itu yang mendengar tentu hendak tak terima, tapi kedua laki-laki berpostur tinggi di hadapannya tersebut sudah lebih dulu berlari mencar di tengah lapangan.
Membuat satu-satunya insan berjenis kelamin perempuan di lapangan itu tak punya pilihan, dia akhirnya memilih ikut bermain walau dengan emosi. Sekaligus menunjukan bahwa dia juga tidak takut atas ancaman dari taruhan tersebut.
Jadilah permainan di antar ketigannya, yang saling mencoba mencetak skor masing-masing ke gawang kecil yang tergantung di tiang atas, seharusnya mungkin akan menyulitkan bagi gadis dengan tinggi 151 cm tersebut. Di bandingkan lawannya yang jauh tinggi dan terlihat sangat lihai ketika bermain.
Namun siapa sangka, selama permainan gadis itu tidak cukup buruk, dia berhasil mencetak beberapa nilai untuk mengimbangi. Membuat kedua laki-laki tersebut cukup kagum.
Mereka saling memandangi untuk sesaat melihat gadis itu berhasil memasukan bola, seolah mengatakan jika gadis itu sudah banyak berkembang dan bukanlah lawan yang mudah seperti yang semula mereka pikirkan.
Putaran permainan tak berakhir begitu saja, mereka yang tak mau kalah oleh perempuan semakin aktif untuk mempermainkan bola, saling kerja sama untuk menjatuhkan lawan mungil keduanya, tapi juga di sadari oleh gadis tersebut.
Tentu gadis itu tidak terima adanya kerja sama tim, padahal mereka sedang berada di dalam permainan tunggal, seakan ada kecurangan di antara mereka.
Otak gadis itu cukup cerdik, dia tau tapi tidak bersuara, diam-diam sudah memikirkan rencana jahat lain untuk membalas.
Tepat ketika laki-laki yang memantulkan bola tadi hendak melempar bola ke belakang gadis itu dengan keberadaan laki-laki yang mengacak rambut Natha, gadis itu sigap berbalik.
Dia melompat ke arah tangan laki-laki itu berada, bermaksud agar tangannya yang lebih dahulu menangkap bola yang di lemparkan tersebut. Tanpa sadar jika jarak mereka terlalu dekat. Hingga membuat sebuah insiden terjadi.
Grepp... cup!
Natha terbangun, matanya membelalak, dia mengerjap sejenak untuk menyadarkan diri dari mimpinya barusan. Malam ini Natha bersama kedua siswa lain menginap di rumah Aslan.
Alasannya karena ibu Olivia yang mengkhawatirkan takut terjadi hal-hal yang buruk atau tidak diinginkan ketika Olivia pulang, dan lebih menyarankan agar anaknya itu menginap saja di rumah Aslan.
Terlebih adanya Natha sebagai teman wanita Olivia, juga menghindari omongan tetangga jika Olivia di antar pulang oleh laki-laki di larut malam seperti itu.
Salah satu faktor terbesar masalah itu juga karena mereka yang terlalu asik dan tidak menyadari waktu yang terus berjalan, lalu barulah ketika hendak pulang mereka sudah menjumpai jam yang sudah larut atau tepatnya jam 11 malam.
Iefan turun ikut untuk menginap, tidak memungkinkan juga jika hanya Aslan saja laki-laki yang ada. Akan lebih baik jika mereka sama-sama memilih menginap sekalian.
Sekaligus menghadiahkan raga Natha yang kini berada di atas kasur empuk di kamar Aslan. Sementara dua laki-laki itu tidur di ruang tengah tempat penghabisan waktu di awal malam tadi.
Natha terdiam menoleh ke Olivia yang sudah tertidur tenang di sisi lain kasur, berfikir akan beberapa hal yang dirinya bisa rasakan semenjak berteman dengan ketiga anak sekolahan tersebut.
Dia bisa merasakan naik kendaraan mewah, masuk ke apartemen elit, dan kini untuk pertama kalinya turut merasakan tidur di atas kasur empuk yang besar.
Sedikit Natha sempat mengingat akan eksistensi sang ibu, mungkin wanita itu juga akan mencari dan mengkhawatirkan keberadaan Natha yang tidak pulang malam ini.
Tapi sampai jam sekarang layar telpon canggih Natha tidak menunjukan notifikasi apapun layaknya log panggilan, jadi dia berfikir ibu masih belum kembali ke rumah. Dan wajar jika tidak mencari atau menelpon Natha karena tidak pulang.
Mata Natha memilih bergerak memandangi hamparan cantik kota Jakarta, yang sekarang terpakir di hamparan depan dari kaca bening yang hampir mengelilingi seluruh kamar tersebut sebagai pembatas dengan keadaan luar.
Menghilangkan sejenak pikirannya, dengan posisi Natha yang juga sudah berpindah duduk sambil menyender di ganggang kasur. Kamar laki-laki dengan garis hidung mancung tersebut begitu mewah, luas, dan elit dengan nuansa abu-abu.
Tidak banyak hal yang bertebaran di luar untuk di pandang, hanya jejeran lemari kecil dan tirai tinggi yang menjadi penghalang jika kaca bening tersebut ingin di tutup. Bibir gadis itu tersenyum, merasa bersyukur dengan semua hal yang kini bisa dia rasakan.
Tinittt....!
Natha reflek menoleh, ada sesuatu yang bersuara dari luar kamar. Tampaknya seperti suara pintu yang habis di tutup, sebab gadis itu cukup ingat dengan suara pintu yang mengatup ketika dia baru masuk sebelumnya.
Mengkerutkan kening Natha saat itu, di tengah keremangan kamar yang telah di matikan karena mereka hendak tidur sebelumnya.
^^^Kamis, 23 Juni 2023 (01.54)^^^
Malam itu ibu kota Indonesia terasa dingin, diselimuti angin malam yang berterbaran, masih diisi keramaian penghuni jalan yang melintas larut malam.
Kota itu tak akan pernah tidur, hanya sedikit sepi di malam hari, dan membeludak tumpah di siang hari. Semua penghuninya sibuk, aktif di setiap menit dan waktu.
Sama halnya dengan Natha dan Aslan yang menjadi salah satu contoh manusia aktif kala mereka masih berkeliaran tengah malam. Mungkin sudah pukul 1 pagi di sana.
Usai menyelesaikan permasalahan di kantor polisi, Aslan dan Natha tidak langsung pulang ke apartement. Mereka singgah sebentar di salah satu apotik yang buka 24 jam dan kebetulan berada di jalur menuju apartement Aslan.
Beruntung mereka masih diberikan kebebasan pulang dari kantor polisi, terlebih atas dasar status Aslan yang masih seorang pelajar, dan beberapa bukti yang tidak bisa memberatkan laki-laki itu.
Pengakuan anak sekolah itu yang mengatakan bahwa dia sendiri yang berniat datang ke tempat perkara, tanpa ada paksaan atau unsur penculikan, bisa menjadikan Aslan sebagai salah satu provokator di mulainya perkelahian.
Walau dia juga korban, dan pelaporan ini memberikan polisi kesempatan untuk menangkap serta mengetahui markas preman-preman yang sering meresahkan masyarakat.
Tapi tidak menutup mata bahwa Aslan tetap menjadi pelaku sama halnya dengan orang-orang yang mengeroyoki Aslan. Anak sekolah itu telah melakukan perkelahian yang tidak wajar.
Natha tak terlalu buka suara selama di kantor, permasalahan itu urusan Aslan, dia juga tidak tahu akar hasrat amarah Aslan malam itu, yang menjadikan laki-laki tersebut sampai begitu buta dan rela datang seorang diri ke markas para preman.
Seharusnya Aslan tau bagimana kekejaman dan kejahatan laki-laki di sana saat terakhir kali menyelamatkan Natha, kaca mobil Aslan bahkan ikut pecah di pukuli dengan emosi oleh para preman.
Jelas sudah memberi keterangan jika mereka pasti dan masih memiliki dendam terhadap Aslan, tapi mengapa gilanya malam ini pria itu malah datang lagi seorang diri ke sarang harimau.
Beruntung Natha cepat sadar di malam itu, dia sempat membuntuti kepergian Aslan dengan taxi, yang sebenarnya Natha juga tidak memiliki banyak uang untuk naik kendaraan tersebut.
Uang itu adalah hasil tabungan Natha, untuk dia menyicil kerusakan kaca mobil Aslan akibatan ulahnya, tapi tadi terpaksa dia gunakan.
Entah karena Natha merasa ada hal yang ganjal akan kepergian laki-laki tersebut di larut malam seperti ini, terlebih juga tidak adanya kendaraan lain yang bisa digunakan.
Natha juga tidak tahu mengapa harus dirinya yang bangun di malam itu, mimpi yang gadis itu alami seakan turut andil untuk menjadi penyebab, padahal kalau di pikir Natha juga tidak terlalu lama mengenal anak Sekolah Menengah Atas itu.
Tapi insting Natha tak bisa tinggal diam, terlebih Aslan juga pernah menolong dan bahkan bisa di katakan banyak membantu Natha beberapa kali, tak begitu sebanding dengan apa yang Natha lakukan malam ini.
Usai membuntuti dengan perasaan takut dan trauma, Natha memberanikan diri untuk ikut masuk ke gedung. Ada mobil Aslan yang terparkir di depan bangunan, jelas jika laki-laki itu masuk ke sana.
Makanya meski berat hati Natha tetap masuk, dan mendapatkan hadiah dengan pecakapan sekilas antar Aslan dan seorang laki-laki.
Cahaya lampu yang minim menyulitkan Natha untuk melihat jelas, hingga teriakan salah seorang pria lain untuk menyerang, sudah menunjukan benar jika hal yang ada di depan matanya ini buka sekedar perbincangan ria.
Natha bergegas lari untuk mencari bantuan atau aparat keamanan sekitar, tidak sempat lagi jika dia harus mencari taxi, terlebih Natha tidak punya sisa uang untuk digunakan.
Jadi bermodalkan langkah mungilnya, Natha menembus gelapnya malam di kota Jakarta, dan mencari kalang kabut kantor keamanan terdekat.
Berfikir hanya para polisi yang dapat membantu Aslan dari para preman tersebut. Siapa sangka inisiatif dia akhirnya malah menjadi boomerang bagi Aslan.
Laki-laki itu berakhir jadi pelaku perkelahian di kantor polisi malam ini, di tambah pengakuan mentah-mentah dari Aslan, tidak ada alibi yang dapat membantu laki-laki itu.
Namun dibalik kegaduhan malam, Natha sedikit memperhatikan perilaku Aslan diam-diam, menyadari jika siswa Sekolah Menengah Atas itu adalah seorang pria pemberani dan jujur, walau dalam keadaan yang menusuk padanya sekalipun.
Dia tidak berniat berbohong untuk keuntungan sendiri, dan bodohnya malah terang-terangan memberikan kesaksian inci dari setiap tindakannya.
Betadine, kapas, pengompres lebam, serta obat-obatan luka luar lainya sudah berkumpul dalam kantong kresek putih di tangan Aslan.
Dia duduk di sebelah pada kursi taman tempat Natha menunggu. Sebuah botol mineral Aslan sodorkan didekat Natha. Dia bermaksud memberikan, tapi tidak bersuara sedikitpun.
Mereka belum buka perbincangan sejak kepulangan dari kantor polisi. Lelaki itu belum berani karena dia tahu hal yang telah dirinya perbuat fatal. Sangat egois bahkan bisa membahayakan nyawa sendiri.
Tapi harus Aslan katakan dia tidak akan bisa membiarkan orang-orangnya disekitarnya di sakiti dan di terror seperti kemarin. Saat Baron yang terus mencoba mendekati Olivia waktu di Unit Kesehatan Sekolah sore hari.
Terlebih rasanya tak masuk akal ada seorang pria yang berani meneror perempuan hanya untuk membuat gadis itu menyukainya.
Ya, Aslan menebak jika Baronlah pelaku peneroran Natha, jadi dia datang bermaksud untuk menyelesaikan permasalahan, agar Baron tidak menganggu Olivia lagi.
" Ak sstttt....! " Itulah satu-satunya suara yang Aslan keluarkan, setelah mencoba mengobati lukanya sendiri dekat sudut bibir.
Natha cepat menoleh, memecah kebungkamannya. Dia juga bingung harus memulai dari kata apa sejak tadi, akhirnya memilih tak membicarakan masalah itu untuk sekarang. " Butuh bantuan? "
Aslan menoleh menatap Natha. Dia kaget, gadis yang cukup berpengaruh atas bantuan terhadap dirinya malam ini, akhirnya buka suara.
" Butuh atau ngga! " Natha sedikit menaikan nada. Tapi Aslan yang merasa Natha mulai mau berbicara dengan dirinya semangat, cepat mendekat dan memberikan pengompres lebam itu ke Natha. " Kalo lu ngobatin luka kaya gini, yang ada lu bakalan cepet mati. Lu itu harus bersihin luka-lukanya dulu. "
Perlahan tangan Natha mulai bereaksi membuka kapas, merobek secukupnya, memberi alkohol, mengoles betadine, dan melakukan berurutan semua hal itu perlahan di setiap luka-luka yang ada pada permukaan wajah Aslan dengan telaten.
Tampak cukup pengalaman dari seorang tutor sebelumnya. Sesekali Aslan masih meringgis, tapi tetap di kalahkan dengan tatapannya yang fokus lurus menelisik wajah Natha dalam jarak dekat.
" Gue minta maaf. "
Natha menghentikan tangannya, sesaat ketika Aslan tiba-tiba mengatakan kata maaf.
" Gue minta maaf. Gue sadar kalau tindakan gue malam ini gegabah dan terlalu mementingkan emosi sendiri. Tapi gue cuma ngga terima aja, kalau Olivia di terror dengan keberadaan Baron. " Aslan melanjutkan omongannya.
Natha menelan salivanya, dia tiba-tiba sedikit bertingkah aneh kala Aslan mengungkapkan alasan di berkelahi seperti tadi. Baru tau hal itu rupanya karena Olivia, dan berfikir siapakah sosok Baron yang Aslan sebutkan.
" Jadi tindakan ini hanya karena Olivia? "
Natha yang kikuk cepat menyudahi aksi pengobatannya di wajah Aslan. " It's okay. Semua orang pernah ngelakuin hal yang gegabah. "
Dia masih belum menatap mata Aslan, berbicara seadanya untuk memberikan timbal balik. Sibuk mengambil plester hingga terjeda saat melihat gambar plester yang ada di dalam kantong tersebut.
Aslan bertanya. " Lu ngga marah? "
" Gue? " Menyadarkan Natha dari lamunannya, gadis itu cepat kembali ke kegiatan semula untuk menutupi luka Aslan dengan plester.
Aslan mengangguk. " Lu biasanya selalu marah sama gue, waktu gue berantem sama anak-anak. Dan biasanya lu yang malah mukulin gue balik. "
Alis Natha mengkerut, mata gadis itu kini sudah bergerak menatap bola penglihatan Aslan, ada rasa heran di tatapan gadis tersebut.
Natha yang sadar jika Aslan juga meniliknya segera mengakhiri pandangan, dia menoleh ke arah lain dan memilih diam tanpa lanjut bertanya.
Aslan tersenyum simpul menyadari tingkah gelagapan Natha, dia merasa lega setelah meminta maaf, tak sengaja melirik sendal dan menyadari bagaimana penampilan gadis itu sekarang.
Natha hanya menggunakan sendal jepit dari rumah Aslan, juga baju kaos sepanjang sikut, bersama celana training yang dia kenakan untuk tidur.
Terlihat jika gadis itu pergi dengan terburu-buru untuk mengejar Aslan tadi. Lelaki itu segera melepaskan jaketnya, meletakan pakaian tersebut ke bahu Natha, juga menutupi tubuh gadis itu dengan baik-baik agar hangat.
Dia merasa bersalah membuat Natha sampai hanya menggunakan pakaian itu karena sikap dirinya yang gegabah malam ini. Natha spontan menoleh ke arah Aslan, mereka saling melempar tatapan, dengan akhiran dari Aslan yang memberi senyuman manis.
" Maybe kita harus pulang sekarang. Atau Iefan dan Olivia juga bakal ngehubungi polisi buat nyari kita. " Lelaki itu segera bangun, meninggalkan senyum kecil menggoda Natha.
Natha terdiam tak membalas, dia naik ke mobil mewah Aslan di sisi penumpang, menjadi kali pertamanya setelah kejadian di malam itu, sebab Olivia yang biasanya duduk di kursi tempat Natha berada sekarang.
Mereka pulang bersama menggunakan mobil Aslan, tetap dengan Natha yang menggenakan jaket Aslan yang kebesaran. Aslan sempat menertawakan Natha dengan jaket itu, dia mengacak rambut Natha gemas usai masuk mobil, terlihat begitu bahagia setelah beterainya terisi penuh.
Berbeda dengan Natha yang hanyut dalam pikirinnya sendiri, atas perkataan Aslan sebelumnya.
" Aku? Selalu marah dengan dia? Ketika dia berantem?Sejak awal? "
^^^Jumat, 01 September 2023 (13.09)^^^
Natha berjalan dengan bungkam, tatapannya kosong, masih teringat atas perlakuan Aslan barusan. Tapi ada satu hal yang begitu mencolok di benak gadis tersebut, yakni keberadaan plester merah muda dengan motif hidung babi di tengah-tengah.
Rasanya di malam itu, apotik yang mereka singgahi pasti memiliki banyak plester, termasuk motif polos dan pada umumnya.
Tapi mengapa laki-laki itu malah memilih plester yang sama dengan pemberian Natha terakhir kali, dan justru menggunakan plester itu kembali sekarang ketika berlatih basket di lapangan.
Dubrakk!!!
Natha terlalu fokus dengan pikirannya, sampai tak menyadari langkah kaki yang dia ambil. Dan berujung dengan menabrak seseorang di depannya.
Orang yang di bentrok terkejut, dia hendak menoleh dan protes, tapi malah mendapat penampakan gadis yang dia hindari sejak tadi pagi.
" Iefan!!! " Natha berseru kaget, masih memegangi kepalanya yang terbentur punggung lebar Iefan.
Kedua penglihatan Iefan justru melotot mendengar panggilan, bukannya menyahut laki-laki itu malah memilih pergi, kabur tanpa jawaban apapun.
" Eh! Woi! Lu ngapain lari mulu sih dari tadi. Woi! Lu lupa ya masih punya janji sama gue! " Natha teriak, benak gadis itu memang hendak mencari Iefan untuk melakukan suatu hal yang sudah dijanjikan. Tak di sangka malah bertemu secara kebetulan di tempat ini.
Namun Iefan justru kabur meninggalkan dirinya begitu saja, setelah mereka bertemu muka dalam hitungan hampir 5 detik saja.
Natha mengambil buku dan pulpen kepunyaan dia yang terjatuh, tidak sadar ada seseorang yang telah menatap gadis itu dari jauh.
Hingga seseorang itu memilih pergi di lantai atas, tapi sengaja menyenggol insan lain yang berlimpas dengannya, hingga orang itu terdorong menghantam sebuah pot tepian tembok atas.
" Hak!!! Awasss!!! "
" Natha!!!!! "
Gubrakkk!!!!!!!
Hembusan debu tanah berhamburan, perlahan memudar usai menelan dua insan, dengan keberadaan Natha dan Olivia di tengah-tengah.
Iefan yang mendengar dan melihat cepat menyusul, mendapati penampakan kaki Olivia yang penuh darah akibat tersayat oleh pecahan pot.
Olivia rupanya menjadi sosok yang telah menyelamatkan Natha waktu itu, gadis tersebut sadar ketika tak sengaja melihat seorang pria yang memperhatikan Natha dari jauh waktu di lapangan tadi.
Tak di sangka saat ini malah mencoba mencelakai Natha di tengah-tengah sekolah. Cepat Olivia menoleh ke lantai dua tempat seseorang itu lewat, hal itu di sadari Natha, jadi Natha juga ikut mendongak menatapi langkah kaki seorang pria yang tampak melangkah cepat untuk menjauh.
" Kalian ngga papa? " Iefan berseru panik, memerhatikan seksama kondisi kedua gadis yang berada di sebelah pot pecah.
" Gue ngga papa, tapi kaki Olivia berdarah. " Natha menyahut, tangannya sudah memegangi luka Olivia agar tidak semakin banyak menumpah.
Cekatan Iefan mengendong Olivia ala brydal style. " Lu ngga papa gue tinggal dulu? " Iefan bertanya di sela, dia tak bisa meninggalkan Natha begitu saja. Dia juga korban di kecelakaan ini.
" Ngga papa! Lu duluan aja. Gue bakal nyusul nanti. " Natha menyahut. Dia lebih panik dan tertarik pada intensitas lain.
Membuat Iefan akhirnya dengan berat hati pergi meninggalkan Natha, dia harus mendahului menolong Olivia agar luka di kaki gadis itu cepat di tanggani, serta tidak semakin mengucurkan darah segar.
Siswa-siswa saling berbincang di sana, mereka juga menanyakan tentang kondisi Natha. Tapi gadis itu hanya mengeleng, tak merespon bantuan di sana, lalu malah berlalu pergi begitu saja dari tengah gelimpagan semua orang.
Natha rupanya hendak mengejar keberadaan laki-laki yang dia lihat di lantai dua tadi. Benaknya berfikir jika laki-laki itu pasti dalang dari jatuhnya pot yang hampir mencelakai nyawanya itu, dan mungkin saja termasuk dalang dari peneroran Olivia sekaligus pencurian tas Natha.
Insan pelaku kunci permasalahan Natha belum usai, meski di tengah ketenangan beberapa aktivitas, gadis itu masih tetap mencoba mencari kebenaran orang yang telah mencuri dan menjebaknya untuk datang ke gedung tak terpakai malam itu.
Entah dengan kenyataan jika sosok itu sengaja menjebak tapi tidak mengenali para preman yang ada di dalam, atau memang mengenali para pria bejad tersebut, dan sengaja memasukan Natha ke dalam lobang harimau agar di terkam dengan tidak manusiawi.
Wajar gadis itu begitu bertekat saat ini, mencoba mengejar dengan kakinya yang rupanya keseleo saat jatuh tadi.
Namun tak meluputkan semangat Natha, dia melangkah di kerumunan dan kumpulan siswa, meringis kecil di sela langkah kaki, sampai tangan penuh darah milik Natha berhasil menangkap lengan pria yang menggunakan jaket kulit berwarna hitam.
Di tengah kerumunan itu, pria yang di pegangi Natha akhirnya berhenti. Dia terdiam usai lengannya di gapai Natha.
Dan perlahan menoleh dengan urutan tatapan dari genggaman erat penuh darah di telapak tangan Natha pada lengan jaketnya, dan baru beringsut pindah ke sosok wajah sang gadis penahan.
" Lu! "
^^^Kamis, 23 Juni 2023 (15.31)^^^
Triiiiinggggg!!!!!!
Peluit sekolah berbunyi, menyebar aungan ke seluruh permukaan gedung, tepat untuk pemberitahuan seluruh penghuni sekolah. Pukul ini telah menunjukan waktu pulang, sekeliling siswa bergegas kembali dan mengemasi perabotan masing-masing.
Termasuklah raga sendiri milik Natha, dia sudah menukar baju ke seragam sekolah baru yang telah Iefan belikan tadi.
Juga menyimpang buku serta alat tulis di hamparan meja, yang entah bagaimana bisa Natha dapatkan, dari balik loker yang di bertahu Iefan milik Natha.
Aneh di bilik yang termaksud, memang benar ada perabotan kepunyaan anak Sekolah Menengah Atas Jaya Pura, mencakup sarana belajar layak buku, botol minuman, pulpen kegemaran Natha, atau benda-benda sederhana milik dia, tapi sudah tersusun di dalam loker.
Natha memang suka membaca novel, lamun mengherankan semua buka tersebut juga telah tertelan di perut lemari besi terebut, dari buku-buku cerita pinjaman lain yang seharusnya Natha simpan di area rumah.
Membuat Natha terus tergelimpang rasa bingung, atas kehadiran tubuh sendiri.
Tak sengaja di sisi keadaan, setelah memastikan semua barang-barangnya tersimpan, termasuk menilik terakhir buku coklat pemberian bu Yanna.
Natha tiba-tiba dikejutkan atas atensi seorang pria, mendadak di perut ruangan. Suasana kelas sepi, seluruh teman siswanya telah pulang dan meninggalkan kelas, tersisa Natha yang cukup lambat dan memang enggan untuk berdesak-desak bersama orang lain.
Karena kaki Natha tengah terluka, goresan-goresan itu sudah terlihat lewat ekspose kaki terbuka Natha dari pendeknya rok seragam.
Natha terpanjat kaget, ketika menyadari kehadiaran Aslan di kelas seketika, terlebih sudah mendorong tubuh Natha agar menjejak kembali bokong ke kursi semula.
Tanpa banyak berbicara, Aslan menjongkokkan kaki di depannya, dan mendadak memegangi salah satu kaki gadis itu secara santai.
Aura bola mata Natha melebar diam, dia terbelenggu setelah Aslan mendadak menempelkan obat di kedua area lutunya. Menghening menontoni aksi laki-laki tampan tersebut.
" Apa yang lu lakuin? " Natha buka topik duluan, dia sudah tidak mampu menahan hasrat bertanya. Tapi matanya tetap setia menyoroti ketelatenan tangan Aslan.
" Kaki lu luka, memangnya apa lagi. "
Natha terbeku sejenak atas sahutan datar Aslan. Dia merasa bodoh juga karena bertanya hal yang sudah terpampang jelas. " Da-dari mana lu tau kaki gue luka. " Dia sudah memindah obrolan ke arah yang lebih tepat.
" Celana yang lu pakai saat berada di sisi pintu tadi, udah nunjukin adanya noda darah. " Aslan menutup lihai luka-luka, terlihat sangat lembut untuk tidak menimbulkan keterkejutan dan rasa pedih. Mulutnya bertutur tanpa menoleh ke gadis di depan.
" Jadi... dia memerhatikan hal itu? Bukan karena juga merasa marah dengan ku?
" Apa terasa perih? " Aslan memotong lamunan Natha. sudah menengadah kepala pada sosok pemilik kaki.
Natha sedikit tersentak, tapi buru-buru untuk membenahi, dan mencoba fokus pada pertanyaan Aslan. " Ha? E-enggak! Ngga perih kok. " Dia menjawab cepat, tersorot untuk kembali pada fokus pekerjaan Aslan di bawah.
Di celah waktu, Natha yang memerhatikan kesibukan pengobatan dari Aslan, sedikit teralihkan. Laki-laki itu cukup mahir, dan telaten untuk sekedar pekerjaan yang sederhana.
Hingga atensi lirikan matanya, tiba-tiba tertuju satu, pada aktivitas wajah Aslan, yang tengah meniup kecil luka di lutut Natha agar tidak terasa perih.
Bibir merah muda laki-laki itu mengerucut, menghembus hawa hangat dan lembut, untuk menyentuh gelimpangan kulit Natha.
Menciptakan gejolak jantung berdetak tidak karuan, dari reaksi tubuh gadis tersebut, kala nafasnya terasa tercekat, dia terbelengu untuk menyoroti muka Aslan. Dan mendadak teringat dengan kejadian di malam perkara dalam mobil milik Aslan.
" Apakah... malam itu juga benar-benar terjadi? "
" Ha? "
...~Bersambung~...
✨MOHON SARAN DAN KOMENNYA YA
✨SATU MASUKAN DARI KAMU ADALAH SEJUTA
ILMU BAGI AKU