Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Keesokan harinya, Amara terbangun dengan tekad bulat. Ia harus memberitahu Mas Radit tentang kehamilannya. Ia mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Mas Radit.
"Halo, Mas," sapanya dengan suara gemetar. "Aku mau ngomong sesuatu yang penting."
Namun, panggilannya diabaikan. Mas Radit tidak mengangkat teleponnya. Kekecewaan dan kekhawatiran menggerogoti hati Amara. Ia mencoba lagi, dan lagi, namun hasilnya tetap sama.
"Kenapa Mas Radit tidak mengangkat teleponku?" gumam Amara, air matanya mulai menetes. "Apa dia sedang marah padaku? Apakah dia sudah melupakan aku?"
Amara mengingat kembali masa lalunya. Ia menyesal karena terlalu cepat meninggalkan rumah Mas Radit, meskipun ia tidak diperlakukan dengan adil oleh dua istri Mas Radit yang lain, Dewi dan Yun. Amara adalah istri ketiga Mas Radit, dan ia sering kali diabaikan dan diremehkan.
Dewi, istri pertama Mas Radit, selalu bersikap angkuh dan memandang rendah Amara. Yun, istri kedua, lebih sering bersikap dingin dan cuek. Amara selalu merasa terasing di tengah keluarganya sendiri.
Namun, di balik semua itu, Amara masih mencintai Mas Radit. Ia berharap bahwa Mas Radit akan memperlakukannya dengan adil dan mencintainya sebagaimana mestinya.
"Tapi bagaimanapun, Mas Radit tidak menalakku," batin Amara. Ia masih merasa terikat dengan Mas Radit, meskipun hubungan mereka tidaklah harmonis.
Amara merasa terbebani oleh kehamilannya. Ia harus memberitahu Mas Radit, namun ia takut akan reaksinya. Apabila Mas Radit tidak mau bertanggung jawab, bagaimana nasibnya dan anak yang sedang dikandungnya?
"Aku harus menyampaikan pada Mas Radit bahwa saat ini aku sedang mengandung anaknya," katanya dalam hati. Amara bertekad untuk menemui Mas Radit, namun ia masih menahan diri. Ia berusaha menelpon Mas Radit lagi, namun tetap tidak diangkat.
"Kenapa Mas Radit begitu sulit dihubungi?" gumam Amara, semakin khawatir.
Amara memutuskan untuk menunggu sampai sore. Mungkin Mas Radit sedang sibuk bekerja. Ia berharap Mas Radit akan meneleponnya kembali.
Namun, hari semakin sore, dan Mas Radit tak kunjung menghubungi Amara. Amara semakin khawatir, ia memutuskan untuk pergi ke rumah Mas Radit.
"Aku harus menemui Mas Radit," katanya dalam hati. "Aku harus memberitahunya tentang kehamilan ini."
Amara bergegas keluar dari kantor. Ia naik taksi menuju rumah Mas Radit.
Sepanjang perjalanan, Amara tidak bisa berhenti memikirkan Mas Radit. Ia berharap Mas Radit akan menerima kehamilannya dengan baik. Ia ingin Mas Radit bahagia, dan ia ingin Mas Radit mencintai anaknya.
"Mas Radit, tolonglah aku," batin Amara, "Aku membutuhkanmu sekarang."
******
Amara menekan tombol panggilan di ponselnya. Jantungnya berdebar kencang. Ia menghubungi Albert, teman sekerjanya dulu di klub Kupu-Kupu milik Mas Radit. Di tempat itulah ia bertemu Mas Radit untuk pertama kalinya dan kemudian menjadi istrinya.
"Halo, Mayang, sayang. Aku kangen padamu," jawab Albert dengan suara khasnya yang sedikit kemayu.
"Alfred, sayang, maksudku Amara, sayang. Aku kangen padamu," terdengar nada kekhawatiran dalam suara Albert.
"Iya, Alfred," jawab Amara dengan suara yang sedikit sedih. "Aku juga kangen padamu."
Amara kemudian menceritakan semuanya pada Albert. "Alfred, aku mau bercerita sesuatu. Aku sudah pergi dari rumah Mas Radit. Istri Mas Radit yang lain telah memfitnahku. Dan saat kepergianku dari rumah Mas Radit, ternyata sekarang aku sedang hamil anak Mas Radit. Namun, Mas Radit tidak menghiraukanku lagi," kata Amara, suaranya bergetar menahan kesedihan.
Albert sangat sedih mendengar cerita Amara. "Amara, aku sangat menyesal mendengar semua ini. Aku tidak tahu harus berkata apa. Tapi, aku selalu ada untukmu, kalau kamu membutuhkan bantuan."
Amara sedikit terhibur mendengar kata-kata Albert. "Terima kasih, Alfred," katanya, "Aku butuh bantuanmu."
"Apakah Mas Radit ada di sana sekarang? Aku mau menemuinya," kata Amara.
"Tidak, Amara," jawab Albert. "Mas Radit besok malam baru gilirannya di sini di klub Kupu-Kupu. Kalau kamu mau menemui Mas Radit besok, besok saja kamu datang ya."
Mereka masih bercerita panjang lebar, saling berbagi cerita dan menghibur satu sama lain.
Amara merasa sedikit lega karena memiliki teman seperti Albert yang selalu siap mendengarkan dan mendukungnya. Meskipun ia masih diliputi kesedihan, ia merasa sedikit lebih tenang setelah berbicara dengan Albert.
"Aku harus menemui Mas Radit," kata Amara dalam hati. "Aku harus memberitahunya tentang kehamilan ini. Aku harus memperjuangkan hakku dan anakku."
******
Di kantor, Amara tak bisa berkonsentrasi pada pekerjaannya. Setiap kali ia melihat makanan, perutnya terasa mual. Ia pun seringkali teringat pada kondisi kandungannya.
"Anakku, apapun yang terjadi, aku tetap mengasihimu," batin Amara, sambil mengelus perutnya yang masih rata.
Pak Mulyono yang melihat Amara tak bersemangat, menghampirinya dengan wajah khawatir. "Amara, kamu belum sembuh? Kalau kamu belum sembuh, kamu istirahat dulu. Kamu jangan kerja dulu," kata Pak Mulyono.
Amara menggeleng, "Saya tidak apa-apa, Pak. Saya tetap harus lanjut bekerja," jawabnya, meskipun suaranya terdengar lirih.
Amara berusaha menyembunyikan kesedihannya. Ia tak ingin membuat Pak Mulyono khawatir. Namun, dalam hatinya, ia merasa sangat terbebani.
"Bagaimana kalau orang tua Mas Radit tahu aku hamil?" gumam Amara. "Mereka pasti marah padaku."
Amara merasa sendirian dan terpuruk dalam kesedihan. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin memberitahu Mas Radit, namun ia takut akan reaksinya.
"Mas Radit, tolonglah aku," batin Amara. "Aku butuh bantuanmu sekarang."
Amara berusaha tegar dan menyelesaikan pekerjaannya. Namun, pikirannya terus tertuju pada Mas Radit dan anak yang sedang dikandungnya.
"Aku harus kuat," batin Amara. "Aku harus bisa melewati semua ini."
******
Sore itu, sekitar pukul 2.00, Rizki muncul di kantor. Ia tersenyum hangat kepada Amara. "Halo, Amara. Apa kamu benar-benar sudah pulih?"
Amara berusaha tersenyum balik, meskipun hatinya dipenuhi kekhawatiran. "Aku baik-baik saja," jawabnya singkat.
Beberapa menit kemudian, Pak Mulyono memanggil semua karyawan untuk berkumpul. "Besok pagi, pukul 10.00, kita meeting," kata Pak Mulyono. "Ya, ada satu hal penting yang akan kita bicarakan."
Rizki berdiri di samping Pak Mulyono, sesekali mereka berbisik-bisik, namun Amara tak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.
Amara berusaha fokus pada pekerjaannya, namun pikirannya terus tertuju pada kehamilannya. Ia memikirkan Mas Radit, orang tuanya, dan masa depan anaknya.
"Apa yang akan terjadi pada aku dan anakku?" gumam Amara dalam hati. "Aku harus kuat. Aku harus bisa melewati semua ini."
Amara merasa terbebani oleh pikiran-pikiran yang tak kunjung henti. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi besok dalam meeting itu.
"Apakah ini ada hubungannya dengan aku?" batin Amara. "Apakah Pak Mulyono tahu tentang kehamilan ini?"
Amara hanya bisa berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja. Ia berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatinya dipenuhi kekhawatiran.