Tak sekedar menambatkan hati pada seseorang, kisah cinta yang bahkan mampu menitahnya menuju jannah.
Juna, harus menerima sebuah tulah karena rasa bencinya terhadap adik angkat.
Kisah benci menjadi cinta?
Suatu keadaanlah yang berhasil memutarbalikkan perasaannya.
Bissmillah cinta, tak sekedar melabuhkan hati pada seseorang, kisah benci jadi cinta yang mampu memapahnya hingga ke surga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2
Cuaca hari ini tak secerah kemarin, agak sedikit mendung, namun tidak hujan.
Sekitar tiga puluh menit setelah mengikuti ujian tertulis untuk keperluan beasiswa, ponsel Yura tiba-tiba berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari Juna, pria itu ternyata sudah menunggunya di luar gedung kampus.
Karena tak ingin teman-temannya heboh, Yura pun menolak bantuan dari mereka yang ingin membawakan tas sekaligus mengantarnya hingga ke depan pintu gerbang utama kampus.
Heboh? Kenapa bisa heboh? Teman-teman Yura menganggap kalau Juna adalah pria idaman setiap wanita. Selama mengikuti pendidikan dokmil, Juna tak antar jemput adiknya, otomatis teman-teman Yura akan histeris begitu melihat pria yang berprofesi sebagai dokter umum itu kembali menampakkan batang hidungnya.
Dan kondisi Yura yang sedikit tidak enak badan, pusingnya justru bertambah karena terlalu memaksakan diri untuk mengikuti tes seleksi. Badannya juga demam, dan wajahnya nampak pucat.
Dari lantai tiga, pelan Yura menuruni anak tangga dengan tertatih. Kalau saja ini tempat sepi, ia pasti sudah berjalan dengan merangkak karena saking lemasnya. Energinya seakan terserap drastis oleh suhu tubuh yang di rasa kian memanas.
Menarik napas dalam-dalam, ia mengedarkan pandangan ketika langkahnya tiba di luar pintu pagar, sepasang matanya langsung menangkap sosok Juna tengah bersandar di pintu mobil bagian samping saat memalingkan wajah ke arah kiri. Rambutnya yang gondrong di ikat menggunakan ikatan rambut.
Kembali ia memaksakan diri untuk melangkah, namun kali ini Yura membuang wajah lesunya, tak mau terlihat sakit di depan kakak angkatnya.
"Assalamu'alaikum" Sapa Yura. Pria itu lantas berdiri tegak seraya mengeluarkan tangan dari kantong celananya.
"Wa'alaikumsalam" Sahutnya datar. "Lama banget si. Panas tahu!"
"Maaf"
Juna menatap sinis wajah Yura kemudian langsung mengitari depan mobil dan masuk.
Yura sendiri membuka pintu lalu duduk di kursi samping kemudi.
Hening...
Perlahan mobil mulai bergerak, Juna sempat memusatkan atensinya di bibir Yura, baru bisa menyadari kalau wanita di sebelahnya mungkin sedang kehausan.
"Mau minum?" Tawarnya.
Yura kaget, lalu menoleh ke samping kanan. Tentu saja merasa aneh mendengar tawarannya.
"Enggak" Ia kembali meluruskan pandangan, sambil menyandarkan kepala pada jok mobil agar lebih nyaman.
"Nggak usah gengsi, nih aku taruh sini, kalau mau minum, ambil aja" Juna meletakkan botol mineral di lobang belakang versneling.
Sepasang matanya lalu melirik spion tengah sebelum kemudian memutar roda kemudi ke arah kiri.
"Kamu kenapa? Nafasmu terdengar ngos-ngosan?" Pria itu bersuara setelah tadi sempat hening cukup lama.
"Aku?" Tanya Yura bingung.
"Memangnya ada orang lain di sini, hah?" Juna melirik Yura sekilas.
Yura tak menjawab. Juna kembali bersuara.
"Kamu sakit?"
"Enggak"
"Nggak usah sok kuat, kamu sakit kan?"
"Enggak, cuma capek aja"
Pria itu mencuri pandang wanita di sampingnya, namun hanya sesaat. Perhatiannya kembali fokus ke jalanan.
Mendadak ia teringat dengan ucapan mamahnya tadi pagi, tepatnya setelah Yura pergi ke kampus dengan di antar oleh kakak tertuanya.
"Kamu nggak ada pacar, atau teman dekat kan Jun?"
"Belum ada, mah. Kenapa?"
Senyum Jazil seketika terbit mendengar jawaban putranya. Juna yang merasa tengah di goda, ia buru-buru menangkis prasangka sang mama.
"Bukan berarti nggak laku loh, mah. Ada banyak sekali wanita yang ngelamar jadi pacar bahkan jadi istri, tapi karena saking banyaknya, aku tolak semua"
"Lupakan wanita-wanita itu, kamu nikah aja sama Yura" Celetuk Jazil.
Prak...
Buku yang sedang Juna pegang langsung jatuh karena terkejut.
"Nikah sama Yura?"
"Hmm" Sahut Jazil sembari menganggukkan kepala tanpa ragu.
"Mamah ini ada-ada saja. Mama tahu kan, aku nggak pernah akur sama dia. Apa jadinya rumah tangga kami. Pastinya susah buat dia menaati semua aturanku nanti"
"Ya di coba aja dulu"
"Mama pikir pernikahan cuma buat uji coba?" Juna memungut bukunya di lantai. "Lagi pula nggak etis nikah sama adik sendiri" Tambahnya, berjalan menuju meja kerja, lalu duduk.
"Kalian nggak ada hubungan darah, jadi sah-sah aja. Dari pada jadi fitnah terus-terusan"
"Ya udah suruh nikah saja sama laki-laki kualitas premium, biar dia bisa keluar dari rumah ini"
"Kamu tahu mama sayang banget sama Yura, mama nggak mau dia pergi, apalagi nikah sama pria lain. Mama nggak rela"
Juna menatap Jazil yang sudah berdiri di sampingnya, dia mendongak dengan sorot menyelidik.
"Kenapa mama nggak rela, harusnya senang anak perempuannya ada yang meminang"
"Yura itu gadis yang baik, sholehah, juga pintar dalam segala hal, sayang kalau nggak kamu miliki"
Flash back of..
"Ckkck apa baiknya dia?" Gumam Juna dengan sudut bibir terangkat, kepalanya menoleh ke samping kiri sejenak.
"Aku memang nggak ada baiknya, mas" Cicit Yura, matanya terpejam. Meski Juna mengatakannya dengan sangat lirih, namun Yura tetap bisa mendengarnya.
"Cih... GR, bukan kamu kali"
"Terus siapa? Bukannya mas selalu bilang gitu ke aku. Aku nggak ada baiknya di mata mas, hanya ada salah dan luput dalam diriku, iya kan?"
Juna diam, tak menampik, sebab apa yang Yura katakan memang benar. Dirinya selalu melihat Yura dari sisi negative.
Ketika tahu-tahu turun hujan, pria itu segera menyalakan wiper. Selang sepuluh menit, ia berhenti di depan sebuah warung bakso.
"Ra, makan bakso dulu, yuk!" Ajaknya seraya meminggirkan mobilnya.
"Ra" Panggilnya ketika tak ada respon dari Yura. Juna menoleh, lalu menyentuh punggung tangan Yura untuk membangunkannya.
"Kamu demam, Ra?" Dia menggelengkan kepala sembari menghela napas panjang. "Yura, Yura. Kamu benar-benar merepotkan" Tambahnya, yang tak lama kemudian Juna turun, membiarkan Yura tetap berada di dalam mobil.
Juna tahu jika Yura sedang demam begini, hanya bakso yang bisa masuk ke perutnya.
Beberapa menit berlalu, Pria itu kembali ke mobil dengan tangan membawa kantong plastik berisi sekitar lima bungkus bakso.
Sementara Yura masih pulas tertidur di dalam mobil. Ia kembali mengemudikan mobilnya, melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
****
Hampir empat puluh lima menit perjalanan, mereka akhirnya sampai.
Sepasang mata Juna menyorot heran ketika mendapati mobil milik ustadz Zaki terparkir di halaman rumahnya.
Sebelum turun, ia lebih dulu membangunkan Yura.
"Bangun Ra, kita sudah sampai"
Yura menggeliat, mengendus cairan yang nyaris keluar dari hidungnya.
Ia lantas mengusap hidung dengan telapak tangan.
"Kamu flu tuh, jaga kesehatan dong, badan udah kurus kering kaya tiang listrik, di tambah sering sakit, mau jadi tiang jemuran, hah?"
"Suka-suka aku lah, mau sakit mau sehat, aku yang rasain" Balasnya sambil melepas seatbelt.
"Di bilangin juga"
"Nggak usah sok peduli"
"Siapa yang peduli, harusnya bersukur masih ada yang ingetin. Nih, aku beliin bakso"
Yura sedikit girang, ia memang sedang ingin sekali makan makanan yang berkuah panas serta pedas. Bakso cocok di kala cuaca seperti ini, apalagi kondisinya sedang meriang, jelas hanya makanan itu yang dia inginkan.
"Loh, bukannya ini mobil ustadz Zaki, mas?" Dia baru sadar kalau ada yang datang.
"Hmm"
"Ngapain beliau kesini?"
"Nanti aku tanyain dulu, okay!"
Bibir Yura mengerut, melirik sinis kakaknya yang juga sedang meliriknya tak kalah sinis.
Wanita berkerudung ping lantas masuk lebih dulu dan langsung menyapa ustadz Zaki beserta istrinya setelah sebelumnya mengucap salam, dan bersalaman. Tak lama kemudian Juna pun masuk.
"Assalamu'alaikum" Ucap Juna, sambil menyalami ustad Zaki dan Khadijah. "Dari mana saja ustadz?" Imbuhnya, mewakili pertanyaan Yura sebenarnya.
"Dari rumah saja, Jun. Kesini ada perlu sama mamah kamu, sekalian meminta Yura buat datang ke pesantren"
"Oh.." Juna melirik Yura.
"Oh, ya Yura" Khadijah, istri ustadz Zaki bersuara, membuat Yura otomatis mempertemukan netranya.
"Iya, ummah?"
"Besok datang ke pesantren, ya. Kebetulan pria yang kamu kirimi CV buat ta'aruf ngajak ketemu"
"CV saya di terima, ummah?" Tanya Yura. Dia memang mengirimkan CV ke seorang pria yang menjadi pujaan hatinya sejak lama. Pria kualitas premium yang saat ini kabarnya sedang menempuh pendidikan S 3 di Turki. Yura sering melihat pria itu mendampingi ayahnya berdakwah, selain ahli di bidang agama, dia juga seorang pengusaha.
"Iya, sayang. Kamu bisa datang ke pesantren jam dua, besok"
"Baik, ummah"
Khadijah tersenyum senang melihat binar wajah Yura. Berbeda dengan Jazil yang justru menerbitkan senyum masam.
Juna sendiri tak tahu apa yang dia rasakan. Ada rasa senang karena akhirnya saingannya akan keluar dari rumah ini, namun juga ada ketidak relaan yang entah dari mana munculnya.
Bersambung.
Malik ntar poligami
tp sy msh gregetan sm yura yg ga peka sm keinginan orang tuay dan juna jg ga trs terang sm yura klu dia suka...klu yura sdh tunangan sdh ga ada harapan buat juna...s.g aja ga jd khitbahy
ayo Thor lanjut lagi
ntar lama2 jd cinta..
lanjut mbak ane
yura kurang peka terhadap keinginan jazil, kurang peka dg perubahan juna dan kurang peka sama perasaan sendiri
yuk kak lanjut lagi
thanks author semangat ya berkarya