Tentang sebuah perasaan dan liarnya hati ketika sudah tertuju pada seseorang.
Rasa kecewa yang selalu menjadi awal dari sebuah penutup, sebelum nantinya berimbas pada hati yang kembali merasa tersakiti.
Semua bermula dari diri kita sendiri, selalu menuntut untuk diperlakukan menurut ego, merasa mendapatkan feedback yang tidak sebanding dengan effort yang telah kita berikan, juga ekspektasi tinggi dengan tidak disertai kesiapan hati pada kenyataan yang memiliki begitu banyak kemungkinan.
Jengah pada semua plot yang selalu berakhir serupa, mendorongku untuk membuat satu janji pada diri sendiri.
”tak akan lagi mencintai siapapun, hingga sebuah cincin melekat pada jari manis yang disertai dengan sebuah akad.”
Namun, hati memanglah satu-satunya organ tubuh yang begitu menyebalkan. Untuk mengendalikannya, tidaklah cukup jika hanya bermodalkan sabar semata, satu moment dan sedikit dorongan, sudah cukup untuk mengubah ritme hari-hari berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lu'lu Il Azizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Merawat 2
Niatku untuk libur hari ini gagal. Ada tugas mendadak yang tidak bisa aku wakilkan pada Laksa. Pukul 07.00 aku kembali ke toko. Hingga sore hari menjelang, aku sama sekali tidak bias tenang, membayangkan kondisi Ain membuatku kurang fokus. Rasanya waktu bergerak lebih lambat hari ini. Beberapa kali Laksa heran melihat tingkahku.
“akhirnya selesai!”bukti-bukti nota bekas TF ku gulung menjadi satu, terikat oleh karet gelang warna hijau.
“kita langsung pulang, gapapa kan?”aku bertanya pada Laksa, bernada memaksa. Padahal biasanya aku akan mengajaknya makan terlebih dahulu. Laksa hanya mengangguk sambil fokus nyetir, Kami sedang dalam perjalanan.
“nanti aku bawakan terang bulan dek.”aku mengirim voice note pada Ain. Tak lama berselang dia langsung menjawab juga dengan cara yang sama.
”emoh. aku benci terang bulan!” meski bernada menekan, suaranya masih terdengar lemas.
”terus, minta di bawakan apa....”
“terserah!”
Aku mengusap dahi, menarik nafas panjang, lalu membuangnya perlahan.
”andai kamus besar bahasa indonesia mampu menerjemahkan secara presisi, arti terserah yang terucap dari mulut wanita.”gumanku sendiri sembari membesarkan volume musik yang terpasang pada mobil. Laksa menggelengkan kepala penuh heran.
***
Pukul 19.12 aku sampai di depan rumah ibuk, pintu depan sudah terbuka. Terdengar suara-suara berisik anak kos, riuh. Dulu jika sudah lewat jam sembilan malam dan kami masih berisik, terutama karena sedang asyik main game. Dari halaman tempatku berdiri saat ini, ibuk akan marah, berteriak dengan suara khasnya. Kami semua akan langsung terdiam, sambil mengintip pelan dari pojok jendela, menunggu ibuk kembali masuk ke dalam rumah. Aku tersenyum mengingat masa-masa itu dulu.
Ku ucapkan salam tapi tidak ada jawaban. Karena pintu tidak terkunci aku langsung masuk, Ain tidak ada di tempat semalam. Telingaku mendengar suara berdebat, itu suara ibuk. Aku mengikuti sumber suara itu, arahnya menuju kamar Ain.
Tidak perlu waktu lama, aku berdiri tepat di pintu kamar Ain.”untung kamu sudah datang le.”ibuk menoleh ke arahku, wajah beliau terlihat cukup jengkel.
“urus adikmu satu ini! Ibuk menyerah...”keluh beliau memberikan semangkok bubur padaku. Ain diam tidak peduli, dengan HP di tangan kanannya.
”bocah, disuruh makan sulitnya minta ampun!”ibuk terus menggerutu sebelum akhirnya meninggalkan kami berdua.
Ain masih cuek. Dia memainkan HP, bersandar pada dinding yang melekat dengan ranjang. Aku menyentuh keningnya dengan punggung tangan, dengan maksud mengecek demamnya.
“makan dulu Sek!”
“emoh aku bubur! gak enak.”protesnya, dengan wajah persis anak kecil, dia masih fokus dengan HPnya. Ku tarik nafas panjang.
“di paksa....”aku merebut paksa HP dari tangannya dan berhasil.
Ain menatap tajam, melotot dengan bibir yang mulai manyun.
”masss… balikin!”teriaknya bangkit dari posisi dan berusaha mengambil kembali HP yang ada di tangan kananku, tangan kiriku masih memegang semangkok bubur yang tadi ibuk berikan padaku. Aku berbalik dan menjauh dari ranjang.
”asal makan dulu!”aku balik melotot.
“asal bukan bubur!”jawabnya juga tidak kalah melotot, duduk di pinggiran kasur, manyun. Berharap HPnya segera aku kembalikan.
“aku bawa bakso favoritmu, mau kan?”
Ain mengangguk.”balikin dulu HPku, mas!”dia masih ngotot seraya membuang wajah.
“tidak bisaa... sebentar, aku ambil mangkok dulu.”nadaku menggoda dan langsung meninggalkannya menuju dapur.
”mas... jahat!”Ain kembali teriak karena HP nya masih ada di tanganku. Aku tersenyum, sepertinya dia sudah jauh lebih baik dari pada semalam.
Aku membawa masuk meja kecil ke dalam kamar, serta satu kursi yang saat ini sedang ku gunakan untuk duduk. Ain masih tetap duduk di tepian ranjangnya, dia mulai makan bakso putihan tanpa saos, kecap maupun sambal. Wajahnya tidak setuju, namun aku memaksa.
“kali ini harus habis!”perintahku sambil menyantap bubur yang tadi menjadi sumber kejengkelan ibuk.
Ain hanya memainkan pentol bakso dengan sendok, nafsu makannya masih terlihat buruk.“mas... rasanya hambar.”protesnya hanya mengaduk-aduk kuah bakso, lesu.
“harus habis! Salah sendiri kemarin-kemarin telat makan.”akupun juga tidak kalah keras kepala, terus memaksanya.
Ain terdiam sejenak, bibirnya semakin manyun.“siapa juga penyebabnya?”ucapnya pelan. Melirikku sebentar, sebelum kembali melihat ke arah mangkok di hadapannya. Aku menghentikan laju sendok yang sudah penuh dengan bubur lalu menatap ke arahnya.
”ehh... gak jadi... lupakan!”raut wajahnya berubah, satu pentol dia lahap dengan cepat.
“iya.. iya.. maaf dek Ain.. aku penjahatnya!”tukasku sembari lanjut menyantap bubur.
“bodoh..!”sepintas aku mendengar Ain mengucap itu. Lirih. Ketika aku menatap wajahnya, dia segera membuang muka.
“apa maksud Ain mengarah pada Laras.”batin ku menebak.
”dia beneran cemburu kah?”lanjutku menerka, sudut bibirku menyunggingkan senyum.
“mas, aku kasih saos sama kecap ya. Dikit! Rasanya aneh...”suara Ain menyadarkan ku, dia memohon dengan memasang wajah melas.
“masa..? Sini aku coba.”tanpa menunggu persetujuan darinya aku langsung mengambil satu pentol ukuran sedang menggunakan sendok.
“enak dek..”ucapku memandangnya sambil mengunyah pentol bakso yang masih berada dalam mulut.
Ain mengerutkan bibir, menaikan alis.“mas..! kenapa pentolnya yang di ambil!”gerutunya berwajah mirip anak kecil.
“harusnya kan kuahnya saja kalau mau nyoba!”wajahnya semakin cemberut, aku paling suka ekspresi wajah yang seperti ini. Kembali, hatiku bereaksi.
Kemarin-kemarin aku begitu kesulitan untuk menjelaskan situasi tentang Laras. Bahkan aku sudah punya niat ingin menetralkan lagi rasa ini. Namun, satu moment saja sudah cukup untuk mengembalikan semua debaran hebat itu lagi.
Hati! Kau memang sangat menyebalkan.
Ada yang lebih sulit dari menyuruh Ain makan saat dia sedang sakit, yaitu menyuruhnya minum obat. Jika orang yang belum lama kenal dengannya, pasti mereka akan merasa heran.
”kok ada wanita semanja ini.”pasti hal itu yang akan muncul di dalam benak mereka.
Untuk 4 butir pil saja, sudah berapa kali aku terpaksa menarik nafas panjang. Memperbanyak cadangan sabar, merayu, memaksa, dan juga harus telaten. Benar-benar bukan usaha yang mudah.
Setelah pil terakhir berhasil Ain telan, rasanya aku seperti habis menyelamatkan kota dari ancaman para penjahat!
Aku kembali dari belakang setelah membersihkan bekas mangkok kami. Ain sudah kembali bersandar pada pinggir ranjangnya, memainkan HP dengan kaki selonjor. Aku kembali duduk pada kursi.”agak ketengah sek.”pintaku.
Ain paham dengan maksudku. Dia menggeser posisinya sedikit ke tengah ranjang, memberi ruang untukku bisa merebahkan kepala pada tepian ranjang, aku masih duduk di kursi yang sama. Merasa tugasku merawat Ain selesai, rasa capek ku langsung menyapa. Dari semalam rasanya aku belum tidur, mataku terasa seperti menahan berat batu dua kilo.
Tidak butuh waktu lama untukku tertidur dengan setengah duduk. Hanya wajah dan kedua tanganku yang berada di kasur yang sama dengan Ain.
“mas...maas...”suara Ain samar terdengar.
“hmmmmm..”Aku masih setengah sadar, dia menggoyang bahuku dengan tangannya.
“ada telpon mas.”dia masih terus menggoyang bahuku pelan.
Dengan terpaksa aku meraih HP.”hallo…”sapaku malas, belum sepenuhnya sadar.
“kata adikku. Mbak Ain sakit? Gimana keadaannya sekarang mas?”
ternyata Laras yang sedang menelepon. Sayup-sayup aku mendengar suaranya, mataku sama sekali tidak bisa di ajak kompromi.”alhmdllh, sudah mendingan. Ini aku sedang di sampingnya.”jawab ku masih setengah sadar.
”syukurlah kalau begitu.”ucapnya di seberang telpon.
“iyaa.....”aku merasa ngantuk sekali, jangankan melihat ekspresi Ain, untuk mengangkat kepala saja rasanya berat.
Tidak ada lagi kalimat yang keluar dari mulut Laras, aku bahkan tidak sadar apakah dia sudah mengakhiri panggilan atau belum.
Hanya saja, setelahnya aku merasa melakukan sebuah percakapan dengan Ain, tapi aku tidak yakin apakah itu mimpi atau bukan.
Pukul 02.00 aku terbangun, mengamati sekitar dan merasa bingung. Selimut Ain membungkus tubuhku, aku bahkan tidur di atas ranjangnya. Kapan aku berpindah kesini? Dan yang lebih penting dimana Ain, kenapa aku sendirian di kamarnya. Aku bangkit lalu keluar dari dalam kamar. Semua lampu di dalam rumah sudah mati, kecuali ruangan tempat nonton TV, terlihat cahaya redup di sana.
“astaga!”bagaimana aku tidak kaget, melihat Ain tidur di ruangan tersebut, hanya berselimut kain batik tipis yang sudah tidak sepenuhnya menutupi baju terusan yang dia pakai. Aku berdecak, kemudian kembali ke kamar untuk mengambil selimut yang tadi membungkus tubuhku.
Cukup lama aku memandang wajahnya yang sedang terlelap, tenang dengan dengkur teratur. Tidak seperti semalam yang terus saja mengigau.
“maaf.”ucapku saat tidak kuasa menahan diri untuk tidak membelai wajahnya yang berhasil membuat hatiku tidak pernah berhenti bereaksi, tentunya setelah aku menutup tubuhnya dengan selimut yang baru aku ambil.
”semoga kau benar jodohku.”batinku penuh harap. Lalu pergi ke ruang tamu untuk melanjutkan tidurku di sofa panjang.