Ava Seraphina Frederick (20) memiliki segalanya kekayaan, kekuasaan, dan nama besar keluarga mafia. Namun bagi Ava, semua itu hanyalah jeruji emas yang membuatnya hampa.
Hidupnya runtuh ketika dokter memvonis usianya tinggal dua tahun. Dalam putus asa, Ava membuat keputusan nekat, ia harus punya anak sebelum mati.
Satu malam di bawah pengaruh alkohol mengubah segalanya. Ava tidur dengan Edgar, yang tanpa Ava tahu adalah suami sepupunya sendiri.
Saat mengetahui ia hamil kembar, Ava memilih pergi. Ia meninggalkan keluarganya, kehidupannya dan juga ayah dari bayinya.
Tujuh tahun berlalu, Ava hidup tenang bersama dengan kedua anaknya. Dan vonis dokter ternyata salah.
“Mama, di mana Papa?” tanya Lily.
“Papa sudah meninggal!” sahut Luca.
Ketika takdir membawanya bertemu kembali dengan Edgar dan menuntut kembali benihnya, apakah Ava akan jujur atau memilih kabur lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 7
Lily melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Luca yang cekikikan penuh kemenangan di balik selimut.
Sesampainya di kamar Ava, mendapati ibunya sedang duduk di tepi ranjang seorang diri. Dengan kedua siku bertumpu di lutut, wajahnya terbenam di telapak tangan.
Ava tampak sangat lelah, bukan hanya lelah fisik, tetapi lelah jiwanya.
“Huft! Semoga mama tidak mengusir Lily dari sini.” gumam Lily berjalan mendekat dan berdiri diam di hadapan ibunya.
Ia tahu, dalam kondisi seperti ini, diam lebih efektif daripada cerewet.
Setelah beberapa saat, Ava mengangkat kepala. Mata lelahnya menatap Lily.
“Lily?”
Gadis itu hanya nyengir. Membuat amarah Ava seketika meluap entah kemana.
“Mama, sebenarnya Lily mau—”
“Maafkan mama karena sudah membentakmu,” potong Ava pelan.
Lily menggeleng cepat. “Tidak, Mama. Lily yang salah. Maaf karena membahas papa lagi. Lily tahu mama sedih kalau Lily bahas itu,” ucap Lily dengan jujur dan tulus.
Meskipun Lily cerewet, ia tahu batas antara kemanjaan dan menyakiti perasaan ibunya.
Ava menarik Lily ke dalam pelukannya. Pelukan itu erat, dipenuhi rasa bersalah yang mendalam. Gadis kecil ini adalah sumber kekuatannya, tapi juga sumber rasa bersalah terbesarnya.
“Mama tidak sedih, Sayang. Hanya lelah,” bisik Ava, mencium puncak kepala Lily. “Mama berjanji tidak akan mencuri lagi.”
Lily melepaskan pelukan Ava, menatap ibunya dengan mata bulat yang penuh pemahaman.
“Mama, soal berlian itu, Lily tahu nama mencurinya untuk biaya berobat Luca. Tapi mencuri tetap tidak baik. Bahkan kalau berlian itu hasil curian orang lain.”
Ava tersentak mendengar ucapan putrinya. Ia berencana menggunakan logika rumit mafia untuk menenangkan diri sendiri.
“Dengar, Lily, berlian itu dulunya adalah milik organisasi kriminal lain. Mereka mencurinya dari seorang pengusaha. Jadi, mama hanya mengambil kembali hasil kejahatan mereka. Itu bukan mencuri, itu merapikan kekacauan,” ucap Ava mencoba menjelaskan, nadanya melembut, seolah berdiskusi dengan seorang rekan bisnis.
Lily mendengarkan dengan sabar. Kemudian, ia memegang kedua tangan Ava yang dingin.
“Tapi mama, kalau mama merapikan kekacauan dengan cara yang sama kotornya, berarti mama juga membuat kekacauan baru. Polisi tetap mengejar mama, kan? Luca dan Lily hanya khawatir. Om Kenzo pernah bilang, kebenaran itu bukan soal apa yang dicuri, tapi bagaimana cara kita mendapatkannya.” Ucapan Lily bak sambaran petir kedua bagi Ava.
Kenzo, sahabat lamanya, pernah memberinya nasihat yang sama saat ia masih menjadi hacker.
Kata-kata itu, yang keluar dari mulut seorang anak berusia enam tahun, terasa lebih tajam dan meluluhkan.
Tanpa sadar, air mata Ava yang sudah bertahun-tahun ditahan di depan kedua anaknya, akhirnya menetes.
Ava adalah pewaris mafia yang cerdas, ahli strategi, dan hacker ulung, tapi ia baru saja diceramahi soal moralitas oleh putrinya sendiri.
“Mama minta maaf,” isak Ava, memeluk Lily erat-erat, air matanya membasahi bahu putrinya. “Mama benar-benar minta maaf, sayang. Kamu benar. Cara mama salah. Mama hanya ingin Luca cepat sembuh.”
Lily membalas pelukan ibunya. Ia tidak menangis, tapi mengusap punggung Ava dengan gerakan menenangkan, seolah dialah yang lebih dewasa.
“Kami sayang mama, lebih dari berlian apa pun. Mama tidak perlu mempertaruhkan nyawa lagi,” bisik Lily lembut. “Mama masih ingat om Kenzo yang pernah menawarkan Mama pekerjaan di perusahaannya? Kenzo Corporation. Mama bisa bekerja di sana.”
Ava melepaskan pelukan itu, lalu beralih menatap Lily. Kenzo memang sahabat baiknya yang selalu menawarkan pekerjaan legal setiap kali Ava terdesak.
Kenzo Corporation adalah perusahaan teknologi besar yang membutuhkan otak brilian seperti Ava, yang saat ini ia gunakan untuk mencuri.
“Pekerjaan terlalu formal. Mama harus bertemu banyak orang, dan risikonya besar,” ujar Ava, yang sebenarnya khawatir jika ia bekerja formal, keberadaannya akan diketahui orang kedua orangtuanya.
Atau lebih buruk, ia akan kembali ke lingkungan yang sama dengan Edgar. Ava tak mau itu terjadi.
“Risiko mana yang lebih besar, Mama?” tanya Lily cerdas. “Risiko bertemu orang di kantor, atau risiko tertangkap polisi dan tidak pernah pulang lagi?”
Ava terdiam. Tidak ada jawaban yang bisa ia berikan. Putrinya benar.
“Baiklah,” kata Ava, mengusap air matanya. “Mama akan memikirkannya. Mama akan menghubungi om Kenzo besok pagi. Tapi setelah ini, Mama tidak mau kalian menyebut nama papa lagi, mengerti?”
Lily tersenyum lebar sambil bersorak dalam hati. Karena pada akhirnya, ia berhasil.
“Mengerti, Mama! Lily janji tidak akan membahas soal papa lagi, asalkan mama juga berjanji tidak mencuri lagi!”
Ava memaksakan senyum tipis. Janji itu sangat mahal, tapi demi ketenangan dua harta paling berharganya, ia rela. Ia harus menemukan cara legal untuk mendapatkan uang banyak dan cepat, sebelum sakit Luca semakin parah.
udh gk ada maaf lagi dri edgar😌
klo km msh berhianat jg udh end hidupmu
lanjut kak sem gat terus💪💪💪
apa² jgn² kamu menyukai ivy...
kl iya tamat lah riwayat mu jeremy
untung edgar cocok y coba kl ava ataupun edgar tidak cocok... pastinya mereka disuruh memilik anak lagi🤔