Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Ayah!
Nara benar-benar pergi dari rumah. Bukan untuk selamanya. Melainkan untuk satu minggu ke depan selama suaminya tak berada di rumah. Sebagai istri yang patuh, dia harus memberitahukan Arjuna.
Walau beberapa hari yang lalu pun, Nara sudah mengatakan ingin ke rumah sang ayah, dia akan kembali mengulang dengan mengirim pesan singkat. Dia tidak ingin menganggu waktu bulan madu Nadya juga suaminya.
Nara tersenyum miris mengingat kenyataan itu. Helaan napas kasar pun terdengar. Dia harus bersiap sore ini agar tiba di kota sang Ayah tidak terlalu malam.
Hanya beberapa helai gamis serta pakaian tidur yang dibawa Nara, lalu memasukkan ke dalam tas ransel.
Setelah itu, baru Nara mencoba mengirim pesan kepada suaminya sebelum benar-benar beranjak dari rumah itu.
Assalamu'alaikum, Mas. Hari ini aku jadi ke rumah Ayah ya.
Hanya itu pesan yang Nara kirimkan. Dia tidak ingin berbicara panjang kali lebar yang akan menganggu waktu sang Suami bersama istri keduanya. Setelah itu, Nara memasukkan ponselnya kembali pada tas selempang yang dibawanya.
"Ma. Aku pamit pergi hari ini," ucap Nara ketika melihat ibu mertuanya sedang duduk santai di sofa. Dia melakukannya karena tetap menghargai Bu Azni sebagai ibu dari Arjuna, juga sebagai tuan rumah.
Bu Azni pun tersenyum. "Pergilah!"
Nara mengangguk. Lagi pula setelah suaminya pulang, semua sepakat untuk pindah ke rumah baru. Jadi, Nara memang tidak akan tinggal di rumah tersebut lagi.
Setibanya di teras, Nara melihat Teh Arum yang baru saja membuang sampah. Raut terkejut berhasil Nara tangkap dari tatap Teh Arum. "Non mau kemana? Kok bawa tas besar?" tanya beliau bingung.
Nara tersenyum manis. "Mau ke rumah Ayah, Teh. Sudah lama aku tidak mengunjungi Ayah. Rindu," jawab Nara berkata jujur. Dia memang sangat merindukan sosok ayahnya itu.
"Tapi benar hanya untuk mengunjungi ayah Non kan? Bukan berniat untuk pergi?" Beliau kembali bertanya lagi, membuat Nara terkekeh geli.
"Kita lihat saja nanti ya, Teh."
Raut wajah Teh Arum tampak iba menatapnya. Beliau memegang lengan Nara dan berkata. "Maaf ya, Non. Tadi sore saya tidak bisa membantu Non ketika menghadapi Ibu. Saya takut, Non," sesal Teh Arum merasa bersalah.
Nara pun menggelengkan kepala dengan bibir yang menyunggingkan senyum. "Santai, Teh. Aku tidak apa-apa kok. Lagi pula, sebentar lagi kami akan pindah ke rumah baru," ucap Nara keceplosan yang langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Teh Arum tak mampu menyembunyikan binar bahagia yang terpancar jelas di matanya. Ketika mulut Teh Arum akan terbuka, Nara lebih dulu menaruh jari telunjuk di depan bibir agar Teh Arum mau menutup mulutnya.
"Jangan katakan pada siapapun dulu ya, Teh. Mama belum tahu soal ini. Nanti, Teteh lihat saja sampai waktu itu tiba," ucap Nara meminta Teh Arum menjaga rahasia.
Pada akhirnya, Teh Arum mengangguk dan ikut menaruh jari telunjuk di depan bibir. "Baiklah. Saya akan tutup mulut dan menunggu hari itu tiba."
"Hati-hati ya, Non. Semoga selamat sampai tujuan."
Setelah salam perpisahan dari Teh Arum, Nara segera menaiki taksi yang dipesan lewat online. Mobil itu pun melaju membelah jalanan.
...----------------...
Nara sampai di depan pagar rumah ayahnya tepat pukul sembilan malam. Lampu di ruang tamu masih menyala, menandakan jika sang pemilik rumah masih terjaga. Ditatap nya rumah yang dulu menjadi tempat masa kecilnya tumbuh.
Tidak ada yang berubah. Mungkin hanya warna dinding yang sudah dicat ulang dengan warna hijau bolu pandan. Terakhir kali Nara mengunjungi sang Ayah, dinding itu masih berwarna kuning.
Tidak ingin berlama-lama karena sudah tidak sabar ingin berjumpa dengan ayahnya, Nara berjalan menapaki bebatuan andesit yang disusun sepanjang pagar masuk sampai teras.
Tanaman yang tumbuh di halaman rumah menjadikan suasana malam itu begitu menenangkan hati Nara. "Assalamu'alaikum," ucap Nara langsung membuka pintu yang beruntungnya belum terkunci.
Nara terbiasa langsung masuk tanpa mengetuk pintu lebih dulu. Ayahnya selalu berkata jika rumah itu merupakan rumahnya juga. "Ayah? Ayah di rumah kan?" ucap Nara lagi ketika tak menemukan sang Ayah di ruang tamu maupun di ruang tengah.
Karena rumah itu hanya ada satu lantai, kemungkinan besar ayahnya sudah ada di kamar. Namun, ketika langkah Nara hampir dekat dengan kamar, pintunya terbuka sehingga Nara bisa melihat dengan jelas isi di kamar ayahnya.
"Dimana Ayah? Kok tidak ada. Ayah?" panggil Nara lagi.
"Apa di taman belakang ya?" tebak Nara lalu segera memutar langkah. Benar saja, ayahnya sedang duduk termenung di kursi rotan. Di depannya terdapat meja bundar yang di atasnya digunakan untuk meletakkan gelas kesukaan sang Ayah. Bahkan, asap dari minuman hangat itu masih mengepul.
Mata Nara berkaca-kaca menyaksikan sang Ayah yang sedang termenung sendirian. Bukan Nara tidak ingin ayahnya mencari pendamping hidup lagi. Hanya saja, ayahnya itu selalu menolak jika Nara meminta sang Ayah menikah lagi.
Beliau selalu berkata. "Ayah tidak ingin menikah lagi. Hidup Ayah tidak pernah sepi karena selalu bertemu orang-orang di perkebunan. Kamu tidak perlu khawatir."
Dan kini, Nara menyaksikannya sendiri sang Ayah yang tampak kesepian. Nara memahami jika sang Ayah sangatlah mencintai sang Ibu yang sudah berpulang lebih dulu.
"Assalamu'alaikum, Ayah," ucap Nara lembut tidak ingin mengagetkan sang Ayah karena kedatangannya yang tiba-tiba.
Benar saja. Ayahnya itu langsung menoleh cepat. Raut wajahnya tampak terkejut yang kemudian berganti dengan senyum simpul hingga membuat lipatan di bawah mata akibat sudah termakan usia.
Lipatan itu semakin bertambah hingga membuat Nara tak kuasa menahan tangis. Ayahnya itu menjalani hari-harinya dengan kesendirian.
"Waalaikumsalam. Loh, kok nangis. Kenapa, Ra? Datang-datang malah langsung nangis," ucap Pak Baharudin heran.
Nara langsung memeluk sang Ayah yang sudah hampir dua bulan tak pernah dia kunjungi. "Nara rindu Ayah. Itu sebabnya Nara menangis ketika sudah bisa bertemu. Nara bahagia," jawab Nara tidak sepenuhnya berbohong.
Pak Bahar terkekeh lalu mengusap-usap kepala sang Putri yang tertutup jilbab pashmina. "Kamu datang sendirian? Malam-malam begini?" tanya beliau cemas.
Nara mengangguk. "Tidak masalah, Ayah. Nara berani kok. Mas Arjuna kan sedang ke Bali," jawab Nara tidak ingin menutupi apapun.
Ayahnya memang sudah mengetahui jika dirinya telah dimadu. Arjuna yang meminta izin langsung untuk menikah lagi pada Pak Bahar. Beliau sebagai orang tua, tidak bisa berucap banyak. Beliau hanya berucap, "Jika Nara ridho, Ayah tidak bisa berbuat apapun." Walau dalam hati, beliau sangat kecewa dengan keputusan menantunya.
Hal itulah yang membuat Pak Bahar memilih untuk tidak datang di acara pernikahan kedua menantunya. Selain ingin menghargai perasaan sang Putri, beliau juga masih kecewa.
Pak Bahar mengangguk paham. "Ke Bali juga kan? Arjuna tetap adil padamu kan?" Pertanyaan itu membuat Nara mengangguk. Membenarkan jika suaminya itu telah bersikap adil.
Helaan napas lelah pun terdengar. "Kamu... Ikhlas?" tanya sang Ayah lagi dengan raut wajah yang begitu prihatin.
Tidak ingin membuat sang Ayah khawatir, Nara mengangguk. "Nara harus ikhlas agar Nara bisa bahagia, Yah. Mas Arjuna masih sama seperti dulu. Belum ada yang berubah sedikitpun," jawab Nara berkata jujur. Tidak ingin Melebih-lebihkan. Bahkan Nara juga tidak ingin menjelekkan nama sang Suami.
"Ayah sehat?" tanya Nara mencoba mengalihkan pembicaraan. Pelukannya telah terlepas dan Nara mencium punggung tangan sang Ayah.
"Alhamdulillah sehat. Bagaimana madumu, Nak? Apakah dia—"
"Tidak, Yah. Semua baik-baik saja. Nadya baik kok," kejar Nara sebelum pertanyaan sang Ayah melebar dan merembet kemana-mana.
"Jangan bahas lagi, Yah. Hari ini aku mau bercerita banyak dengan Ayah. Tapi, Nara lapar, Yah. Kita makan dulu ya," ucap Nara yang membuat Pak Bahar akhirnya tergelak.
"Baiklah. Ayah juga belum makan malam. Kita makan bersama kalau begitu." Mendengar jawaban sang Ayah, mata Nara langsung melotot tajam.
"Ayah!" seru Nara tidak suka karena sang Ayah tidak menjaga pola makan dengan benar.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...mampir juga ke sini yuk 👇👇...
...
...