Bukan salah Anggun jika terlahir sebagai putri kedua di sebuah keluarga sederhana. Berbagai lika-liku kehidupan, harus gadis SMA itu hadapi dengan mandiri, tatkala tanpa sengaja ia harus berada di situasi dimana kakaknya adalah harta terbesar bagi keluarga, dan adik kembar yang harus disayanginya juga.
"Hari ini kamu minum susunya sedikit aja, ya. Kasihan Kakakmu lagi ujian, sedang Adikmu harus banyak minum susu," kata sang Ibu sambil menyodorkan gelas paling kecil pada Anggun.
"Iya, Ibu, gak apa-apa."
Ketidakadilan yang diterima Anggun tak hanya sampai situ, ia juga harus selalu mengalah dalam segala hal, entah mengalah untuk kakak ataupun kedua adik kembarnya.
Menjadi anak tengah dan harus selalu mengalah, membuat Anggun menjadi anak yang serba mandiri dan tangguh.
Mampukah Anggun bertahan dengan semua ketidakadilan karena keadaan dan situasi dalam keluarganya?
Adakah nasib baik yang akan mendatangi dan mengijinkan ia bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEBELAS
Pak Hendra dan Bu Maryani masih ragu untuk menerima amplop berisi penuh lembaran uang dari tangan pak Tono itu. Ada rasa sungkan, takut, juga sedikit bingung. Keduanya terus saling pandang seakan mengisyaratkan permintaan persetujuan masing-masing.
Pak Tono tak habis akal, ia terus saja merayu dengan berbagai macam alasan yang sengaja dibuatnya agar kedua orang tua Anggun terperdaya sehingga tujuannya pun akhirnya tercapai, meski dengan ragu pak Hendra pun mengulurkan tangannya untuk mengambil amplop dari tangan pak Tono.
"Nah, seperti itu! Bagus! Akhirnya kalian masuk ke dalam perangkap ku!" batin pak Tono merasa menang.
"Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih Pak. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan Pak Tono. Anggun benar-benar beruntung memiliki guru sebaik Bapak." perasaan haru dan merasa bersyukur sedang dirasakan oleh kedua orang tua Anggun dengan begitu polos, tanpa tahu hal apa yang akan menanti mereka di kemudian hari.
"Santai saja, sesama manusia itu harus saling membantu. Pergunakan uang itu sebaik mungkin, belilah semua hal yang kalian butuhkan, terutama untuk Anggun, belikan dia beberapa hal yang telah saya sebutkan sebelumnya."
"Baiklah, Pak."
"Hmmm ... kalau begitu, saya permisi dulu, semoga Anggun segera siuman," pamit pak Tono.
"Terimakasih sekali lagi, pak Tono. Semoga putra andajuga lekas siuman, nanti kami akan membezuk," sahut Bu Maryani.
"Jangan!" ceplos pak Tono yang tentunya membuat kedua orang tua Anggun sedikit terkejut dengan respon itu. "Eh ... maksudnya nggak perlu Bu, nanti malah kalian repot, sudah cukup kita urus anak kita masing-masing saja. Biarkan nanti mereka kembali bertemu di sekolah saja, kebetulan mereka juga satu kelas kok."
"Duh, bisa bahaya kalau mereka sampai bertemu dengan istriku, kalau dua orang miskin ini ngomong macem-macem atau pas Deni sadar, terus bocah sialan itu ngadu aneh-aneh, bisa habis aku, sia-sialah aku bersedekah uang banyak, lima juta ya ampun." pikir jahat pak Tono.
Tak ingin memperpanjang obrolan, pak Tono pun segera meninggalkan bilik dimana Anggun terbaring dengan diantar pak Hendra dan Bu Maryani sampai ke pintu utama ruangan itu.
Kedua orang tua itu pun segera kembali ke bilik Anggun, untuk membicarakan hal-hal yang menurut mereka penting.
"Jadi kita sudah tahu penyebabnya Anggun jadi ketakutan seperti itu ya Bu. Besok nggak perlu jadi ke kantor polisi?" pak Hendra kembali merasa bingung.
"Sebenarnya aku masih belum terima sih, Pak. Tapi karena pak guru itu sudah melakukan banyak hal, bahkan membuang-buang uang untuk mengusahakan damai, ya aku ngikut saja," sahut Bu Maryani seraya menghela napas.
"Bener juga, lagian dia bilang tadi Anggun ketahuan mencuri, jadi anak kita juga bersalah kan? Kalau lapor polisi malah nanti kita juga yang dipermalukan."
"Aku mau tiduran sebentar ya Pak, mata udah nggak kuat," pamit Bu Maryani seraya merebahkan badan di tikar dibawah brangkar.
"Aku merokok dulu di luar."
Malam menjelang pagi itu begitu sunyi, tak ada yang menyangka jika sejak pak Tono datang, Anggun yang terdiam saja berbaring miring itu sebenarnya tidak tertidur. Ia bahkan mendengar jelas percakapan demi percakapan kedua orang tuanya dengan si guru BP, Namun ia tak berani bergerak sedikitpun. Anggun memilih terdiam dengan rasa hancur yang menyakitkan.
"Orang licik itu ... apa yang harus kulakukan untuk membela diri? Dia berani datang bahkan merayu Ayah dan Ibuku dengan uang kotornya. Fitnah yang lebih kejam yang aku takutkan benar-benar dibuatnya untukku. Sekarang aku harus bagaimana, ya Tuhan, tolonglah aku." batin Anggun dengan mata yang terpejam.
"Bagaimana caraku melanjutkan hidup seperti ini? Bahkan orang tuaku mempercayai ucapan si brengsek itu, jika aku bangun, apa yang Ayah dan Ibu katakan? Mereka pasti sangat kecewa karena fitnah dari mulut pria tua itu. Hiks ... hiks ... Tuhaaan ... tolong aku ...."
Tak ada pengharapan sedikit pun dalam batin Anggun. Rasa pedih dan takut justru semakin membuatnya merintih kesakitan dan sesak yang buatnya tak bisa lagi menahan tangis.
.
.
.
Sementara itu di ruang rawat intensif, Bu Anas menatap pilu pada tubuh sang putra yang masih terbaring diam.
"Bu, aku mau beli makanan ya, aku lapar," pamit Anisa setelah terbangun dari tidurnya.
"Jam segini berani sendirian?" sahut Bu Anas.
"Nggak apa-apa, Bapak kelihatannya capek banget gitu sampe tertidur pulas, kasihan kalau harus dibangunkan." Anisa menatap pak Tono yang tertidur pulas di bed kecil yang disediakan rumah sakit untuk istirahat keluarga pasien.
"Ya wes, hati-hati kalau begitu."
Anisa berjalan sendirian di lorong-lorong lobi rumah sakit yang sangat sepi di malam menjelang pagi itu. Ada sedikit rasa ngeri, namun perutnya yang sangat lapar, mengharuskannya untuk mandiri mencari makanan.
"Wah, ada dokter muda, tampan banget lagi!" seru Anisa tiba-tiba saat melihat dokter Andika tengah berdiri mengantri di konter es teh di kantin rumah sakit.
Anisa yang memiliki sifat centil, tak ingin melewatkan kesempatan, ia mempercepat langkahnya lalu berdiri mensejajarkan diri dengan dokter Andika.
"Selamat malam menjelang pagi, Dok," sapa gadis cantik kelas tiga SMP itu tanpa rasa canggung.
"Eh ... pagi Adek ...," sahut dokter Andika sedikit kaget, lalu celingak-celinguk melihat ke sekeliling. "Sendirian?" lanjutnya.
"Enggak ... kan ada Dokter ganteng!" celetuk Anisa menggoyang-goyangkan badannya berharap akan mendapatkan pujian selanjutnya.
"Hahaha ... aduh Dek, masih kecil loh kamu itu, pinter amat bikin Dokter jadi salting," sahut asal dokter Andika.
"Saya cuma jujur kok, hmm ... Dokter Andika memang idola para cewek, saya juga follow akun instagramnya Dokter loh."
"Ganjen banget sih nih bocah!" batin dokter Andika sedikit melirik ke Anisa.
"Ciyeee ... Penggemar baru nih, Dok!" pelayan kantin ikut menggoda dokter Andika.
"Apasih, nggak niat seperti itu, Mbak," potong Dokter Andika tak ingin percakapan itu berlanjut. "Saya harus kembali ke ruangan, jangan berkeliaran sendirian ya, Dek."
"Anak siapa jam segini jalan-jalan sendirian di rumah sakit, mana ganjen lagi!" gumam dokter Andika seraya berjalan meninggalkan Anisa.
"Dokter!" panggil pak Hendra saat melihat dokter Andika berjalan bersama dokter Wirya melewati lorong di depannya.
Dokter Andika menoleh, lalu menghentikan langkah, menunggu pak Hendra yang berjalan setengah berlari menuju dirinya.
"Saya Hendra, ayah dari Anggun, yang dokter tenangkan tadi sore, sewaktu anak saya kumat di lobi utama." Dengan terengah, pak Hendra memperkenalkan diri.
"Oooh ... iya Pak, saya ingat ... ada yang bisa saya bantu, Pak?"
"Hmmm ... begini Dok ... saya mau minta tolong."
...****************...
To be continue....
Ini Anisa sama temennya kan 😮💨
Apa ig nya 🤭
lebih cocok jadi anaknya Tono dia 😩