Sepeninggal suami, Nani terpaksa harus bekerja sebagai seorang TKW dan menitipkan anak semata wayangnya Rima pada ayah dan ibu tirinya.
Nani tak tau kalau sepeninggalnya, Rima sering sekali mengalami kekerasan, hingga tubuhnya kurus kering tak terawat.
Mampukah Nani membalas perlakuan kejam keluarganya pada sang putri?
Ikuti kisah perjuangan Nani sebagai seorang ibu tunggal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kalah Telak
Paginya, semua sudah berkumpul di ruangan Dibyo yang kecil.
Ada pak Prapto dan juga petugas dari desa yang biasa di panggil pamong.
Nina memilih memanggil pamong dari pada ketua Rt. nya. Mereka akan di jadikan saksi atas perceraian Dibyo dan Titik.
Memang kejam tapi Nani tak peduli, biarlah dia memaksa ayahnya untuk berpisah dengan Titik dan keluarganya yang selalu merongrongnya.
Tyas dan Dita juga datang mendampingi ibu mereka. Tyas merasa kesal dengan permintaan Nina yang meminta Dibyo melepaskan ibunya.
"Kepala di tutupin tapi akhlak mines," sindir Tyas.
"Maksudnya gimana mbak?" tanya Dita lantang, otaknya yang sedikit lelet membuat Tyas kesal.
"Harusnya tau agama dong, Allah aja benci perceraian dia malah nyuruh orang tuanya cerai," sindirnya blak-blakan.
Nina yang kesal lalu menatap Tyas dan Dita. "Lalu kalau bapakku tidak bisa menafkahi ibu kalian, gimana?" tantangnya.
"Aku?" tunjuk Nina pada dirinya sendiri. "Bapak aja bergantung padaku dan kalian mau ibu kalian juga aku yang menangung? Sorry say aku bukan sultan yang bisa membiayai hidup kalian!" ujarnya kesal.
Tyas dan Dita saling membuang muka kesal. Seorang pamong desa yang bernama Dodi lantas menyela.
"Kita tanya dulu Pak Dibyo Mbak Nina, kalau memang tidak mau bercerai, alangkah baknya mbak jangan memaksa, tidak baik juga," ujarnya menengahi keduanya.
"Baik, kalau memang seperti itu," jawab Nina tegas.
Mata Dibyo bersinar, ia tau pasti banyak yang akan membelanya. Mau tak mau sang putri pasti akan kalah dengannya.
"Saya tanya sama bapak, setelah ini bapak mau kerja apa? Sudah dengarkan kata Dokter bahkan bapak akan bed rest dalam waktu lama, lalu bagaimana bapak akan menafkahi bu Titik? Ingat ya bapak, menafkahi bu Titik bukan kewajiban Nina!" jelasnya lantang.
Dudi yang tadi bermaksud menengahi merasa malu sebab yang di katakan Nina ada benarnya, Titik bukanlah ibu kandung Nina jelas Nina tak punya kewajiban menafkahi Titik.
"Maaf kalau boleh tau, sebelum kita mengambil keputusan, ada apa dengan Mbak Nani dan Bu Titik? Sepertinya kalian tidak akur?" sela Dudi.
Nina mengela napas, beruntung hari ini surat visum putrinya juga keluar. Tanpa banyak kata Nina memberikan surat itu pada Dudi.
"Ini adalah surat visum anak saya Rima. Bapak juga bisa tanya kepada Pak Prapto dan juga istrinya sebagai saksi, apa yang sudah di lakukan Bu Titik terhadap anak saya saat saya bekerja di luar negeri!" ketusnya menatap tajam ketiga wanita yang berwajah pias.
"Bu-buat apa mbak ngelakuin visum?" gagap Dita.
"Ya buat ngelaporin kelakuan kalian terhadap Rima!" ucap Nina tajam.
Tubuh ketiga wanita itu sudah bergetar hebat. Nina lantas menatap petugas desa dengan datar.
"Bapak tau? Layakkan saya sakit hati? Terlebih lagi bapak yang notabenenya ayah saya, kakek kandung Rima justru membiarkan hal itu terjadi!"
"Sekarang saat dia sedang sakit seperti ini kalau bukan saya siapa lagi yang akan menolongnya! Ngga usah sok bicara kewajiban jika bapak saja tak melaksanakan kewajiban bapak!"
Dibyo tau yang di rasakan putrinya padanya. Tentu saja Nina berhak marah dan kecewa padanya, tapi dia merasa jika balasan Nina terlalu kejam padanya, yaitu memintanya berpisah dengan istri tercintanya.
Titik yang sudah ketakutan dengan ancaman Nina yang dia pikir tak main-main itu bergegas menyelanya.
"Ya sudah pak, kita berpisah saja, tapi ibu minta syarat Nina, jangan laporkan kami! Kalau kamu menolak maka lebih baik bapakmu di biarkan saja, toh paling kamu yang akan di bicarakan oleh orang-orang," ketus Titik.
Dibyo tak menyangka sang istri akan bersikap kejam padanya. Dia yang sedang berusaha menyelamatkan pernikahannya harus menelan pil pahit dengan mendengar permintaan sang istri yang lebih mementingkan keselamatan dirinya sendiri.
Nina tersenyum kecut, dari kemarin Nina sudah tau pikiran picik Titik yang pasti akan meminta sejumlah uang.
Namun Nina tidak kalah cerdik, dia akan membuka topeng busuk ibu tirinya itu di hadapan sang ayah.
Agar ayahnya sadar bahwa Titik bukanlah wanita yang pantas di pertahankan.
Melihat prahara keluarga Nina memang carut marut Dudi memilih melakukan apa yang sudah di putuskan keduanya.
"Jadi Bu Titik mau berpisah dengan Pak Dibyo?" tanya Dudi.
"Ya terpaksa pak, tapi itu awas aja kalau Nina ingkar janji!" kecamnya.
"Bu ..." lirih Dibyo tak bisa berkata-kata.
"Sudahlah pak, lagi pula kamu memang udah ngga bakal bisa di andalkan, dulu aja ngga bisa di andalkan apa lagi nanti!" jawab Titik dengan kesal.
"Ayo Yas, Dit kita pulang, buang-buang waktu aja!" ajaknya pada kedua putrinya.
"Tunggu dulu, silakan Bu Titik tanda tangan, setelah itu kalian bisa pergi!" cegah Nina.
Terpaksa Titik mengikuti keinginan anak tirinya dari pada harus berakhir di penjara.
"Kok kosong? Kamu mau nipu saya?" ujar Titik tak terima.
"Saya bawa pak Dudi supaya pak Dudi nanti yang akan mengurus surat perjanjiannya sesuai kesepakatan kita saat ini. Bu Titik tenang saja, pak Dudi pasti ingat apa yang menjadi persyaratan Bu titik. Iya kan pak?" Nina menatap Rudi di balas anggukan oleh lelaki itu.
"Ibu tenang saja, nanti salinanya saya buat beberapa rangkap untuk ibu dan mbak Nina, desa dan juga para saksi," jelasnya.
Setelah selesai tanda tangan Titik bergegas pergi dengan perasaan yang sangat kesal.
Niat hati ingin memeras Nina tak bisa terlaksana karena ancaman Nina padanya.
Sampai di rumah, ketiganya mendudukkan diri dengan perasaan yang masih kesal.
"Loh kenapa muka mamah, mbah sama tante kesal gitu?" tanya Ziva yang hari ini tidak bisa masuk sekolah karena jalannya masih sulit.
"Diem kamu Va! Mamah lagi kesal!" jawab Tyas ketus.
"Mana hpnya mah, katanya tadi mamah mau beli hp," tagih Ziva pada sang ibu.
Pagi tadi saat akan pergi ke rumah sakit, Dita menceritakan semua yang terjadi pada malam hari di rumah sakit.
Saat menemui ibunya di rumah sakit, Titik berkata bahwa ia memiliki rencana untuk memeras Nina supaya dia mau bercerai dengan Dibyo.
Tyas setuju dengan ide brilian ibunya dan di dukung juga oleh Dita.
Jadilah saat Yanto menelepon Tyas menanyakan sarapan mereka, Tyas mengatakan jika ia akan membelikan Ziva ponsel baru.
"Kamu ini Va! Masih hp aja yang di pikirin bikin mamah pusing aja!" bentaknya.
"Kan mamah tadi yang bilang sama papah," rengeknya dengan air mata yang sudah menggenang, hatinya kecewa karena lagi-lagi sang ibu membohonginya.
Dia yang juga kesal dengan kenyataan bahwa tak jadi memeras Nina memilih bangkit dan pergi ke kamar.
Kepalanya sudah sangat pusing, sebab hutang-hutangnya sudah mulai jatuh tempo.
"Aduh mana hari ini tagihan sofa! Sial emang tuh Nina! Ngga punya hati banget!" omelnya.
.
.
.
Tbc